Satu hal yang menjadi catatan dalam renaisance Asia:
Cina, Korea Selatan, Jepang, adalah etos kerja, dan proses pengembangan
diri yang luar biasa dalam tradisi modern masyarakatnya. Bagi orang
Jepang kata Dahana (2007:249), seluruh dunia mengakui, sejak restorasi
Meiji di paruh akhir abad ke-19, mereka memiliki keuletan dan kegigihan
tiada tara untuk meraih kemajuan yang setara, bahkan lebih hebat
ketimbang masyarakat Eropa dan Amerika. Semangat bushido dan kekecewaan
pada hasil Perang Dunia II, menjadi trigger bagi Jepang untuk
berperan sebagai sumber kecemasan dan kecemburuan dunia lantaran
hebatnya invasi ekonomi dan kultural mereka.
Bangsa
Korea lebih dahsyat lagi. Negeri kering hanya bermodal batu, karang,
dan bukit kapur itu, kini menjadi raksasa ekonomi lantaran satu ambisi
besar: melebihi Jepang di segala hal. Di banyak kalangan, terkenal sudah
ungkapan: “Jepang hebat dapat apa saja berbuat, tapi Korea (harus) bisa
tiga kali lipat”. Dalam dunia akademik internasional, misalnya, di
Eropa orang Jepang dikenal kerajinan dan keuletannya. Tapi orang Korea
seperti “gila” dan keranjingan belajar. Jika mahasiswa Jepang belajar
atau membaca di perpustakaan hingga jam 10 malam, mahasiswa Korea
belajar dan tidur di dalamnya, dari pagi ke pagi. Orang Indonesia? Ke
perpustakaan? Ya, cari teman kongkow, atau lirik-lirik cari gebetan
baru. Nah.
Untuk
orang Cina, kita mafhum semua. Dari tingkat elit hingga strata bawah,
mereka memiliki kemampuan luar biasa melihat peluang bisnis, yang murah,
mudah, efisien, tapi untung besar. Ini seperti naluri purba yang
membuat mereka survive di mana dan kapan saja berada. Jaringan produksi film atau musik dalam kepingan, misalnya. Belum lagi new realase di premiere-kan
di Hollywood, kepingan kopiannya sudah manumpuk di glodok dan pasar
semacam di berbagai negara. Belum habis kita terkejut oleh Tsunami,
hanya selang dua sampai tiga hari, VCD tentang petaka Tsunami yang
sedang up to date sudah beredar di emperan toko di Blok M, Senen, dan lainnya (Dahana, 2007:250).
Dan India, punya cerita luar biasa lagi. Tenaga–tenaga profesionalnya yang super cerdas, bermartabat, hard worker,
dan adaptif, menjadi ekspor utama penyumbang devisa negeri itu. Banyak
sudah lembaga internasional atau perusahaan multinasional yang
menempatkan ahli India sebagai eksekutif puncaknya. Di negerinya
sendiri, 100 juta anggota kelas menengahnya yang well educated menjadi daya dorong dahsyat bagi kemajuan India yang mencemaskan, tak lebih dari hitungan tahun di jari jemari kita.
Bahkan,
beberapa negara berkembang lain, yang merdekanya lebih lambat ketimbang
Indonesia, memiliki beberapa keunggulan yang membuat negara-negara
tersebut berhasil mengatasi krisis negaranya. Singapura misalnya, negara
dengan wilayah kecil ini menjadi sentra bisnis dunia di kawasan Asia
Tenggara, karena masyarakatnya yang cermat membaca peluang bisnis
sekecil apapun. Bahkan, beberapa negara lain, seperti: negara-negara
Arab, Afrika, Amerika Latin tampaknya tengah bekerja keras untuk juga
menemukan satu nilai modern atau etos kerja atau kapabilitas bangsa yang
utama. Kapabilitas untuk mendongkrak kemajuan di tengah pergulatan
ekonomi dan politik internasional yang kian kasar dan individual.
Persoalan
menarik: bagaimana dengan negara Indonesia, bangsa yang menggaungkan
diri sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk
lebih dari 200 juta? Adakah upaya dan kerja keras yang sama yang tengah
kita rintis? Atau adakah kita memiliki satu modus pengembangan diri,
nilai utama yang dapat efektif diterapkan, atau etos vital yang mampu
menghadapi ngejelimet persoalan akut, carut marut, bahkan berlutut dibawah interfensi negara lain?
Atau jangan-jangan, kita, manusia Indonesia yang muslim, hanya sibuk hiruk pikuk, mondar-mandir, clingak clinguk, ngalor ngidul
tak tentu tujuan hanya sekedar meraba-raba kira-kira ingin menjadi
siapa. Kira-kira kita masyarakat ini bisa apa? Atau malah Indonesia akan
terlaknat ancaman Tuhan karena meninggalkan sebuah peradaban tertinggal
yang didalamnya terdapat generasi muda yang lemah (QS.An Nisa;9). Naudzubillah!
Potret Buram Umat Islam Indonesia
Kini
dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang
diantara penganut agama-agama besar lain. Negara-negara Islam jauh
tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru
yang Protestan; oleh Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katolik
Roma; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh “Israel” yang Yahudi;
oleh Cina (“giant dragon”), Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan
Singapura (“little dragon”) yang Budhis-Konfusianis; oleh Jepang yang
Budhis Taois; dan oleh Thailand yang Budhis. Praktisnya, tidak satu pun
agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK)-nya daripada Islam (Nurcholish Madjid, 1997:21).
Dalam konsepsi Emha Ainun Nadjib (1995:13), Islam yang ‘daya saingnya’ selalu realistis, yang relevan abadi dan yang maqam
ruang-waktunya senantiasa aktual, kini ditatap oleh para pemeluknya
dengan rasa malu, bersalah, dan rasa penasaran kepada diri sendiri. Umat
Islamnya amat sibuk berkaca, menatapi wajah di cermin, baik untuk
sekedar bersolek maupun untuk merenung.
Ada rasa asing kepada diri sendiri: sebuah arus besar membawa mereka, berabad lamanya, entah ke mana. Maka alhamdulillah
untuk rasa asing itu, kata Sang Nabi Si Pembawa agama pamungkas, Islam
melangkah dalam dan dengan keasingan, kemudian di tengah perjalanannya
ia akan berjumpa dengan keasingan demi keasingan.
Terlepas dari itu semua, keasingan dalam fleksibilitas mainstream semua
orang, jika kita ibaratkan demikian, menyergap manusia Indonesia saat
ini. Hanya saja keterasingan ini ‘membuncah’ tanpa kendali dalam arus
hiperglobalisasi yang menimbulkan kegelisahan. Bagaimana tidak. Manusia
Indonesia seolah terpinggirkan dalam arus besar yang mendorongnya untuk
memiliki potensi luar biasa sebagai modal utama persaingan hidup di
dunia. Manusia Indonesia adalah manusia yang tidak menciptakan peluang
usahanya sendiri, hanya bergantung dan menggantungkan diri pada bangsa
lain.
Hanya
sayangnya, jangankan mempersiapkan diri bersaing dengan
kompetitor-kompetitor negara lain yang tangguh. Masyarakat Indonesia
malah sibuk hiruk pikuk, mondar-mandir, clingak clinguk, ngalor ngidul
tak tentu tujuan hanya sekedar meraba-raba kira-kira ingin menjadi
siapa. Bahkan berebut untuk memposisikan diri menjadi masyarakat yang
dikatakan Guy Debord yang dikutip Yasraf Amir Piliang (2006:76) sebagai society of the spectacle:
masyarakat yang hampir segala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai
bentuk tontonan, dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan tujuan
hidup.
Dunia
mungkin memang menyedihkan lanjut Radar Panca Dahana (2007:9). Mungkin
lantaran itu, begitu oksigen pertama dunia kita hidup, rasa ngeri,
sesal, dan nestapa kontan menyerbu, sehingga kita meneriakannya dalam
tangisan. Tak cukup dengan itu, dari detik pertama kita ada (bahkan
sejak dalam janin), ternyata kita sudah “menyerah”: mau tak mau menerima
tawaran (atau paksaan) dunia. Sesuatu yang tampak given walau sebenarnya choisen (tawaran).
Dunia
adalah tawaran yang dengan begitu kerasnya mendesak kita sehingga kita
tak lagi berpeluang menolaknya. Betapapun itu mungkin dalam
kealamiahannya. Maka begitulah kebudayaan dan peradaban berjalan,
meminta semua warga dan pengikutnya untuk serta, atau ia akan menjadi alien di detik ia berani menolaknya. Inilah bentuk penaklukan atau kolonialisme pertama yang paling purba dalam sejarah manusia.
Bukan
saja adat istiadat, tradisi, atau konvensi, dengan segala pernik dan
dimensinya memenjara dan menelikung sekujur hidup kita, mulai ranjang
bayi kita pertama hingga ranjang di lahat nanti. Tapi juga aturan budaya
modern, dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, kemudian meminta kita
untuk menjadi makhluk yang “tak lagi bisa memilih”. Menjadi manusia
kalah dan menyerah secara total. Menjadi korban. Menjadi insan yang
jinak dan dijinakan. Kasian.
Inilah
sebenarnya inti permasalahan itu. Terlalu sering kita hanya
mengharapkan hasil yang optimal tanpa kerja keras dan menyerah kepada
nasib, lalau berkata: ini sudah takdir, ini sudah nasib, ya sudah bagaimana lagi tak bisa dirubah.
Padahal kalimat ini ‘meluncur’ halus dari manusia yang tak pernah
berusaha dan bekerja keras selama masa hidupnya. Tak pernah sama sekali.
Manusia yang hidup tanpa perjuangan lalu dengan gampangnya ‘menuding”
Tuhanlah yang memiliki andil atas semua kelalaiannya itu.
Ya.
Inilah Indonesia. Bahkan dalam berita Kompas tentang pemenang Nobel
perdamaian tahun 2006 (Dahana, 2007:87), ada sindiran yang tertuju untuk
bangsa kita. Tanpa perlu mengulang alasan yang diungkap, rasa malu itu
sesungguhnya tertuju pada cara berpikir kita yang childish yang
tak pernah berhasil mengukur dengan tepat atau penghargaan apa yang
pantas kita dapat dari hasil kerja yang kita buat. Selalu ingin hasil
luar biasa dari usaha kurang dari luar biasa.
Kecenderungan
masyarakat seperti itu, didapat dari satu perkembangan karakter yang
terlalu berorientasi pada hasil puncak, tanpa memperdulikan cara,
metode, atau modus kerja yang didahuluinya. Tidak peduli pada waktu yang
harus dijalani demi mendapatkan sebuah kualitas. Dan ironisnya,
orientasi hasil tersebut disilaukan atau dipesona oleh
kegelimangan-kegelimangan dunia industri, sistem kapitalis dan kultur
selebritis yang menyertainya. Masyarakat seperti ini jangankan berfikir
untuk membuka peluang usaha, sekedar meluangkan waktu menegur
tetangganya saja tidak sempat, apalagi membaca kisah sukses Sang Nabi
yang seharusnya menjadi sumber inspirasi.
Iming-iming
penghargaan yang sangat tinggi pada dunia olahraga, kehidupan, artis
film, musik perdagangan dan pelbagai bujuk kapitalisme lainnya, membuat
kita terpana. Lalu menyangka dunia bebas yang ditawarkan itu memberi
kesempatan yang sama pada siapa saja untuk meraihnya. Padahal dusta.
Kita merasa dapat menjadi David Becham dengan gaji Rp.2 miliar seminggu,
menjadi Britney Spears dengan royalti 11 juta keping albumnya, atau
menjadi Agnes Monica yang konon berhonor Rp.100 juta per episode
sinetronnya (Dahana, 2007:89).
Publik semacam ini akan mengalami kesulitan membayangkan, bahkan selembar kertas, sebuah peniti, apalagi chip
sebesar lidi pun diproduksi berlatar satu proses penemuan yang panjang.
Dihasilkan dari keluh, keringat, biaya, kerjasama ribuan ahli, juga
kegagalan berkali-kali. Kita tidak peduli itu semua. Kita merasa mampu
meraihnya dalam sekejap. Hasil atau kejayaan material itu telah membuat
kita siap dan obsesif.
Kenyataan
itulah antara lain membuat kita, bahkan tidak mampu menghargai kerja
keras, termasuk manusia di sebelah kita sendiri: teman, tetangga, atau
mereka yang sebangsa. Kita justru ngotot mempertahankan Bajaj
modifikasi produk India, ketimbang Kancil yang lebih modis, akrab
lingkungan dan dibuahkan oleh keringat bangsa sendiri. Kita lebih
memilih bis-bis bekas Cina atau Jepang, truk-truk besar Korea dan
Amerika dibanding Perkasa produk lokal. Begitupun kereta api senang
memborong gerbong apkiran daripada gerbong asli buatan Madiun yang sudah
lama diekspor.
Barangkali
negara kita bukan saja generasi pemangsa atau konsumtif, tapi juga
pecandu apa pun yang bersifat global, karena disanalah simbol kejayaan
material terdapat. Simbol yang kadang hanya terwakili oleh nama bukan
substansinya. Masyarakat yang hidup gelimang kekayaan alam, tapi tak
mampu memanfaatkan peluang itu menjadi sebuah usaha dalam kerja keras
dan kesabaran.
Bahkan,
tradisi, bukan hanya ia yang mendekam di situs purbakala, di masyarakat
kuno, gedung-gedung tua atau mengendap di masa lalu, tapi juga yang
kita pertahankan di masa kini di abad baru ini, melalui sebuah
pematangan (2007:91). Wayang kulit, gamelan, Candi Borobudur, Ukiran
Bali, Tari Jaipong, atau Lenong Betawi, bukan satu hal yang hadir karena
karbitan atau suntikan zat kimia. Tapi dari ketekunan, disiplin,
dedikasi, etos kerja dan bakat yang terasah bersama waktu. Ratusan dan
ribuan tahun.
Padahal,
Rasul pernah bersabda: “Barangsiapa dua hari miliknya sama, maka dia
terdzalimi” (HR. as-Suyuthi). Karena waktu tak akan terulang. Alam
selalu bergerak ke depan sesuai dengan perintah-Nya. Tubuh dan jiwa kita
berjalan dengan arah yang sama menuju garis final. Maka kita tidak
membawa apapun kecuali prestasi yang pernah kita raih dan amal yang
pernah kita kerjakan, baik atau buruk, positif atau negative (Kazhim,
2008:80).
Karena adopsi teknologi modern oleh Dunia Islam masih bersifat ad hoc
dan perennial (sepotong-sepotong) lanjut Cak Nur (1997:23), sehingga
sebenarnya kaum Muslim untuk tidak lebih dari sekedar sebagai pihak yang
berada pada ujung garis dinamika Iptek sebagai konsumen, bahkan sebagai
pemakai akhir (end user). Tentu tidak ada salahnya, namun jika
hal itu tidak produktif, maka Kaum Muslim akan “ditakdirkan” sebagai
umat yang tergantung kepada umat lain. Jadi, semua tesis, keyakinan dan
klaim bahwa “Islam adalah paling unggul dan tidak akan diungguli oleh
yang lain” akan menjadi kosong dan muspra belaka.
Inilah
juga yang dialami Muslim di negeri ini. Sedikit-sedikit ikutan mode,
tren, tanpa tau proses dengan liku dan waktu yang amat panjang untuk
membuat sebuah produk. Muslim di negeri ini tidak menghiraukan
perjuangan , keringat, dan waktu yang terbuang untuk mendedikasikan diri
menjadi pribadi yang unggul. Generasi yang mau bekerja keras, mau
mencari peluang usaha sekecil apa pun demi perubahan yang selama ini
dinantikan. Dan yang terpenting dari semua itu adalah berusaha untuk
mencari kejujuran.
Humanisme Muhammad
Dalam
benak Karen Armstrong yang ditulis dalam bukunya “Sejarah Muhammad”
(2004:150), Muhammad adalah sosok seorang jenius yang sangat luar biasa.
Tatkala wafat pada tahun 632 M, dia telah berhasil menyatukan hampir
semua suku Arab menjadi sebuah komunitas baru atau ummah. Dia
telah mempersembahkan kepada orang-orang Arab sebuah spiritualitas yang
secara unik sesuai dengan tradisi mereka dan yang membukakan kunci bagi
sumber kekuatan yang besar, sehingga dalam waktu seratus tahun mereka
telah mendirikan imperium sendiri yang luas membentang dari Himalaya
hingga Perenia, dan membangun sebuah peradaban yang unik.
Amat
penting memperhatikan Muhammad sebagai manusia biasa. Hingga usianya
genap 40 tahun, wawasannya masih kurang, sehingga Tuhan bilang: ‘Iqro,
bacalah. Lalu apa yang dibaca saat itu? Al Quran? Quran pun belum ada,
baru beberapa ayat pertama. Jadi, yang dimaksud bacalah adalah membaca
problem disekitarmu. Muhammad pun membaca. Hasilnya, bukan ini Arab itu
non Arab, melainkan itu Jahiliyyah ini Islam, itu kebodohan, ini Ilmu (Emha Ainun Nadjib, 1995:7).
Semua
pengetahuan tentang nilai alternatif itu tidak datang ‘gratisan’ dari
Tuhan, melainkan ‘dibeli’ olehnya dengan laku panjang, sakit dan
melelahkan. Muhammad selalu merenung bertahun-tahun, sendirian di tengah
jaman edan yang bisa saja menikamkan pedang kapan saja ke pertunya. Ia
sendirian kontemplasi di Gua Hiro. Muhammad bersujud beratus kali lebih
lama dari manusia lain, berpuasa lebih lapar, belajar tanpa buku,
otodidak teladan. Itu semua tidak untuk cita-cita ke-Araban, melainkan
kemanusiaan dalam ke-Ilahian.
Simbol-simbol
humanis yang ditampilkan Muhammad sebagai manusia biasa, sama sekali
tidak berbeda dengan manusia lain. Ia sama dengan para tetangganya yang
pedagang, seorang pekerja keras sekaligus pemikir dan perenung. Proses
yang dijalani dari Muhammad yang manusia menuju Muhammad yang Nabi
dijalaninya dengan bekal kerja keras, sabar, dan tawakal. Ia menjadi
contoh keteladanan bagi seluruh manusia (QS. Al Ahzab:21).
Bahkan,
dalam opini Muhammad Husain Haikal (1992:78), bahwa Tuhan telah
mendidik Muhammad dengan sangat baik. Dengan sepenuh kalbu ia
menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada kebenaran yang abadi. Ia telah
menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberi
hidayah dan bimbingan kepada masyarakat yang sedang hanyut dalam lembah
kesesatan. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu, dan
pikiran yang sudah begitu tinggi, membumbung melampaui jangkauan yang
akan dapat dibayangkan manusia
Pendidikan
yang telah ditempuh Muhammad terpancar dalam segala aktifitas hidupnya,
termasuk dalam fase dimana Muhammad sebagai seorang enteurpreneur
sejati, sekaligus dermawan yang tak tertandingi. Ia adalah contoh
penegak keadilan yang sebenar-benarnya adil. Baginya, keadilan adalah
sikap dan praktik tidak berlebih-lebihan dalam kehidupan manusia.
Keadilan adalah memberi tanpa membuat penerima menjadi tergantung pada
pemberinya. Keadilan adalah “jalan tengah” antara dua ekstrem yang menjadi morlitas utama kaum muslimin.
Muhammad
merintis karier dagangnya ketika berumur 12 tahun dan memulai usahanya
sendiri ketika beumur 17 tahun. Pekerjaan ini terus dilakukan sampai
menjelang beliau menerima wahyu (beliau berusia sekitar 37 tahun).
Dengan demikian Muhammad telah berprofesi sebagai pedagang selama 25
tahun ketika beliau menerima wahyu. Angka ini sedikit lebih lama dari
masa kerasulan beliau yang berlangsung selama sekitar 23 tahun.
Kewirausahaan
(enterpreneurship) tidak terjadi begitu saja, tetapi hasil dari suatu
proses yang panjang sejak beliau masih kecil. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Collin dan Moores (1964) dan Zeleznik (1976) yang
menyatakan bahwa apa yang terjadi dalam tahun-tahun pertama kehidupan
kita akan membuat perbedaan yang berarti dalam kehidupan berikutnya
(dalam Caleu di www.serambinews.com tanggal 6 Juni 2008).
Mungkin
sebagian besar dari kita melihat sosok Nabi sebagai seorang tokoh besar
dunia yang hidup seadanya, tidak kaya dan tidak sukses dalam bisnis.
Namun, tahukah kita, bahwa sesungguhnya beliau adalah pedagang yang
handal dengan kemampuan berdagangnya bisa mendapatkan keuntungan dengan
modal nominal nol?
Dalam
konteks Muhammad, beliau mempunyai pengalaman yang pahit dilahirkan
dalam keadaan yatim. Setelah usianya 12 tahun, Muhammad diajak oleh
pamannya berdagang ke Syiria. Perjalanan yang begitu jauh yang ditempuh
oleh seorang anak berusia 12 tahun tanpa menggunakan mobil ataupun
pesawat. Sepulangnya dari Syiria, Muhammad semakin sering mengadakan
bisnis di seantero Arab dan dikenal sebagai seorang pengusaha sukses.
Yang
perlu menjadi catatan adalah bahwa Muhammad memiliki sikap mental yang
mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Kecerdasan emosionalnya juga
sangat baik sehingga mudah bergaul dan cepat membuat jaringan. Jaringan
yang dipupuk dengan bibit kejujuran. Dan yang sangat penting adalah
Muhammad sebagai pribadi yang pekerja keras (hard worker).
Ada dua prinsip utama yang patut kita contoh dari perjalanan bisnis Rasulullah. Pertama, uang bukanlah modal utama dalam bisnis. Modal utamanya adalah usaha untuk membangun kepercayaan dan dapat dipercaya (al amin): money is not number one capital in business, the number one capital is trust. Kedua, kompetisi dan kemampuan teknis yang terkait dengan usaha. Beliau
mengenal dengan baik pasar-pasar dan tempat-tempat perdagangan di
Jazirah Arab. Beliau juga mengetahui seluk beluk aktifitas perdagangan
dan bahayanya riba sehingga beliau menganjurkan jual beli dan
menghapuskan riba.(dalam Caleu di www.serambinews.com tanggal 6 Juni 2008).
Nasionalisme Muhammad Sebuah Rekomendasi
Sungguh,
manusia pilihan Tuhan itu telah datang, menjadi petunjuk bagi mereka
yang mengharapkan kebaikan Tuhan dan menunggu datangnya Kiamat tiba
(Qs.Al Ahzab:21). Ya, dialah Muhammad Sang Nabi Pamungkas Si Pembawa
Pencerahan. Dia yang dalam setiap gerak langkah hidupnya, setiap gagasan
dan ide orisinilnya mampu “menyihir” siapa pun, mampu mengubah
peradaban dari keterpurukan ke dalam kedamaian. Dialah contoh paling
nyata yang sepatutnya dijadikan rujukan oleh setiap umat manusia di mana
pun.
Berbicara
tentang nasionalisme, barangkali banyak yang telah memberi pengertian
dan pemaparan. Lebih dari itu, nasionalisme yang diuraikan dalam tulisan
ini mengarah kepada dari mana dan ke mana nasionalisme dikelola.
Penting sekali dipahami, bahwa nasionalisme dalam term ini
merujuk kepada kepribadian Muhammad yang notabene mengarahkan
nasionalisme yang tidak terjebak pada ekslusivisme. Islam tidak berada
di bawah bayang-bayang negara. Ada pergumulan yang sinergis bahwa
Muhammad tidak membawa manusia menuju Arabisasi tetapi menuju
kemanusiaan dalam ke-Ilahian.
Bahkan jika segala nilai hidup, segala konsep dan isme,
digali dan dikelola oleh manusia (kualitas kepribadiannya), maka
komitmen kebangsaan Muhammad bukan saja tidak dibatasi oleh ras atau
geografi. Bukan saja meluas ke pembelaan atas kaum tertindas sebagai
sebuah ‘bangsa’ tersendiri, namun bahkan juga bersih dari kehendak
kekuasaan dan nafsu ekonomi yang berlebihan. Muhammad tidak mendirikan
Negara Islam yang memaksa setiap warganya untuk beragama Islam.
Melainkan menyebarkan berita keselamatan setiap manusia dalam “laa ikraha fiddin” (1995:9).
Hal
ini menjadi teramat penting guna mendongkrak kembali semangat
perjuangan bangsa ini yang kian terpuruk, terkikis, bahkan nyaris habis.
Menumbuhkan semangat nasionalisme yang telah dipupuk bertahun-tahun,
cape dan melelahkan oleh seorang pejuang panji kebenaran Tuhan. Semangat
untuk terus berjuang, meratap, merenung dan bertahun-tahun untuk
mengubah keadaan kaumnya yang carut marut.
Kejahiliahan
ketika jaman Nabi, kini terjadi di Indonesia. Bukan masa jahiliah yang
identik dengan ketidaktahuan dalam membaca dan menulis. Tetapi jahiliyah
masa modern yang diartikan ketidaktahuan membaca, mencermati, dan
mencari solusi untuk keluar dari keterpurukan bangsanya. Ketidakcermatan
manusia untuk ‘membaca’ tanda dan kuasa Tuhan yang nampak di bumi.
Jahiliyah untuk cermat ‘membaca’ peluang usaha yang terbuka lebar di
depan mata kita.
Keterpurukan
Indonesia semakin terbukti dengan sikap mental masyarakatnya yang
lemah. Janganlah untuk maju bersaing dengan negara-negara lain. Hanya
sekedar untuk merenungkan apa tujuan hidupnya saja belimpungan. Ditanya
tentang sejarah perjuangan Muhammad untuk menjadi pengusaha syang handal masih terbengong-bengong, bingung dan heran. Padahal kok katanya Muhammad telah di-azzamkan
sebagai Rasul pilihan? Jika begitu, kemanakah generasi muda muslim di
Indonesia? Apakah masih diam, merenung, atau tertidur pulas tanpa mau
bangkit dan berusaha?
Barangkali benar apa yang dikatakan Emha (1995:7), bahwa kita semua harus bercermin kepada
Muhammad. Sebab ia bukan nabi tiban, nabi karbitan, bahkan nabi
dadakan. Semua pengetahuan tentang nilai alternatif yang ia dapat tidak
datang ‘gratisan’ dari Tuhan, melainkan ‘dibeli’ olehnya dengan proses
laku yang amat panjang, sakit dan melelahkan. Muhammad yang manusia
untuk menuju Muhammad yang nabi, ia tempuh dengan cara yang sama persis
seperti manusia siapa saja.
Ia
berjuang untuk jujur, berjuang untuk tekun, berjuang untuk
kontemplatif, berjuang untuk melibatkan diri dalam masalah sosial,
berjuang untuk senantiasa bertanya dan mempertanyakan, berjuang untuk
mengembangkan wawasan tentang persoalan masyarakat di sekitarnya.
Sangat
wajar, jika mulai dari saat ini, detik ini, kita semua belajar kembali
mendalamai Al Quran. Belajar mencermati denga teliti Al Quran berjalan
itu. Ya, Al Quran berjalan. Dialah Nabi Agung penutup para nabi,
Muhammad bin Abdullah (HR. Ahmad dan Muslim dari Aisyah Ra). Sebab dalam
segala perbuatannya memberi pelajaran mahal bagi kita untuk senantiasa
berjuang, kerja keras, sabar, dan tawakal untuk meraih kesuksesan.
Jika
Indonesia ingin bangkit, maka lihatlah perjuangan dan kerja keras
Muhammad. Ia tak pernah pantang menyerah untuk mengubah kaumnya yang
terpuruk. Ia membuktikan diri menjadi pribadi yang layak dan patut untuk
bersaing dengan umat dari bangsa mana pun. Ia membuktikan dirinya bahwa
semasa hidupnya mampu membuat imperium yang sangat mengangumkan. Hingga
kini, di abad modern super canggih sekalipun tak ada yang sanggup
menandingi kepribadiannya. Ia selalu dijajaran terdepan dalam segala
bidang dan kreatifitas apa pun. Dan tentu saja, ia adalah pengusaha
sukses yang dikagumi bukan saja karena hartanya, tetapi karena ketekunan
dan kejujurannya.
Bangsa
ini sedang terpuruk, sedang meratap, bahkan tersungkur dari persaingan
segala sektor di dunia, ekonomi misalnya. Sudah saatnya kita singkirkan syak wasangka, suudzon,
merentang perbedaan apalagi primoldialisme yang menjaga jarak untuk
bersatu. Saatnya kita satukan langkah, bahu membahu untuk menembus
nasionalisme Muhammad guna menyongsong masa depan Indonesia yang lebih
baik lagi.
Inilah
waktunya, kita menjadi “Muhammad-Muhammad” yang “terlahir” kembali
untuk membuktikan diri bahwa kita layak dan patut bersaing. Kita mampu
menjadi pengganti Bill Gates, atau bahkan bisa melebihinya. Kita pun
mampu membuat imperium baru. Namun, tentu saja dengan bekal kerja keras
dan prinsip usaha yang telah dicontohkan Muhammad. Perjuangannya untuk
jujur, untuk kerja keras, untuk sukses, harus menjadi spirit guna
menyongsong Indonesia baru. Indonesia yang dihuni oleh manusia-manusia
yang cermat membaca peluang usaha, manusia pekerja keras, dan memiliki
kejujuran untuk meraih kesuksesannya.
Khatimah
Tanda-tanda
keterpurukan Indonesia nampak semakin jelas. Bahkan umat Islam yang
berada paling banyak di negara khatulistiwa ini tak bisa berkutik, diam,
seolah terhanyut dalam gelombang arus modernitas. Kaum Muslimin menjadi
pribadi lemah, pengekor, dan tak punya jati diri. Parahnya untuk
sekedar menemukan siapa dirinya saja terasa sulit. Manusia Indonesia
yang hanya bisa bermimpi tanpa mau mewujudkan mimpinya untuk menjadi
sukses itu.
Kejahiliyahan
yang merebak di negara kita, membuat umat Muslim menutup mata dan
berpura-pura tidak mendengar dengan seruan Al Quran. Padahal mereka bisa
saja melihat dan mencermati Sang Al Quran berjalan itu. Dialah
Muhammad. Mereka bisa mengambil pelajaran berharga dari perjuangan Sang
Nabi. Keteladanan tentang kerja keras, keuletan, kesabaran, ketawakalan,
serta kejujuran dan prinsip-prinsip usahanya. Apalagi nasionalisme
Muhammad memberi gambaran untuk terus memperjuangkan kebenaran,
keadilan, kejujuran bahkan kerja keras tanpa batas dan sekat ekslusi.
Akhirnya,
nilai dan perjuangan di mata Allah dan hakikat kebenaran tidak
ditentukan oleh berhasil tidaknya suatu perjuangan. Melainkan ditentukan
oleh kesetiaan daya juang sampai batas yang seharusnya dilakukan
(dikutip oleh Agus Ahmad Safei dalam Ensilkopedi Pemikiran Emha Ainun
Nadjib, 2002:20).
Dan
terakhir: “Hidup tanpa tauhid tidaklah berarti, hidup tanpa kemuliaan
bagaikan sebuah kegelapan, hidup tanpa masa lalu yang bersinar adalah
musibah, hidup tanpa ada hal yang dapat dikenang adalah kebinasaan, dan
hidup tanpa keunggulan adalah sia-sia” (Al Yami, 2006:36).
Wallahu’alam
Daftar Pustaka
Al Quran dan terjemahnya.
Agus Ahmad Safei, 2002, Ensiklopedi Al Quran Pemikiran Emha Ainun Nadjib: Negeri Yang Malang, Yogyakarta, Tinta.
Emha Ainun Nadjib, 1995, Nasionalisme Muhammad, Yogyakarta, SIPRESS.
Karen Armstrong, 2004, Sejarah Tuhan, Bandung, Mizan Media Utama.
Muhammad bin Sarrar Al Yami, 2006, Menjadi Manusia Unggul, Jakarta, Maghfirah Pustaka.
Muhammad Husain Haekal, 1992, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta, Litera Antar Nusa.
Muhammad Nabil Kazhim, 2008, Sukses itu Mudah, Solo, Abyan.
Nurcholish Madjid, 1997, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina.
Radhar Panca dahana, 2007, Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia, Yogyakarta, Resist Book.
0 Komentar