Mengagumkan, ternyata wilayah Majapahit lebih luas dari yang
diperkirakan selama ini oleh sejarawan. Riset terbaru tentang penempatan
prajurit Majapahit di luar Jawa menemui fakta yang menakjubkan.
Uniknya, pleton-pleton kawal Majapahit beranggotakan prajurit beragama
Islam. Peninggalannya pun masih bisa dibuktikan hingga sekarang.
Adanya penempatan prajurit Majapahit di Kerajaan Vasal (bawahan) yang
terdiri dari 40 prajurit elite beragama Islam di Kerajaan Gelgel-Bali,
Wanin-Papua, Kayu Jawa-Australia Barat, dan Marege-Tanah Amhem (Darwin)
Australia Utara pada abad ke 14 memperkuat bukti bahwa Gajah Mada adalah
seorang Muslim. Silakan anda berkunjung ke daerah tersebut, terutama ke
Bali Utara sebelum anda memberi komentar tanpa dasar.
Prajurit
Islam ini berasal dari basis Gajah Mada dalam merekrut prajurit elite
yang terdiri dari 3 (tiga) kriteria: Mada; Gondang (Tenggulun-Lamongan)
dan Badander (Jombang) yang diketahui sebagai basis teman-teman lama
beliau. Dari desa-desa ini pemudanya direkrut menjadi Bhayangkara
angkatan II dan seterusnya. Tuban, Leran, Ampel, Sedayu sebagai basis
Garda Pantura. Pahang-Malaya, Bugis-Makasar, dan Pasai sebagai basis
tentara Laut Luar Jawa.
Hal ini adalah wajar, karena di Jawa,
Islam telah berbaur sejak abad ke 10 yang dibuktikan dengan penemuan
Prasasti nisan Fatimah binti Maimun (wafat 1082 M) di Leran, Gresik yang
bertuliskan huruf Arab Kufi. Dan Prasasti Gondang - Lamongan yang
ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi). Keduanya
merupakan peninggalan zaman Airlangga. Sedangkan orang Islam sudah masuk
ke Jawa sejak zaman Kerajaan Medang abad ke 7. Islam baru berkembang
dengan pesat di Jawa pada abad ke 15, atas peran tak langsung dari
politik Gajah Mada, putra desa Mada-Lamongan, politikus abad ke 14.
Pembentukan Satuan Elite, Pabrik Senjata dan Dinar Emas
Satuan tentara elite Majapahit sudah dibangun sejak masa Jayanegara
(1319), yaitu pasukan kawal raja – Bhayangkara, yang dipimpin oleh bekel
Gajah Mada. Pada masa selanjutnya satuan elite terus berkembang,
terutama pada masa Gajah Mada menjabat sebagai mahapatih amangkubhumi
dari tahun 1334 sampai 1359, sejak masa Tribhuwana Tunggadewi hingga
masa Hayam Wuruk.
Menurut “Hikayat Raja-raja Pasai”, ketika
Majapahit menyerang Pasai, dan dipukul mundur (1345), lalu menyerang
kembali dan meluluh lantakan istana Sultan Ahmad Malik Az Zahir (1350),
Gajah Mada yang juga seorang muslim, membawa tawanan orang Pasai yang
terdiri dari para ahli, insinyur lulusan Baghdad, Damaskus dan
Andalusia. Sedangkan Sultan Pasai melarikan diri dari istana. Setibanya
di Majapahit, Gajah Mada membebaskan tawanan tersebut setelah
bernegosiasi dengan Prabu Hayam Wuruk. Kemudian orang Pasai ini
bekerjasama dengan Gajah Mada untuk membangun kejayaan Majapahit.
Sebagai balas jasa, Majapahit memberi otonomi kepada Kerajaan Pasai
Darussalam, dan menempatkan orang Pasai di komplek elite di ibukota
Majapahit – Trowulan. Hal ini dibuktikan, pada 1377 Majapahit
menghancurkan Kerajaan Budha Sriwijaya dan menguasai seluruh Pulau
Sumatera, kecuali Pasai.
“Maka titah Sang Nata akan segala
tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana
kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa
tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu” (Kutipan dari “Hikayat Raja-raja
Pasai”).
Dengan adanya orang Pasai yang ahli dalam bidang
tempa logam, baik itu baja maupun emas, maka didirikanlah bengkel
senjata dan alat pertanian yang sempurna (standar baja Damaskus) ,
saluran irigasi model Andalusia di Trowulan dan pabrik koin dinar emas
Majapahit. Seiring dengan perluasan wilayah Majapahit untuk mewujudkan
“Sumpah Palapa”, Gajah Mada membentuk pleton-pleton khusus yang
didominasi oleh prajurit Islam.
Prajurit Islam Majapahit di Bali
Penempatan 40 orang prajurit Islam Majapahit di Kerajaan Gelgel –
Klungkung, Bali dimulai ketika Raja Gelgel I, Dalem Ketut Ngulesir (1320
– 1400) berkunjung sowan abdi ke Trowulan, tak lama setelah deklarasi
pendirian Kerajaan Gelgel tahun 1383. Beliau didampingi oleh Patih
Agung, Arya Patandakan dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh) yang
menghadap Prabu Hayam Wuruk saat upacara Cradha dan rapat tahunan
negeri-negeri vasal imperium Majapahit. Ketut Ngulesir memohon dukungan
dari Maharaja Majapahit, yang dikabulkan dengan pemberian 1 (satu) unit
pleton khusus binaan Almarhum Gajah Mada. (“Kitab Babad Dalem”,
manuskrip tentang Raja-raja Bali).
Prajurit Islam ini menikah
dengan wanita Bali, dan beranak-pinak disana. Mereka sangat setia
membentengi Puri Gelgel – Klungkung. Bahkan meskipun pada akhirnya
imperium Majapahit runtuh (1527), tapi Prajurit Islam tetap menjadi
tentara elite Kerajaan Gelgel, dari generasi ke generasi. Begitu pula di
Kerajaan Buleleng, prajurit Islam membentengi Puri Buleleng dari
serangan Raja Mengwi dan Raja Badung dari Kerajaan di Bali Selatan.
Faktanya, saat ini kita masih dapat saksikan di Bali, keturunan
prajurit Islam Majapahit yang telah mencapai ribuan orang Islam asli
Bali (mereka menggunakan nama Bali, untuk membedakan dengan muslim
pendatang) tepatnya di desa Gelgel, Klungkung dan di desa Pegayaman,
Buleleng – 70 km arah utara Denpasar. Mereka adalah penduduk mayoritas
di desa-desa kuno tersebut.
Pertanyaannya : Kenapa Hayam Wuruk mengirimkan pleton prajurit Islam untuk mengawal negeri bawahan Majapahit ?
Jawabannya: Pertama, almarhum Gajah Mada (wafat 1364) telah membangun
sistem perekrutan satuan tentara elite yang beranggotakan prajurit
Islam, dibekali dengan senjata pamungkas, dan berperang sesuai dengan
sunnah Nabi Muhammad SAW. Kedua, Prabu Hayam Wuruk diduga telah
mengetahui bahwa Gajah Mada bukan Sudra, melainkan seorang Muslim.
Kemungkinan info yang rahasia ini diperoleh dari Ibunda Ratu Tribhuwana
Tunggadewi.
Untuk menghormati almarhum Gajah Mada, beliau tidak
mencerai-beraikan pleton-pleton Muslim yang berjumlah 40 orang, karena
dalam Madzhab Imam Syafi’i, syarat minimal untuk mendirikan sholat Jumat
adalah 40 orang. Ketiga, kemampuan tempur 40 orang prajurit Islam dapat
menghancurkan 200-400 orang tentara reguler musuh. Karena mereka
dibekali kemampuan militer yang menguasai berbagai jenis senjata. Hal
ini dibuktikan dalam perang mempertahankan Puri Buleleng dari serbuan
pasukan gabungan dua Kerajaan Mengwi dan Badung, yang terletak di Bali
Selatan. Keempat, Hayam Wuruk kagum atas kesetiaan dan ketetapan janji
orang Islam. Mereka tidak terpengaruh godaan harta, wanita dan tahta
yang bukan haknya. Mereka tidak pernah mabuk, berjudi, maling dan
berzina ( kebiasaan buruk di Majapahit adalah mabuk dan berjudi, dan
agak permisif dalam hal seks ). Panutan mereka adalah Gajah Mada, yang
diklaim oleh orang-orang Majapahit sebagai orang Hindu berkasta Sudra?
Ketika pleton prajurit Islam Majapahit ini mengawal pulang rombongan
Raja Gelgel, Ketut Ngulesir, mereka dibekali oleh Hayam Wuruk berupa
puluhan ribu koin cash Cina dan koin Gobog Wayang (koin kepeng tembaga)
serta ratusan koin dinar emas Majapahit. Ini sebagai balasan atas
penyerahan upeti dari Kerajaan Gelgel Klungkung berupa hasil bumi, hewan
ternak dan tangkapan, perhiasan dan kerajinan tangan rakyat Gelgel.
Hayam Wuruk berharap, stok koin-koin tersebut mampu merangsang tumbuhnya
ekonomi di Gelgel. Sejak saat itu Pura Klungkung dan Pura Buleleng
telah akrab dengan koin dinar emas dalam ritual ibadah mereka.
Prajurit Islam Majapahit di Wanin – Papua
Saat Prof. JH Kern dan NJ Krom meneliti kitab Nagarakertagama yang
ditemukan (dijarah) oleh JLA Brandes dari istana Cakranagara, Lombok
(1894). Prof. Kern dan Krom, 1920, mendapati fakta bahwa kekuasaan
Majapahit di Papua Barat dibuktikan dengan adanya penempatan prajurit
Islam di Wanin – Papua. Berdirinya Kerajaan Wanin di Fak-fak hingga Biak
merupakan vasal Majapahit. Sampai sekarang, Raja-raja dan rakyat di
Wanin dan Fakfak sangat kental nuansa Islamnya dan sangat fasih
menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tak seperti di Bali,
prajurit Islam Majapahit ini membawa istri mereka yang dinikahi di Jawa,
Bugis, Seram dan pulau Maluku, sebelum akhirnya menetap di Wanin. Saat
Majapahit runtuh, pada abad ke 16, Kerajaan Wanin bergabung dengan
Kerajaan Ternate Darussalam di Maluku Utara, yang dulunya juga merupakan
bawahan Majapahit. Diperkirakan situs Majapahit di Papua tersebar luas
di Fak-fak, Biak dan Raja Ampat. Keturunan mereka berbeda dengan ras
Papua.
Prajurit Islam Majapahit di Marege – Australia
Sejarah resmi negeri kangguru, sepertinya harus segera direvisi. Sebab
Prof. Regina Ganter, sejarawan dari University of Griffith, Brisbane,
Australia – belum lama ini meriset suku Aborigin Marege yang berbahasa
Melayu Makasar. Marege adalah desa kuno di tanah Arnhem, di daerah
Darwin, Australia Utara. Regina mendapat fakta yang menakjubkan , bahwa
komunitas Muslim kuno Aborigin berasal dari Kerajaan Gowa Tallo,
Makasar, sudah ada sejak abad ke 17 (1650 an), dan menyebarkan Islam di
Australia Utara hingga ke desa Kayu Jawa di Australia Barat.
Orang Marege hingga hari ini menyebut rupiah untuk kata ganti uang,
padahal mata uangnya adalah dollar. Juga menyebut dinar untuk koin emas
Australia. Dahulu sempat ditemukan koin Gobog Wayang di desa Marege
Darwin. Padahal koin Gobog merupakan koin resmi Majapahit. Dan ini
menunjukkan adanya jejak prajurit Majapahit abad ke 14 yang dikirim ke
Marege, namun hal itu masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Dalam risetnya, Prof. Regina menuturkan bahwa sejak masa Sultan
Hasanuddin (1653-1669) kapal-kapal Pinisi dari Makasar menguasai
perairan teluk Carpentaria – Darwin, mereka mencari tripang. Di tanah
Arnhem, Marege, orang Makassar berhubungan dengan suku Aborigin, menikah
dan beranak pinak membentuk komunitas Aborigin Muslim. Dalam kebudayaan
Marege, nampak jelas mereka menggambar kapal Pinisi Makasar dalam karya
seni kuno mereka. Uniknya, kapal bercadik Majapahit pun terpahat dalam
seni ukir dan lukis mereka yang berusia ratusan tahun.
Ketika
orang Inggris menjajah rayah desa Marege dan desa Kayu Jawa, mereka
nyaris menghancurkan budaya Islam suku Aborigin Marege pada abad ke 20
seiring arus Westernisasi di negeri Kanguru. Karya seni Marage banyak
yang diboyong ke Eropa. Orang Marege menyebut orang Inggris sebagai
‘Balanda’, sedangkan orang Kayu Jawa menyebutnya ‘Walanda’, dan perang
melawan orang Inggris disebut ‘Jihad Kaphe’.
Semoga riset yang
akan dilakukan oleh Tim Riset Yamasta ( beranggotakan Viddy Ad Daery,
Sufyan Al-Jawi, Drs. Mat Rais dan Farhaz Daud ) untuk program yang akan
datang, dapat mengungkap keberadaan situs Majapahit di Marege, Kayu Jawa
dan tempat lainnya di Australia. Sesungguhnya kita adalah Bangsa yang
besar dan jaya, pernah membangun perdaban Superpower – Nusantara. Mari
bersatu, hilangkan egoisme SARA dan sinisme, marilah kita bangkit dan
membangun kembali Nusantara [SF].
KOMPAS
0 Komentar