Lukisan Pintu Air Abad ke 18 |
Cerita mengenai sodet menyodet sungai diwilayah Jakarta dan sekitarnya tidak luput dari cerita sejak zamannya raja Purnawarman 18 abad yang lalu tepatnya lewat cerita pada prasasti peninggalan kerajaan Taruma Nagara yaitu Prasasti Tugu.
"Pura rajadhirajena guruna pinabhahuna khata khyatam purin phrapya.
Candrabhaga rnavam yayau pravarddha manadwavin cadvatsa (re)
crigunaujasa narendra dhvajbhunena (bhuten).Crimata Purnnavarmmana
prarabhya Phalgune(ne) mase khata krshnata shimithau
Caitracukla-trayodcyam dinais siddhaikavinchakai(h).
Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sacaten ca dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka pitamahasya rajarshervvidarya cibiravanim.
Bhrahmanair ggo-sahasrena(na) prayati krtadakshino".
Terjemahannya :
Dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnawarman, yang termasyur akan kemuliaannya dan jasanya di atas para raja.
Pada tahun kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan
penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota
yang masyhur dan sebelum masuk ke laut.
Penggalian itu dimulai
pada hari kedelapan bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari
ketiga belas bulan terang bulan Citra, selama dua puluh satu hari.
Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati (kali Bekasi),
mengalir sepanjang 6.122 busur (11 km) melampaui asrama pendeta raja
yang di pepundi sebagai leluhur bersama para brahmana.
Para pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi. (Richadiana : 1991)
Jadi kala itu aliran sungai Cai-Taruma (di sejajarkan dengan sungai
Gomati di India ) menerjang pusat kota Taruma Nagara. Solusinya
Purnawarman membuat sebuah saluran bernama Candrabhaga untuk
mengalirkan air yang jernih itu ke laut. Purnawarman juga memindahkan
ibukota negara ke dekat pantai, dan dari situlah nama Sunda Pura dipakai
untuk pertama kali sebagai ibukota negara yang kemudian berganti
menjadi Sunda kalapa.
Kemudian setelah itu kekuasaan berpindah
ke kerajaan Sunda (abad ke 7-16), yang beribukota di Pakuan Pajajaran
(Bogor). Dimungkinkan karena intensitas banjir semakin tinggi, sehingga
ibukota diletakkan di tempat yang lebih tinggi. Kemudian tahun 1679
hancur karena serangan kasultanan Banten. (Ekadjati : 1991)
Setelah Belanda mendarat , pemerintahan kolonial sudah merasakan
rumitnya menangani banjir di Batavia. Banjir besar pertama kali mereka
rasakan di tahun 1621, diikuti tahun 1654 dan 1876. Penanggulangan
banjir ini pemerintah Belanda tahun 1918 membangun bendungan yakni
Bendungan Hilir, Bendungan Jago dan Bendungan Udik. Setelah ketiga
bendungan itu tidak dapat menampung kapasitas air tahun 1913, Belanda
mengalokasikan dana 2.793.000 gulden untuk mengatasi banjir. Van Breen
menjadi insinyur yang mendesain upaya itu. Salah satu produknya adalah
pembuatan banjir kanal. Tahun 1922 Belanda membangun Banjir Kanal Barat
(BKB),mulai dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke. Namun, Banjir
Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas
pembangunannya hingga Belanda pergi. Sedangkan Kanal Lingkar Kota dan
sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum
terbangun.
Lalu pada 9 dan 10 Januari 1932 Batavia selama dua
hari dua malam turun hujan besar yang curahnya mencapai 150 mm. Tidak
ampun lagi banjir menggenangi hampir seluruh tempat di Batavia. Seperti
juga sekarang ini, ketika itu riol-riol tidak berfungsi dengan baik.
Foto yang dimuat oleh sebuah suratkabar di Batavia memperlihatkan sudut
Jl Medan Merdeka Barat dan Jalan Sabang, menjadi daerah nomor satu
banjir paling parah di Jakarta.
Setelah memasuki era
kemerdekaan Pasca banjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando
Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan
membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985
menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota. Hasil
kerja dari Kopro Banjir itu antara lain: (a) Pembangunan Waduk Setia
Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga
dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya; (b)
Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia
Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur; (c) Pembuatan sodetan Kali
Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman. Namun,
waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga
kini.
Februari 1976. Jakarta Pusat menjadi lokasi terparah
dalam banjir, lebih 200.000 jiwa menjadi pengungsi. Setahun kemudian 19
Januari 1977, Jakarta kembali banjir, setidaknya 100.000 jiwa
diungsikan.
Januari 1984, sebanyak 291 Rukun Tetangga (RT) di aliran
Sungai Grogol terendam. Dampaknya terasa di Jakarta Timur, Barat dan
Pusat, jumlah total korban tercatat 8.596 kepala keluarga.
Lalu pada
13 Februari 1989, giliran Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan
meluap akibat tidak mampu menampung banjir kiriman dari hulu, 4.400
kepala keluarga harus mengungsi. Setelah itu hampir setiap tahun terjadi
banjir.
1997. Banjir dilaporkan menggenangi 4 Kelurahan, 745
rumah, serta mengakibatkan 2.640 orang harus mengungsi. Lalu 26 Januari
1999 banjir terjadi lagi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Ribuan rumah
terendam, 6 korban tewas, 30.000 jiwa mengungsi.
Pada 2 -4
Februari 2007 Jakarta dalam kondisi darurat. Banjir menggenangi sekitar
60 persen wilayah Jakarta. Sebanyak 150.000 jiwa mengungsi, 1379 gardu
induk terganggu, 420.000 pelanggan listrik terganggu.Kejadian banjir
yang berlangsung sejak tanggal 27 Januari hingga 1 Februari 2002
rata-ratanya 434 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari
yakni tanggal 29 dan 31 masing-masing sebesar 108 dan 75 mm/hari,
sedangkan pada bulan Februari curah hujan terbesar tercatat pada tanggal
1 Februari sebesar 83 mm/hari. Bandingkan dengan hujan rata-rata
bulanan yang tercatat berkisar 140 – 160 mm/bulan.
Darmawati*
(2005) telah melakukan penelitan yang mengkaitkan antara curah hujan
yang jatuh di wilayah Jakarta sebagai banjir Januari-Februari 2002
dengan fenomena MJO. Yang menyimpulkan MJO berperan penting sebagai
variasi intra musim, jika MJO berinterferensi dengan musim hujan maka
dapat dicurigai sebagai penyebab timbulnya banjir besar di Jakarta.
Banjir yang melanda sejumlah tempat di indonesia khususnya Jakarta
merupakan siklus tahunan. Dikatakan demikian karena curah hujan yang
jatuh sebagai presipitasi berinteraksi kuat dengan proses di atmosfer
termasuk jenis-jenis osilasi daratan-lautan yang muncul sebagai penguat
salah satu kejadian yang lumrah di Ibukota Negara ini.
Banjir
2007 lebih luas dan lebih banyak memakan korban manusia dibandingkan
bencana serupa yang melanda pada tahun 2002dan 1996. Sedikitnya 80 orang
dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat
listrik, atau sakit. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis
mencapai triliunan rupiah, diperkirakan 4,3 triliun rupiah. Warga yang
mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007. (Wikipedia)
Referensi:
Dinas PU Provinsi DKI Jakarta .2008, Buku Penanganan Banjir Provinsi DKI Jakarta
Ekajati, Edi S.2005. Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Jilid 2. Pustaka Jaya
Kartakusuma, Richadiana. 1991. “Anekaragam Bahasa Prasasti di Jawa Barat pada Abad ke-5 Masehi sampai ke-16
Wikipedia - Tarumanagara
* Darmawati Alumni S1 Dept. Geofisika dan Meteorologi IPB
0 Komentar