DI INTERNATIONAL CONFERENCE GOTRASAWALA
5-7 Desember 2013, Hotel Homann – Gd.Merdeka, Bandung
Disparbud, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Acara
Seminar Internasional Gotrasawala, tgl 6 Desember 2013, dibuka oleh
sambutan dari Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan dilanjutkan
oleh Gubernur Jawa Barat. Bapak Gubernur mengungkapkan apresiasi dan
optimismenya terhadap penelitian yang sudah dilakukan, khususnya oleh
Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) dan menyatakan bahwa kontroversi
pendapat tentang Gunung Padang tidak boleh menjadi penghalang,
penelitian harus dilanjutkan sampai tuntas sehingga terang untuk semua
pihak.
Prof. Dr. Anthony Reid, sejarawan kenamaan
dari Australian National University yang menjadi “general keynote
speaker”, mengawali acara seminar dengan presentasi umum tentang sejarah
Indonesia, khususnya Jawa Barat. Salah satu wacana menggelitik yang
dikemukakan beliau adalah perihal ketiadaan fakta tentang keberadaan
tinggalan budaya tinggi di tanah Jawa Barat, tidak seperti misalnya
Candi Borobudur di Jawa Tengah, sehingga menurut beliau kebudayaan
leluhur Jawa Barat dianggap “Low Culture”. Mudah-mudahan apabila nanti
keberadaan monumen agung yang masih terpendam di bawah Situs Gunung
Padang sudah terungkap jelas maka budaya leluhur tanah Jawa Barat tidak
lagi dianggap tertinggal.
Gunung Padang menjadi tema
utama acara seminar Gotrasawala yang perdana ini. Sehari sebelum
seminar, pada tanggal 5 Desember 2013, diselenggarakan acara “Field
Trip” atau ekskursi lapangan ke Situs Gunung Padang di Cianjur yang
diikuti oleh semua peserta dari manca negara dan lokal. Seminar Gunung
Padang pada tanggal 6 Desember, baru dimulai pada pukul 13:30 setelah
rehat Sholat Jumat dan makan siang. Acara ini diisi oleh tiga pembicara
utama, yaitu: Dr.Ir. Danny Hilman Natawidjaja, M.Sc (TTRM), Mr. Graham
Hancock dari Inggris (UK) dan Prof.Dr. Robert Schoch dari Boston
University USA. Mr. Hancock adalah peneliti terkenal dari U.K. yang
banyak menulis buku tentang kebudayaan kuno dan situs-situs megalitik
besar di seluruh dunia. Prof. Schoch adalah ahli geologi yang juga
banyak mengunjungi dan meneliti situs-situs megalitik besar di dunia
termasuk Piramid Giza dan Sphinx di Mesir dan Gobekli Tepe di Turki
serta situs-situs kontroversial seperti klaim Piramid di Bosnia dan
bangunan megalitik besar yang tenggelam di dekat Pulau Yonaguni,
perairan Okinawa, Jepang.
Pembicara pertama, Dr.
Natawidjaja, memaparkan metoda, data dan hasil-hasil analisa penelitian
TTRM di Gunung Padang secara cukup detil dan komprehensif selama
sekitar satu seperampat jam. Dalam pemaparannya disampaikan bahwa
penelitian di Gunung Padang adalah penelitian murni ilmiah yang
komprehensif mengintegrasikan keahlian dan metoda dari berbagai disiplin
keilmuan termasuk bidang arkeologi, geologi, geofisika, arsitektur dan
kebudayaan.
TTRM Khususnya memperkenalkan
aplikasi metoda dan perangkat teknologi terkini untuk pemindaian
struktur bawah permukaan di bidang ilmu kebumian, yaitu: teknik georadar
(Ground Penetration Radar), teknik eksplorasi geolistrik (multi-channel
resistivity survey) dan teknik seismik tomografi. Berbagai penampang
citra hasil pemindaian geofisika ini di-‘kalibrasi’ jenis tanah/batuan
penyusun setiap lapisan-lapisannya oleh data sampel tanah/batuan dari
hasil pemboran (“drill cores”). Dalam presentasi, Dr.Eng. Bagus Endar,
anggauta TTRM yang Ketua Himpunan Ahli Geofisika Jawa Barat dan juga
staf pengajar di Fisika Bumi ITB, menjelaskan studi seismik tomografi di
Gunung Padang oleh tim yang dipimpinnya. Beliau dengan jelas dan tegas
menepis tuduhan miring tentang penggunaan dinamit dalam survey. Yang
dipakai untuk “source” sumber bunyi survey tomografi adalah peledak
kecil berbahan mercon dengan ukuran hanya 5 sentimeter.
Hasil survey tomografi konsisten dengan hasil survey geolistrik dan
georadar tentang keberadaan struktur bangunan di bawah permukaan. Ir.
Chaedar Saleh ikut berbicara mewakili Bpk.Ir. Pon Purajatnika, ahli
lanskap-arsitektur ITB yang banyak meneliti arsitektur sunda dan
tinggalan purbakalanya, menguraikan aspek lanskap dan model arsitektur
dari situs Gunung padang dari hail pemindaian geofisika. Kemudian Dr.
Undang Darsa, ahli filologi dan budaya Sunda dari Universitas
Pajajaran, menguraikan pandangannya yang menarik tentang hasil
penelitian Gunung Padang ditinjau dari sejarah dan kebudayaan Sunda.
Beliau mengatakan bahwa pada penelitian tahap lanjutan nanti sangat
penting untuk mempelajari berbagai simbol-simbol yang banyak terlihat di
bebatuan situs, tentu setelah terlebih dahulu dipisah-pisahkan mana
yang hasil proses alam dan mana yang dibuat manusia.
Singkatnya, hasil penelitian TTRM nyata serta teruji secara ilmiah;
Semua metoda dan teknik yang dipakai dalam penelitian sangat aman, tidak
ada yang merusak lingkungan apalagi situs. Penelitian TTRM di Gunung
Padang adalah penelitian yang dilakukan secara sukarela oleh para
anggautanya tidak didanai oleh pemerintah. Dr. Bagus Endar
mengemukakan bahwa kegiatannya di Gunung Padang adalah juga bagian dari
kegiatan HAGI jabar dalam bakti dan pemasyarakatan ilmu. Semua kegiatan
penelitian di Gunung Padang dilakukan sesuai dengan prosedur dan
perizinan yang semestinya.
Dalam presentasi Dr. D.H.
Natawidjaja menguraikan bahwa temuan-temuan penting hasil penelitian
adalah sebagai berikut: 1. Situs punden-berundak yang terdiri dari
susunan batu-batu kolom andesit-basaltik (“columnar joint rocks”) tidak
hanya sebatas 3 hektar di atas bukit (seperti yang sudah ditetapkan)
tapi menutupi seluruh badan bukit setinggi 100 meter dengan luasan
mencapai 15 hektar, bahkan mungkin lebih besar lagi; 2. Di bawah
permukaan masih ditemukan lapisan yang tersusun dari batu-batu kolom
sejenis sampai kedalaman 15 meteran yang juga dibuat oleh manusia
(man-made) bukan dalam posisi/kondisi alamiah; 3. Formasi batuan
alamiah/geologi baru ditemukan (ditembus bor) pada kedalaman sekitar 15
meter dari permukaan situs berupa tubuh batuan lava basaltik masif yang
tebalnya mencapai lebih dari 15 meter.
Namun
geometri luar tubuh batuan lava terlihat seperti sudah dipahat atau
dibentuk oleh manusia. Didalam tubuh batuan lava ini terlihat ada
lorong dan ruang besar. Lorong-lorong dan ruang-ruang di dalamnya
kemungkinan besar juga sudah dibentuk manusia walaupun mungkin saja
asalnya berupa gua lava alamiah. Singkatnya, geologi Gunung Padang
memang sisa komplek gunung api purba berumur jutaan tahun (Zaman
Tersier), asalnya berupa bukit lava alamiah yang terhampar di atas
lapisan tufa gunung api; Namun bukit lava itu sudah dipermak menjadi
semacam bangunan dan dari zaman ke zaman secara bertahap ditutupi oleh
susunan batu-batu kolom berlapis-lapis sampai setebal 15 meteran.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah umur-umur dari lapisan-lapisan
situs tersebut. Berdasarkan analisa umur dengan metoda karbon dating
yang dilakukan di Badan Tenaga Atom (BATAN) dan BETA Analytic USA yang
terakreditisasi secara internasional, situs yang terlihat di permukaan
didirikan di atas tanah yang berumur 2500 sampai 3500 tahunan (500-1500
tahun SM). Kemudian lapisan bangunan susunan batu kolom kedua di
bawahnya setebal 2-4 meteran mempunyai campuran tanah dan berdiri di
atas hamparan pasir kerikil yang mempunyai kandungan karbon berumur 6700
sampai 7000 tahunan (4700 sampai 5000 tahun SM). Lapisan batu kolom
ketiga di bawahnya ditemukan tertimbun oleh tanah urug yang berumur
sekitar 10.000 tahun. Kemudian umur karbon dari sisipan tanah pada
lapisan ketiga ini berkisar dari 13.000 sampai 25.000 tahun lalu.
Apabila keberadaan bangunan dan umur-umurnya nanti sudah lebih lanjut
diverifikasi dan diakui dunia, maka situs Gunung Padang akan menjadi
mahakarya agung tertua di dunia yang menjadi saksi dari perkembangan
sejarah peradaban yang hilang.
Di bagian akhir
presentasi Dr. Natawidjaja menguraikan tentang temuan di Gunung Padang
dari kacamata ilmu pengetahuan “mainstream”. Dikemukakan bahwa
pengetahuan saat ini hanya mengakui bahwa perkembangan peradaban di
dunia baru terjadi sejak sekitar 10.000 tahun lalu. Namun dilain pihak
dunia ilmiah juga mengakui bahwa manusia modern sudah ada di bumi sejak
sekitar 195.0000 tahun lalu. Artinya, dunia meyakini bahwa manusia
tetap dalam zaman primitif, hidup berburu dan tidur di hutan dan gua-gua
selama 185.000 tahun lamanya; Tapi tiba-tiba sejak 10.000 tahun lalu
tanpa sebab yang diketahui mendadak pintar.
Temuan
konstruksi bangunan besar yang lebih tua dari 10.000 tahun seperti di
Gunung Padang tentu kontradiktif dengan dogma ilmiah ini, namun kalau
nanti sudah diakui akan menjadi terobosan besar dalam dunia ilmu
pengetahuan. Dr. Natawidjaja menguraikan bahwa ‘kontradiktif’ ini
dapat dijelaskan oleh konsep baru, yaitu bahwa perkembangan
peradaban/kebudayaan di dunia ini tidak menerus melainkan ‘siklus’
artinya berkali-kali terputus atau hancur oleh berbagai bencana alam
katastrofi sehingga peradaban yang sudah maju bisa kembali menjadi
primitif lagi dan kemudian harus merangkak lagi untuk maju kembali.
Dengan kata lain sejarah awal perkembangan peradaban kita sejak 10.000
tahun lalu boleh jadi bukan satu-satunya peradaban tapi hanya siklus
peradaban setelah terjadi bencana katastrofi ketika perioda “Younger
Dryas” (12.900 – 11.600 tahun lalu) di akhir Zaman Pleistosen.
Mr.
Graham Hancock dan Prof. Robert Schoch dalam presentasinya menyatakan
kekagumannya terhadap Gunung Padang dan hasil penelitiannya.
Dua-duanya menyatakan setuju dengan instruksi Bapak Gubernur Jawa Barat
bahwa penelitian di Gunung Padang wajib dituntaskan dan didukung penuh
oleh pemerintah dan masyarakat. Ketika kunjungan ke Gunung Padang,
mereka sudah berdiskusi panjang lebar dengan TTRM di lokasi. Menurut
mereka bukti-bukti ilmiah dari keberadaan struktur bangunan besar di
bawah situs sangat meyakinkan.
Data umur hasil
karbon dating pun konsisten dan “valid” secara ilmiah meskipun mereka
menganjurkan untuk dilakukan penelitian umur yang lebih detil lagi.
Mereka mengatakan bahwa Situs Gunung Padang dapat menjadi situs cagar
budaya yang terpenting di dunia, dan akan menjadi pusat perhatian dunia
ilmiah sekaligus menjadi tujuan wisata manca negara. Mereka
mengungkapkan sangat berterimakasih kepada panitia acara dan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat karena sudah diundang datang sehingga berkesempatan
melihat sendiri situs Gunung Padang dan hasil-hasil mutakhir dari
penelitiannya. Dengan jujur mereka katakan sangat puas karena ternyata
lebih baik dari yang mereka duga sebelumnya.
Dalam
seminar, baik Mr. Hancock dan Prof. Schoch, sama-sama mempresentasikan
fakta-fakta dari berbagai lokasi situs megalitik di seluruh dunia yang
mendukung adanya peradaban maju sebelum 10.000 tahun lalu. Diantaranya
Mr. Hancock mempresentasikan tentang hasil penelitian di Situs Gobekli
Tepe di Turki. Gobekli Tepe adalah situs megalitik besar yang asalnya
tertimbun tanah di bawah bukit, mirip dengan Gunung Padang. Bangunan
Gobekli Tepe ini juga berlapis-lapis dari zaman ke zaman. Lapisan yang
paling tua yang sudah dieskavasi berumur sekitar 11.600 tahun. Situs
ini terdiri dari batu-batu masif besar yang terukir sangat bagus
membentuk lingkaran-lingkaran. Singkatnya bangunan Gobekli tepe tidak
mungkin dibuat oleh masyarakat berbudaya primitif tapi sudah berbudaya
tinggi.
Menariknya, Situs Gobekli Tepe juga
ditimbun dengan tanah dan batu dengan sengaja pada sekitar 9600 tahun
lalu dengan alasan yang masih misterius, terutama karena pekerjaan
menimbunnya sama sulitnya dibanding dengan membangunnya. Inilah
satu-satunya situs bangunan kuno di dunia yang kisaran umurnya dapat
disebandingkan dengan Situs Gunung Padang. Kemudian Mr Hancock juga
mempresentasikan penelitiannya di Situs Nan Madol di Kepulauan
Mikronesia, di barat Lautan Pacific. Situs Nan Madol disusun dari
batu-batu kolom persis seperti batuan penyusun situs Gunung Padang.
Menurut penelitian, Situs Nan Madol yang berada di atas air berumur
sekitar Abad ke-12 dan 13 Masehi, namun bangunan situs ini menurut
penelitian Hancock menerus sampai jauh ke kedalaman lebih dari 40 meter
di bawah air, sehingga patut dicurigai bahwa Nan Madol ini juga
berlapis-lapis seperti situs Gunung Padang dan boleh jadi mulai dibangun
sejak sebelum 10.000 tahun ketika permukaan air laut masih sekitar 50
meter di bawah muka airlaut sekarang. Selanjutnya Graham menguraikan
berbagai data dan argumen tentang kemungkinan ada peradaban maju pada
zaman es tapi punah oleh bencana ketika perioda Younger Dryas.
Beliau
menguraikan hipotesa tumbukan meteor besar sekitar 12.900 tahun lalu
(awal Younger Dryas) yang menyebabkan kepunahan peradaban manusia.
Beliau juga mengungkapkan tentang teka-teki besar dari konfigurasi situs
kuno, termasuk piramid di Mesir dan situs candi Angkor Wat di Kamboja,
yang merepresentasikan konfigurasi matahari dan bintang-bintang ketika
akhir Zaman Pleistosen tersebut. Apakah hal ini untuk mengabadikan
ingatan tentang hancurnya peradaban di bumi dahulu kala?
Presentasi
Profesor Schoch berjudul “Antiquity of Civilization: Rethinking The
Paradigm”. Beliau mempresentasikan hasil penelitiannya di situs Sphinx
di Piramid Giza Mesir. Temuannya membuktikan bahwa Sphinx dibangun pada
masa sebelum 7000 tahun lalu, jauh sebelum zaman kerajaan Mesir
(Firaun) yang pertama. Perkiraan umur ini didasarkan pada bukti bahwa
bagian bawah Sphinx tererosi sangat intensif oleh media air bukan angin,
sedangkan hal ini hanya dapat terjadi sebelum 7000 tahun lalu ketika
wilayah ini masih merupakan dataran hijau.
Setelah 7000 tahun wilayah ini sudah menjadi gurun yang sangat kering
sehingga mustahil terjadi erosi air yang demikian intensif. Penemuan
ini sangat kontroversial, walaupun banyak didukung oleh para ahli
geologi namun ditentang keras oleh para ahli arkeologi, khususnya para
egiptologist yang bersikukuh bahwa Sphinx dibangun oleh nenek moyang
mereka, Raja Firaun. Alasan pertama yang dikemukakan adalah karena
kepala Sphinx adalah kepala Raja Mesir, namun alasan ini ditepis dengan
uraian bahwa proporsi kepalanya sangat kecil kalau dibandingkan dengan
badan Sphinx sehingga kemungkinan besar sudah dipahat ulang oleh Raja
Mesir dari bentuk aslinya yang mungkin sudah rusak parah. Keberatan
berikutnya yang dikemukakan oleh para arkeolog adalah karena sebelum
5000 tahun lalu tidak dikenal ada peradaban maju dalam sejarah Mesir dan
sekitarnya. Namun dengan ditemukannya Situs Gobekli Tepe yang berumur
11.600 tahun maka bantahan ini sudah tidak relevan lagi.
Prof.
Scoch mengemukakan bahwa aplikasi survey pemindaian bawah permukaan
seperti yang dilakukan oleh TTRM di Gunung Padang lazim dilakukan di
dunia. Penelitian arkeologi di Gobekli Tepe juga dipandu oleh survey
geofisika-geologi bawah permukaan. Beliau sendiripun melakukan survey
Seismik di lokasi Sphinx. Dari survey ini ditemukan ada “chamber” atau
ruangan besar di bawah Sphinx yang diduga menyimpan informasi berharga
tentang sejarah yang hilang. Sayangnya beliau tidak diijinkan untuk
meneruskan penelitiannya oleh Pemerintah Mesir sampai sekarang.
Berikutnya
Prof. Scoch mengemukakan teori tentang hancurnya peradaban Zaman Es
karena bencana badai plasma matahari yang sangat dahsyat. Cukup banyak
penelitian ilmiah yang mengkaji tentang bencana badai matahari yang
terjadi pada akhir perioda Younger Dryas, sekitar 11.600 tahun lalu.
Keberadaan bangunan batu megalitik dengan ruang-ruang di dalamnya
dicurigai sebagai usaha manusia untuk tempat berlindung dari plasma
badai matahari. Selain itu ada banyak simbol-simbol di berbagai situs
megalitik, termasuk manuskrip pada tablet Rongorongo di Easter
Island, yang mengindikasikan bencana plasma matahari. Gempuran badai
plasma matahari ini diduga dapat melelehkan es secara instan sehingga
terjadi banjir besar global. Penghilangan massa es dengan tiba-tiba
juga dapat mengganggu kesetimbangan isostasi bumi sehingga memicu banyak
letusan gunung api dan gempa-gempa bumi.
Ringkasnya, hasil seminar Gunung Padang pada acara Gotra Sawala adalah sebagai berikut:
1.
Hasil penelitian di Gunung Padang didukung data-data ilmiah yang sangat
kuat bahwa Situs Gunung Padang merupakan bangunan megalitik pra-sejarah
yang luarbiasa, besar dan berlapis-lapis sampai puluhan meter di bawah
permukaannya. Tidak ada sanggahan/bantahan ilmiah dari peserta luar dan
dalam negeri terhadap semua data dan analisa yang diuraikan. Juga
tidak ada teknik dan metoda yang dianggap menyalahi prosedur atau
merusak (lingkungan) situs.
2. Temuan baru di Gunung Padang
adalah bukti yang mendukung bahwa sejarah peradaban manusia tidak hanya
sebatas 11-10 ribu tahun lalu saja. Hal ini menambah kuat fakta-fakta
yang sudah ditemukan di Sphinx, Gobekli Tepe, Nan Madol, dan lainnya
bahwa ada peradaban maju pada Zaman Es. Peradaban kuno ini kemungkinan
punah karena bencana katastrofi yang terjadi pada perioda Younger Dryas
atau fasa akhir Zaman Pleistosen. Dua hipotesa menarik yang dikemukakan
adalah adanya tumbukan meteor besar dan badai plasma matahari.
3.
Para pembicara, peserta, dan juga Wamendikbud serta Gubernur Jabar
mendukung penelitian di Gunung Padang dilanjutkan sampai benar-benar
tuntas karena Situs Gunung Padang berpotensi besar menjadi situs cagar
budaya terpenting di dunia yang akan menjadi kebanggaan tanah Jawa Barat
dan Indonesia.
0 Komentar