Di tengah krisis karya monumental bangsa di era modern ini, tak ada salahnya menengok ke belakang, merenung sejenak, bahwa nenek moyang kita telah mengerjakan dan mewariskan karya monumental, seperti Candi Borobudur, yang diakui sebagai salah satu keajaiban dunia.
Dalam wujud lain, Raja Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara, pada abad kelima Masehi sudah menerapkan manajemen air dan pengendalian banjir yang terencana dan berjangka sangat jauh ke depan. Menurut catatan sejarah, Raja Purnawarman, dengan peralatan yang sangat sederhana, mampu membangun kanal, kemudian menjadi sungai, sepanjang 11 kilometer hanya dalam tempo 21 hari. Artinya, setiap satu hari diselesaikan 550 meter kanal. Kanal itu kemudian diberi nama Sungai Candra Bagasasi. Peninggalan sejarah itu, sekarang bernama Kali Cakung, membelah kawasan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Jadi, dilihat dari perspektif sejarah, Tirta Sangga Jaya (TSJ) boleh dibilang bukanlah sesuatu yang terlalu besar, karena nenek moyang kita sudah mengerjakannya 1507 tahun lalu dengan peralatan yang sangat sederhana. TSJ atau sabuk kanal penyangga Ibukota Negara Jakarta, merupakan gagasan tentang tata kelola air secara holistik, yaitu mengamankan pasokan air baku dan mengendalikan arus air liar dari empat sungai besar Cisadane di barat, Ciliwung di tengah, Bekasi, dan Citarum di timur yang setiap tahun mengancam Jakarta dengan amukan banjir kiriman.
Lewat konsep tersebut, 13 sungai sebelum masuk ke Jakarta, dipotong oleh TSJ yang berbentuk huruf U. Pusat kendali waduk reservoir bisa dibangun di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Air kiriman sungai-sungai Ciliwung, Cisadane, Bekasi dan Citarum, ditampung di waduk Cibinong dan waduk-waduk persimpangan antara sungai-sungai tersebut dan kanal TSJ. Air kanal dan waduk-waduk itu dimanfaatkan juga untuk memasok kebutuhan air baku yang bermutu bagi warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Juga untuk keperluan industri perhotelan, apartemen dan perkantoran, sekaligus mencegah eksploitasi air tanah secara besar-besaran.
TSJ dengan kanal selebar 100 meter dan sepanjang lebih kurang 200 kilometer, membentang membentuk huruf U dari Cibinong ke Muara Mauk, Tangerang di sebelah barat, dan dari Cibinong menuju Muara Jaya, di sebelah timur. Gagasan ini lahir dari "Mimpi untuk Jakarta" Syaykh AS Panji Gumilang, pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Al-Zaytun. TSJ juga bisa berfungsi sebagai jaringan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pariwisata, dan prasarana angkutan sungai, baik angkutan penumpang maupun barang.
Yang jadi pertanyaan, bisakab mimpi atau gagasan itu terwujud sebagai kenyataan? Sebab, pembangunan proyek TSJ yang monumental dan spektakuler, membutuhkan biaya yang sangat mahal, menurut perkiraan Syaykh sekitar Rp 900 triliun. Namun menurut Syaykh, dana sebesar itu bisa diperoleh secara bertahap apabila dipikul bersama oleh masyarakat Indonesia yang berkemampuan secara ekonomi. Artinya, pemerintah bisa menjual Surat utang negara (SUN) atau obligasi berjangka tidak terlalu lama kepada publik.
Soalnya, TSJ diharapkan bisa memberikan return (penghasilan) begitu pembangunannya selesai dalam tempo 8 tahun (tahun 2015). Penghasilan TSJ diperoleh dari pasokan air baku bermutu pada perusahaan-perusahaan daerah air minum, perhotelan, perkantoran dan apartemen. Juga dari PLTA, angkutan air, angkutan jalan tol dan pariwisata.
Raja Purnawarman saja bisa membuat sungai dengan peralatan sangat sederhana. Tentu di era kemajuan ini, puteraputera terbaik bangsa, dengan teknologi dan peralatan modern, akan mampu membuat waduk, reservoir, jalan tol dan jembatan.
Persoalannya apakah pemerintah punya political will (kemauan politik) untuk mengatasi persoalan-persoalan fundamental yang dihadapi Ibukota Negara (Jakarta) secara holistik dan berjangka. panjang. Bukan semata-mata pengendalian banjir, tetapi juga penyediaan pasokan air baku bermutu penghentian ekspolitasi air tanah, penataan kembali tata ruang dan pemeliharaan keseimbangan lingkungan Jakarta.
Jika masalah Jakarta ditangani secara parsial, misalnya membangun terowongan air bawah tanah (deep tunnel), situ, resapan air dan sumur injeksi air, maka tak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Jakarta takkan pernah memiliki pasokan air baku yang bermutu. Air baku kali-kali Jakarta dijejali pencemaran yang sangat serius. Sebab air baku Kali Ciliwung dan kali-kali lainnya, pada musim hujan penuh Lumpur, dan hitam pekat pada musim kemarau.
Kalau hanya berkutat di dalam, maka krisis air di Ibukota Negara Jakarta, takkan pernah selesai. Sebaliknya, air sungaisungai itu akan semakin kotor dan tercemar. Padahal manusia sangat membutuhkan sekitar 70% pasokan air bersih untuk kehidupannya sehari-hari.
Jika kebutuhan air Jakarta tidak ditangani secara terencana dan terarah mulai sekarang, maka dalam tempo tiga atau empat tahun ke depan, Ibukota Negara ini, akan mengalami krisis air bersih yang sangat serius. Sebab sekarang saja, intrusi air laut sudah sampan ke kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, dan Tomang, Jakarta Barat. Lambat lawn, warga Jakarta yang bermukim di kawasan barat, pusat, timur dan selatan, akan menghadapi kesulitan air seperti yang sudah lama dialami oleh saudara-saudara mereka di kawasan utara.
Kapan lagi Jakarta memiliki sungai-sungai yang mengalirkan air yang jernih dan sehat, seperti kota-kota besar dunia lainnva? Bagaimanakah nasib Program Kali Bersih (Prokasih) Jakarta? Kapankah Jakarta akan bebas dari banjir kiriman?
Semua pertanyaan tersebut hanya akan terjawab dengan membangun TSJ. Bukan mengutak-atik Banjir Kanal Barat atau Banjir Kanal Timur. Persoalan pasokan dan pengendalian air di Jakarta, tidak bisa ditangani dari bagian tengah atau hilir. Sebab sumbernya ada di hulu. Karena itu, TSJ akan melindungi Jakarta dari punggung dan lengan, sesuatu yang sangat ideal, meskipun harganya mahal.
Krisis air Jakarta hanya bisa diatasi dengan perencanaan dan manajemen air yang menyeluruh dan berjangka jauh ke depan. Kuncinya. mari kita mulai berpikir untuk mewujudkan "Mimpi untuk- Jakarta" melalui proyek monumental Tirta Sangga Jaya.
Sumber Masalah Harus Dipahami Seluruhnya
Kerugian yang sangat besar akibat banjir bandang tersebut, seharusnya menjadi motivasi untuk membangun kerja sama antar daerah, namun dalam kenyataannya, tidak demikian. Oleh karena itu, Marwan Batubara, anggota DPD Perwakilan Jakarta, masih berharap adanya payung hukum untuk mendasari pelaksanaan solusi komprehensif tersebut.
"Bagi saya sebetulnya yang penting ada solusi komprehensif yang disepakati secara nasional, lintas departemen, lintas provinsi, dan dituangkan apakah dalam bentuk PP-kah atau Keppres, serta dijalankan secara konsisten. Di sini yang paling penting kita punya satu rujukan, dan harus menegakkan pelaksanaan atau enforcement-nya," katanya kepada wartawan Majalah Berita Indonesia Haposan Tampubolon, di kantornya, Rabu (16/5).
Solusi Banjir dan Kekeringan
Ketika diminta pandangannya tentang gagasan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang tentang solusi komprehensif penanggulangan banjir dan kekeringan dengan konsep Kanal Tirta Sangga Jaya, Marwan menyatakan tidak bisa banyak berkomentar. Karena belum tahu persis bagaimana ide Kanal Tirta Sangga Jaya. "Saya tidak menolak, tidak juga mendukung, karena saya belum tahu detail tentang apa yang menjadi konsep Pak Panji Gumilang (Syaykh Al-Zaytun). Tetapi saya mengingatkan, di samping mengatasi banjir kita harus juga meng amankan pasokan air," katanya.
Dalam hal ini konsep pengelolaan air pada Kanal Tirta Sangga Jaya yang digagas Syaykh AS Panji Gumilang, juga menjadi harapan dari Marwan Batubara. Kanal Tirta Sangga Jaya merupakan mode pengelolaan air di musim hujan maupun kemarau. "Yang saya ingin sampaikan adalah kita bicara banjir, pada saat yang bersamaan kita juga harus meng-addres. (mengakomodasi, red) kebutuhan air terutama di waktu musim kemarau," katanya.
Marwan juga menegaskan perlunya pemikiran antisipatif dari dampak pembangunan Kanal Tirta Sangga Jaya "Jangan sampai pembangunan yang ada di sekitar Jakarta membuat nanti air tanah habis dan air laut itu datang. Sekarang, katanya, mungkin di bawah air laut sudah sampai di Hotel Indonesia (HI atau malah lebih ke atas. Ini kan bisa menurunkan permukaan. Air tanahnya diambil, pada saat bersamaan ada rembesan air laut," katanya.
Lebih jauh, Marwan mengharapkan adanya solusi yang lebih komprehensif. "Jangan sampai kita hanya membangun kanal, tapi mengabaikan pembangunan sumur resapan, mengabaikan pembangunan situ, dan mengabaikan ruang terbuka hijau. Kalau hanya kanal yang kita address, kita punya masalah nanti ke depan airnya dari mana. Jangan sampai nanti seperti Singapura air mereka tergantung dari Malaysia," tandasnya.
Solusi Komprehensif
Pada dasarnya, Marwan menyatakan sangat setuju dengan pembangunan kanal, sebagai satu bagian dari pengelolaan air, namun belum komprehensif. "Bahwa kita perlu bangun kanal. Oke! Mungkin itu salah satu. Tapi bukan berarti kanal ini sebagai salah satu solusi terbaik, tidak," katanya. Menurutnya, semua faktor-faktor penyebab banjir harus di-address.
"Kalau kita memang mau menahan air dengan penghijauan, itu harus dilakukan. Kalau selama ini ada yang namanya situ, itu harus disiapkan. Kalau sungai luas dan dalamnya harus sekian, itu harus dilakukan. Kalau memang air datangnya cuma dalam waktu tiga empat bulan yang banyak, harus disimpan karena kita akan menghadapi masa kemarau yang mungkin panjang. Kita harus punya reserve," katanya sembari menyebut pendataan faktor-faktor penyebab banjir sebagai solusi komprehensif.
Oleh sebab itu, tambahnya, seandainya situ yang selama ini sudah ditutup, itu perlu dibuka lagi, ya dibuka, gedungnya dirubuhkan. Daerah aliran sungai (DAS) yang selama ini sudah digunduli harus ditanami. Termasuk, kalau kita perlu membangun danau di daerah hulu harus dilakukan. Dan masyarakat sendiri, membangun sumur-sumur resapan harus dilakukan.
Dalam hal ini ia mengingatkan, banyaknya penggundulan hutan telah membuat waduk-waduk untuk PLTA bermasalah karena debit airnya berkurang dan terus berkurang. Ini sama saja dengan air. Kalau nanti sudah tidak ada lagi yang hijau atau daerah Puncak yang menjadi hulu bagi 13 buah sungai yang mengalir ke Jakarta sudah tidak hijau lagi, maka air tidak tertahan lagi dan langsung terbuang ke laut. Dengan demikian, kita akan bermasalah dengan air minum.
Ia lebih lanjut menjelaskan, kalau nanti membangun kanal, lalu kita biarkan juga penggundulan hutan, ya... itu tidak bisa. Artinya, jangan gara-gara kita sudah membangun kanal lalu tidak memperhatikan bahwa daerah itu tidak boleh ditebang. Itu juga tidak bisa, kan? Harus semuanya, termasuk ruang terbuka hijau, tidak hanya berguna untuk resapan air saja tetapi juga menjadi paru-paru kota. Jadi banyak hal, katanya.
Untuk mendapat solusi yang komprehensif, tambah Marwan, semua masalah harus di-address. Kita tidak cuma bicara Banjir Kanal Timur (BKT) dan normalisasi sungai, pembuatan situ. Tetapi termasuk ruang terbuka hijau harus ditambah. Situ yang tadinya jumlahnya ratusan, sekarang tinggal puluhan, itu harus dikembalikan sebagian besar. Daerah Jakarta Utara yang sekarang mungkin menjadi mal, menjadi ruko, harus dikembalikan.
Saat ditanya, bagaimana pembiayaan dari pengelolaan air di wilayah Jabodetabek, Marwan mengungkapkan hal itu sudah pernah dibicarakan dalam diskusi lintas provinsi, yakni Pemda DKI, Banten, dan Jawa Barat, lalu ada DPD DKI, DPD Banten, dan DPD Jawa Barat. Masing-masing mempresentasikan programnya. Biaya keseluruhannya kira-kira Rp 17 triliun.
Dari seluruh biaya itu, menurut Marwan alokasi terbesarnya adalah untuk BKT, diikuti normalisasi sungai (berupa pengerukan sungai, pelebaran, pengurukan, pembuatan benteng dan tanggul), dan selanjutnya pembuatan situ-situ. Namun ia tidak persis mengetahui apakah dana Rp 17 triliun sudah termasuk melakukan penghijauan di hulu sungai dan membuat sumur-sumur resapan, mungkin juga belum. "Tapi yang besar-besar yang sudah dimasukkan," katanya.
Payung Hukum dan Enforcement
Sisi yang tidak kalah pentingnya dari pengelolaan air di Jabodetabek, menurut Marwan Batubara adalah payung hukum dan penegakan hukum itu sendiri. "Yang juga penting adalah masalah enforcement," tandasnya. Ia mencontohkan, kalau memang satu gedung harus dirubuhkan, karena tadinya itu adalah tempat resapan air, situ, ya sudahlah, rubuhkan. Jangan sampai nanti, karena berhadapan dengan jenderal atau konglomerat yang dibeking oleh aparat, lalu ini tidak dilaksanakan.
Oleh karena itu, tambahnya, kalau nanti di Puncak sana yang namanya vila-vila harus dihijaukan, ya harus dijalankan siapa pun yang punya vila itu. Makanya harus ada yang tertinggi dan siapapun tidak ada pengecualian, harus bisa menerima.
Ditanya tentang payung hukum pengelolaan lingkungan Jabodetabek, Marwan dengan tandas menyatakan tidak cukup hanya dengan Peraturan Daerah (Perda) tapi Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres), karena menyangkut lintas provinsi, di mana peran pemerintah cukup menonjol.
Kalau perlu di tangan Presiden, sebagai institusi yang paling tinggi, jadi harus setara Keppres atau PP. Jika tidak, kelak ada kaitannya dengan lintas provinsi, bupati atau kabupaten Bogor, Bekasi, Tangerang tidak akan mau tunduk kepada Gubernur DKI. "Karena itulah supaya dasar hukumnya komprehensif sebagai acuan untuk meng-address masalah banjir, harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat, oleh yang memang benar-benar powerfull, mempunyai wewenang yang kuat supaya aturan atau PP bisa dijalankan secara konsisten," tandasnya.
Ditanya kemungkinan menggunakan payung hukum Undang-undang (UU), Marwan menyatakan tidak melihat apakah memang perlu sampai dibuat UU-nya. "Seandainya dengan PP, sepanjang PP disepakati oleh ketiga provinsi, didukung oleh pemerintah dan DPR, itu saya kira bisa saja," katanya sembari menegaskan sikapnya yang tidak terlalu mempermasalahkan apakah Undang-Undang atau PP.
Menurutnya, yang penting, seandainya pun itu cuma PP, toh itu berlaku secara nasional, dimana orang daerah harus tunduk. PP mungkin cukup supaya tidak terlalu meluas, lebih cepat, lebih fleksibel, tapi juga punya aspek untuk mengatur yang sifatnya lebih nasional.
Bebas Banjir Impian Seumur Hidup
Pengalaman warga yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung tentang berbagai program pengendalian banjir yang tak kunjung jadi kenyataan, membuat mereka enggan membicarakan hal itu. Hidup tanpa banjir menjadi impian mereka seumur hidup. Gagasan pembangunan Tirta Sangga Jaya mungkin salah satu jalan keluar.
Warga masyarakat yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung ternyata tidak begitu suka mendengar hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian banjir. Ada dua faktor yang memicu ketidaksukaan warga. Pertama, program pengendalian banjir dikhawatirkan akan menggusur tempat tinggal mereka. Kedua, janji-janji pemerintah untuk membenahi bantaran Kali Ciliwung tidak pernah terwujud.
Warga kecewa terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena pada satu sisi menakuti warga dengan rencana-rencana. penggusuran. Di sisi lain, mereka wring dijejali janji-janji kosong tentang pembenahan bantaran Kali Ciliwung. Menurut para warga bantaran kali, pemerintah DKI Jakarta sudah pernah merencanakan pembangunan tembok sepanjang Kali Ciliwung untuk menghindari pendangkalan. Juga direncanakan program penghijauan di sepanjang bantaran kali Ciliwung untuk menghindari penggerusan dinding sungai.
Pandangan skeptis warga diperlihatkan ketika berhadapan dengan wartawan Berita Indonesia. Tidak mengherankan, jika wartawan BI juga disambut sikap skeptis "Yang gitu-gitu sudah banyak lho mas! Biar saja tetap seperti ini," tukas seorang warga ketika wartawan BI menjelaskan maksudnya mencari rumah Ketua RT mereka.
Citra ini tentu menjadi faktor yang menyulitkan bagi BI ketika meminta pandangan masyarakat tentang penanggulangan banjir dengan model Tirta. Sangga Jaya. Perlu waktu yang cukup lama untuk memperoleh pengertian dari warga.
Ternyata Ternyata, dari beberapa Ketua RT yang ditemui, diketahui bahwa sikap skeptis warga merupakan wujud dari kekecewaan mereka terhadap penanggulangan banjir, sebuah impian besar yang tidak pernah terwujud selama ini. Berbagai program pemerintah untuk melindungi warga dari serangan banjir, sudah terdengar puluhan tahun, namun hingga kini tidak jelas juntrungannya.
Namun banjir bandang yang menimpa sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok. Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) awal Februari 2007 lalu. membuat harapan bebas banjir semakin membesar. Beberapa warga yang sebelumnya dinyatakan enggan meninggalkan wilayah bantaran kali, kini sudah berbalik arah, berharap dapat pindah tempat tinggal. "Itu baru benar-benar banjir mas," kata Heri (30), penduduk RT.03 RW 03 Kampung Pulau Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. la bercerita kalau banjir awal Februari 2007 lalu sebagai banjir yang membuat masyarakat benar-benar menderita. Di wilayah mereka yang juga dikenal dengan Kampung Melayu Kecil, terjangan banjir sudah merupakan bagian dari keseharian mereka. Tiba-tiba saja, air sudah menggenangi rumah mereka, karena Sungai Ciliwung meluap akibat banjir kiriman dari hulu.
"Kalau menggenang 50 cm sampai 1 meter saja, bukan banjir namanya. Genangan setinggi itu bisa muncul kapan saja. Jadi sudah kejadian sehari-hari dan masyarakat menjadi terbiasa," kata Endang Suherman (35), staf RT 03 sembari menjelaskan bahwa kawasan pemukimannya terlandai di kawasan Kampung Pulo.
Ia menambahkan banjir kemarin (awal Februari 2007) benar-benar dirasakan warga sebagai banjir sungguhan. Endang Suherman yang lahir dan besar di RT 03, mengaku baru pertama kali merasakan siksaan banjir yang sedemikian parah, "Seumur-umur saya belum pernah merasakan banjir separah itu," katanya.
Ketika disinggung gagasan Tirta Sangga Jaya, baik Endang Suherman maupun Heri, mengakuinya sebagai gagasan yang layak diperjuangkan untuk mencegah banjir seperti yang terjadi Febuari.
"Agar tau aja mas, rumah warga di sini baru benar-benar kering setelah tiga bulan. Lumpurnya saja satu meter tingginya," kata Endang Suherman sembari menjelaskan bahwa penderitaan pasca banjir yang mereka alami luput dari pemberitaan media massa.
Bagi warga Jakarta yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung, bebas banjir benar-benar sebuah barang mewah. Penderitaan mereka selama puluhan tahun diterjang banjir bandang dan lumpur, sudah dikenal luas hingga ke mancanegara. Bahkan dengan penderitaan berkepanjangan itu pula, warga bantaran Kali Ciliwung mendapat kunjungan dari pesohor paling top, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Beberapa presiden, duta besar negara-negara sahabat, petinggi PBB maupun pimpinan Bank Dunia, sudah mengunjungi daerah ini. Beberapa presiden RI pun sudah bolak-balik mengunjungi mereka. Demikian juga dengan beberapa tokoh dunia, bahkan tidak tanggung-tanggung, ibu negara Amerika Serikat Hillary Clinton (saat itu) pun sudah mengunjungi daerah ini pada tahun 1990-an.
Akan tetapi, setelah semua itu berlalu, nasib warga bantaran Kali Ciliwung tetap tidak berubah. Hingga kini, harapan mereka menempati bantaran kali tanpa diusik banjir, ternyata masih ada. Harapan ini pun telah mereka tunggu selama puluhan tahun. Bahkan, bagi sebagian warga, penantian itu sudah menjadi impian sepanjang masa.
Kiranya tidaklah berlebihan jika gagasan Tirta Sangga Jaya, seperti menguatkan kembali harapan mereka untuk mendapatkan pemukiman bebas banjir. Dengan gagasan Tirta Sangga Jaya, cita-cita lama mereka, mungkin saja masih bisa saja diwujudkan.
Menjawab Impian"Mungkin nggak ini dilaksanakan? Masih lama kali ini ya? Sepertinya, ini program jangka panjang," tukas mereka ketika melihat denah gagasan Tirta Sangga Jaya. Optimisme dari sejumlah Ketua RT di wilayah bantaran Kali Ciliwung pun langsung terlontar, setelah memahami konsep penanggulangan banjir ala Tirta Sangga Jaya. Bagi mereka, bisa saja TSJ menjadi jawaban dari impian mereka selama ini.
Namun demikian, sebagai gagasan yang baru dimunculkan, sudah barang tentu jika gagasan Tirta Sangga Jaya belum dipahami masyarakat secara utuh. Terlebih jika mereka juga belum pernah membaca penjelasan tentang gagasan Syaykh AS Panji Gumilang, pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Al-Zaytun, sebagaimana yang menjadi laporan utama Berita Indonesia (edisi 36). Sehingga wajar saja bila terjadi pemahaman yang kurang tepat.Misalnya, ketika Tirta Sangga Jaya disebut sebagai proyek pembuatan sungai baru, di antara mereka ada yang langsung berpikir ke arah penggusuran besar-besaran di Jakarta. "Daerah mana aja yang mau digusur nih," seru Wawan (48), Ketua RT 15 RW 12, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan.
Namun setelah dijelaskan bahwa Tirta Sangga Jaya tidak berada di Jakarta, melainkan di wilayah Bodetabek, Wawan yang memimpin lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK), baru mengungkapkan responnya. "Gagasan ini sangat baik, tapi sepertinya untuk jangka panjang ya?" katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (26/5).
Wartawan Berita Indonesia menjelaskan, jika dilihat dari sisi kebutuhan Jabodetabek, gagasan ini justru sangat mendesak.-Sebab, tanpa infrastruktur penanggulangan banjir yang memadai, Jabodetabek akan terns berlarut-larut dalam ancaman banjir. Bukan tidak mungkin banjir bandang seperti yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu terus berulang setiap tahun.
"Harapan kita, gagasan ini dapat segera terwujud," imbuhnya. Ia juga berharap agar banjir yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu tidak terulang kembali. "Saya sudah sejak lahir tinggal di sini, namun tidak pernah merasakan banjir sedahsyat itu," katanya sembari menunjuk bekas genangan air di dinding rumahnya yang setinggi 2 meter.
Ditanya alasannya mengapa gagasan Tirta Sangga Jaya disebut baik, Wawan yang mengaku masih sempat melihat keindahan aliran air Ciliwung tahun 70-an, menyatakan gagasan itu jauh lebih menyeluruh dibanding sekadar membenahi aliran Sungai Ciliwung. "Banjir Jakarta ini lebih banyak disebabkan luapan air dari Bogor. Walaupun Kali Ciliwung dibenahi, tanpa mengendalikan air dari Bogor, Jakarta akan tetap banjir," katanya.
Ia menambahkan, dengan konsep Tirta Sangga Jaya, ancaman banjir kiriman melalui Sungai Ciliwung sudah dapat dikontrol. Ia berharap agar gagasan ini bisa diwujudkan sesegera mungkin, sehingga banjir bandang yang terjadi pada awal Februari lalu, tidak terjadi lagi.
Dukungan yang sama juga diungkapkan Mulyadi (37), Ketua RT o6 RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. "Kalau untuk kebaikan umum, saya dukung," katanya saat berbincang-bincang di rumahnya, Kamis (26/5). Menurutnya, dukungan terhadap pembangunan Tirta Sangga Jaya, bukan tidak beralasan.
Pokok Persoalan Tidak di Jakarta
Menurut
Mulyadi, yang bermukim di bantaran kali sejak lahir, persoalan banjir
yang menimpa Jakarta, khususnya di sepanjang aliran Sungai Ciliwung,
justru tidak bersumber dari Jakarta sendiri, melainkan dari luar
Jakarta, khususnya Bogor. Jadi, persoalan utama tidak berada di
Jakarta, tetapi di daerah Bogor. Karena gagasan Tirta Sangga Jaya sudah
menjangkau pengendalian aliran air dari Bogor, maka pembangunan Tirta
Sangga Jaya menjadi gagasan yang harus didukung.
Lebih jauh, Ketua RT yang aktif mengampanyekan "jangan buang sampah ke kali" itu menjelaskan sebuah realitas Kali Ciliwung, yang mungkin tidak banyak diketahui orang Kalau Jakarta diguyur hujan selama 2 hari, mungkin daerah-daerah lain di Jakarta sudah terkena banjir, tetapi Kali Ciliwung sendiri justru tidakbanjir. Itu membuktikan bahwa sumber banjir di bantaran kali Ciliwung, bukan dari wilayah Jakarta, tetapi dari luar Jakarta. "Pengendaliannya pun bukan di Jakarta, tetapi di Bogor dan daerah sekitarnya," katanya.
Lebih jauh, Ketua RT yang aktif mengampanyekan "jangan buang sampah ke kali" itu menjelaskan sebuah realitas Kali Ciliwung, yang mungkin tidak banyak diketahui orang Kalau Jakarta diguyur hujan selama 2 hari, mungkin daerah-daerah lain di Jakarta sudah terkena banjir, tetapi Kali Ciliwung sendiri justru tidakbanjir. Itu membuktikan bahwa sumber banjir di bantaran kali Ciliwung, bukan dari wilayah Jakarta, tetapi dari luar Jakarta. "Pengendaliannya pun bukan di Jakarta, tetapi di Bogor dan daerah sekitarnya," katanya.
Ketua RT yang melayani 125 KK
yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung itu mengungkapkan. "Kita
sangat berterima kasih (kalau ada proyek penanggulangan banjir seperti
ini), karena tidak mengganggu masyarakat yang ada di bantaran kali
Ciliwung. Tetapi, maaf kalau seandainya proyek ini jadi dan kita terkena
(penggusuran-red), kita juga merasa keberatan," katanya.
Sementara
itu, Muhammad (59), Ketua RT o5 RW 12 Bukit Duri, Tebet Jakarta
Selatan, juga memberi pandangan yang sama "Kalau memang bisa
ditanggulangi dengan seperti ini (Tirta Sangga Jaya-red), bagus sekali,"
katanya. Menurutnya, warganya tidak keberatan dengan pola seperti apa
pun yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi banjir.
"Kami sebagai warga hanya menginginkan bagaimana agar tidak banjir," kata ketua RT yang melayani 120 KK warga di bantaran Kali Ciliwung ini. Ia menjelaskan bagaimana warganya bergelut menghadapi banjir bandang awal Februari lalu, hingga harus mengungsi. Bahkan lebih dari seminggu setelah puncak banjir, mereka tetap tidak bisa menempati rumahnya karena penuh dengan lumpur.
"Kami sebagai warga hanya menginginkan bagaimana agar tidak banjir," kata ketua RT yang melayani 120 KK warga di bantaran Kali Ciliwung ini. Ia menjelaskan bagaimana warganya bergelut menghadapi banjir bandang awal Februari lalu, hingga harus mengungsi. Bahkan lebih dari seminggu setelah puncak banjir, mereka tetap tidak bisa menempati rumahnya karena penuh dengan lumpur.
Sudah Jadi Tradisi
Di antara sejumlah pemukiman yang ada di bantaran Kali Ciliwung, kawasan paling, rawan banjir, sesungguhnya bagian dari kawasan daerah yang menjadi bagian wilayah Jakarta Timur. Kawasan yang menjadi bagian dari Kelurahan Kampung Melayu ini terdiri dari 2 RW, yang masing-masing dihuni 4000 warga. Daerah ini sering disebut dengan Kampung Melayu Kecil, walaupun nama administratifnya adalah Kampung Pulo.
Menurut Ketua RT o3 RW 03 Kampung Pulo R. Budi Budril, yang ditemui Berita, Indonesia di rumahnya yang bersisian dengan tepian Kali Ciliwung, mengatakan bahwa warganya sudah terbiasa dengan banjir. "Boleh dibilang sudah menjadi tradisi," katanya Kamis (26/5).
Karena itu, langkah-langkah. apa pun yang diambil pemerintah untuk menghindar: banjir di bantaran Kali Ciliwung, pasti didukung. "Konsep ini (gagasan Tirta Sangga. Jaya-red) sangat kami dukung. Saya secara pribadi melihatnya (desain-red) sudah. bisa mengendalikan banjir di wilayah Jabodetabek," katanya sembari menekankan bahwa hal yang paling penting adalah perwujudan gagasan itu sendiri.
"Warga di sini pun saya pikir akan sangat berterima kasih jika proyek ini benar-benar terwujud. Dengan adanya proyek pengendalian banjir seperti ini, kami akan bisa hidup dengan lebih tenteram," katanya.
TSJ Rangsang Pertanian
Kanal Tirta Sangga Jaya (TSJ) tidak
hanya sebagai prasarana pengendalian bajir, tetapi juga mendorong
peningkatan kinerja sektor pertanian.
Syaykh AS Panji Gumilang dengan gagasannya, ingin menyumbang pemikiran, sehingga bencana banjir serupa tidak terulang di masa-masa mendatang. Tujuan utama pembangunan kanal TSJ berfungsi sebagai prasarana pengelolaan air yang barns dilakukan secara komprehensif—mengontrol aliran air di seluruh kawasan Jakarta-Bogor Depok-Tangerang-Bekasi.
Sepintas, dampak banjir bandang awal Februari lalu mengesankan lumpuhnya pelayanan kota-kota di wilayah. Jabodetabeka, dan banyaknya korban yang berjatuhan. Namun, yang tidak kalah serius, dampak buruknya terhadap seluruh dimensi perekonomian. Sektor pertanian merupakan salah satu basis ekonomi yang mengalami kerugian besar.
Itulah sebabnya, Kabag Umum Badan Ketahanan Pangan, Ir. Indra Mukti Harahap, langsung menyatakan dukungannya terhadap gagasan pembangunan kanal TSJ. "Saya sangat mendukung realisasi pembangunan TSJ ini," kata Indra. kepada Amron Ritonga dari Majalah Berita Indonesia, Rabu (9/5). Menurut Indra, banjir bandang awal Februari sangat merugikan sektor pertanian dan berpotensi mengganggu stabilitas ketahanan pangan, baik dalam ruang lingkup daerah maupun nasional. Dia menjelaskan bahwa salah satu lumbung padi di Jawa Barat, Karawang terendam banjir sehingga menurunkan volume produksi padi tahun ini.
Laporan berbagai sumber memperkirakan kerugian sangat besar tejadi pada sektor pertanian, karena menimpa daerah daerah yang basis ekonominya ditopang oleh sektor tersebut. Di Subang dan Indramayu, misalnya, 6.000 Ha sawah mengalami kerusakan. Sedangkan di seluruh Jawa Barat tercatat 17.000 Ha lebih lahan persawahan terendam banjir, 690 Ha.
Sebagai staf di Badan Ketahan Pangan (BKP), Indra menyadari dampak positif yang bisa diperoleh bilamana gagasan kanal TSJ terwujud. Keberadaan kanal tersebut, tambahnya, tidak saja mencegah amukan banjir, tetapi juga merangsang pertumbuhan sektor pertanian di sekehlingnya.
"Saat ini, baik sewaktu musim hujan maupun musim kemarau selalu berdampak buruk pada sektor pertanian, turunnya tingkat produksi, otomatis mempengaruhi stabilitas ketahanan pangan nasional," kata Indra.
Kata Indra lebih lanjut, kejadian seperti ini tidak akan muncul lagi atau paling sedikit terkurangi bilamana kanal TSJ terwujud. Pada musim hujan, kanal TSJ akan menampung air agar tidak meluap dan mengakibatkan banjir. Sedangkan di musim kemarau, sebagai pemasok air irigasi pada lahan-lahan pertanian di seluruh Jabodetabeka.
Gagasan Holistik
Tidak hanya wilayah Jabodetabeka yang akan merasakan manfaat kanal TSJ, tetapi juga daerah-daerah disekililingnya, seperti Karawang, Purwakarta, Subang dan Sumedang. Karenanya, Wakil Bupati Purwakarta H. Dedi Muliady SH, menyatakan dukungannya terhadap pembangunan kanal TSJ.
Dedi mengatakan kepada wartawan Berita Indonesia di Purwakarta, Bernard Sihite, bahwa gagasan Syakh AS Panji Gumilang merupakan pemikiran yang holistik, realistis, dan brilian, sehingga sangat pantas ditindaklanjuti. Waduk Jati Luhur dan Waduk Cirata, menurut Dedi, juga dikelola dengan menerapkan pola manajemen air berskala nasional, seperti yang ingin diterapkan Syaykh dengan kanal TSJ.
Bencana banjir awal Februari lalu, tambah Dedi, harus menjadi pelajaran di dalam mengelola air di seluruh kawasan yang terkena banjir saat itu. "Pengelolaan air yang ada sekarang menuntut pembaharuan sehingga dapat secara optimal menghindari banjir” katanya.
Syaykh AS Panji Gumilang dengan gagasannya, ingin menyumbang pemikiran, sehingga bencana banjir serupa tidak terulang di masa-masa mendatang. Tujuan utama pembangunan kanal TSJ berfungsi sebagai prasarana pengelolaan air yang barns dilakukan secara komprehensif—mengontrol aliran air di seluruh kawasan Jakarta-Bogor Depok-Tangerang-Bekasi.
Sepintas, dampak banjir bandang awal Februari lalu mengesankan lumpuhnya pelayanan kota-kota di wilayah. Jabodetabeka, dan banyaknya korban yang berjatuhan. Namun, yang tidak kalah serius, dampak buruknya terhadap seluruh dimensi perekonomian. Sektor pertanian merupakan salah satu basis ekonomi yang mengalami kerugian besar.
Itulah sebabnya, Kabag Umum Badan Ketahanan Pangan, Ir. Indra Mukti Harahap, langsung menyatakan dukungannya terhadap gagasan pembangunan kanal TSJ. "Saya sangat mendukung realisasi pembangunan TSJ ini," kata Indra. kepada Amron Ritonga dari Majalah Berita Indonesia, Rabu (9/5). Menurut Indra, banjir bandang awal Februari sangat merugikan sektor pertanian dan berpotensi mengganggu stabilitas ketahanan pangan, baik dalam ruang lingkup daerah maupun nasional. Dia menjelaskan bahwa salah satu lumbung padi di Jawa Barat, Karawang terendam banjir sehingga menurunkan volume produksi padi tahun ini.
Laporan berbagai sumber memperkirakan kerugian sangat besar tejadi pada sektor pertanian, karena menimpa daerah daerah yang basis ekonominya ditopang oleh sektor tersebut. Di Subang dan Indramayu, misalnya, 6.000 Ha sawah mengalami kerusakan. Sedangkan di seluruh Jawa Barat tercatat 17.000 Ha lebih lahan persawahan terendam banjir, 690 Ha.
Sebagai staf di Badan Ketahan Pangan (BKP), Indra menyadari dampak positif yang bisa diperoleh bilamana gagasan kanal TSJ terwujud. Keberadaan kanal tersebut, tambahnya, tidak saja mencegah amukan banjir, tetapi juga merangsang pertumbuhan sektor pertanian di sekehlingnya.
"Saat ini, baik sewaktu musim hujan maupun musim kemarau selalu berdampak buruk pada sektor pertanian, turunnya tingkat produksi, otomatis mempengaruhi stabilitas ketahanan pangan nasional," kata Indra.
Kata Indra lebih lanjut, kejadian seperti ini tidak akan muncul lagi atau paling sedikit terkurangi bilamana kanal TSJ terwujud. Pada musim hujan, kanal TSJ akan menampung air agar tidak meluap dan mengakibatkan banjir. Sedangkan di musim kemarau, sebagai pemasok air irigasi pada lahan-lahan pertanian di seluruh Jabodetabeka.
Gagasan Holistik
Tidak hanya wilayah Jabodetabeka yang akan merasakan manfaat kanal TSJ, tetapi juga daerah-daerah disekililingnya, seperti Karawang, Purwakarta, Subang dan Sumedang. Karenanya, Wakil Bupati Purwakarta H. Dedi Muliady SH, menyatakan dukungannya terhadap pembangunan kanal TSJ.
Dedi mengatakan kepada wartawan Berita Indonesia di Purwakarta, Bernard Sihite, bahwa gagasan Syakh AS Panji Gumilang merupakan pemikiran yang holistik, realistis, dan brilian, sehingga sangat pantas ditindaklanjuti. Waduk Jati Luhur dan Waduk Cirata, menurut Dedi, juga dikelola dengan menerapkan pola manajemen air berskala nasional, seperti yang ingin diterapkan Syaykh dengan kanal TSJ.
Bencana banjir awal Februari lalu, tambah Dedi, harus menjadi pelajaran di dalam mengelola air di seluruh kawasan yang terkena banjir saat itu. "Pengelolaan air yang ada sekarang menuntut pembaharuan sehingga dapat secara optimal menghindari banjir” katanya.
Mengelola Air Sembari Berbisnis
Proyek (mimpi) Tirta Sangga Jaya bilamana terwujud jadi kenyataan punya multi manfaat. TSJ menjadi sarana pengelolaan air yang bisa dikembangkan menuju bisnis air baku, transportasi air dan jalan, pembangkit listrik tenaga air serte pariwisata.
Mimpi Syaykh AS Panji Gumilang untuk Jakarta, bisa menjadi proyek monumetal yang masuk akal dengan menata aliran air dari Sungai Cisadane, Ciliwing, Bekasi dan Citarum serta sejumlah sungai kecil yang menyerbu Ibukota Negara. Syaykh prihatin atas nasib Ibukota Negara dan masyarakat Jabodetabek yang mengalami kesulitan lantaran terjangan air bah di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Padahal dengan tatakelola air yang diimpikannya lewat pembangunan kanal huruf U, selain memanfaatkan air dengan semerstinya. Juga menawarkan berbagai bisnis yang menggiurkan. Atau, “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.”
Mimpi tentang TSJ bermula dari keprihatinan aas nasib sial yang menimpa Ibukota Negara yang setiap tahun terancam banjir, terutama air kiriman dari daerah hulu. Setiap musim hujan air terbuang percuma ke Laut Jawa. Setelah menerjang kawasan-kawasan pemukiman Jakarat. Padahal di musim kemarau para petani Banten dan Kerawang-Bekasi berteriak kekurangan air lantaran pasokan air dari Waduk Jatiluhur tak mampu menjangkau daerah pertanian di sepanjang kawasan Pantura (Pantai Utara) Jawa.
TSJ bukan semata-mata proyek pengendalian banjir Jakarta, melainkan juga menawarkan berbagai peluang bisnis dan kesempatan kerja bagi masyarakat Jabodetabek. Secara geografis, TSJ menghubungkan tiga provinsi-DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Jalan tol dua arah yang melintas di luar Jakarta – dari Sumatera ke Jawa, Bali dan NTB, dan sebaliknya, secara berarti akan mengurangi beban jalan-jalan Ibukota dari kendaraan berat, seperti truk gandeng, trailer dan bus. Juga, dengan membangun PLTA di Waduk Cibinong, maka kekurangan pasokan listrik di wilayah Jabodetabek bisa teratasi.
Bisnis Basah Air Bakau
Banyak perusahaan daerah air minum kesulitan air baku. Proyek Tirta Sangga Jaya menawarkan jalan keluar yang menggiurkan.
Manajemen PT. Aqua Golden Misissippi Tbk, akhir 2005, berencana mengubah status dari perusahaan terbuka (go public) menjadi perusahaan tertutup (go private). Pihak manajemen berencana menghentikan (delisting) perdagangan sahamnya dari lantai Bursa Efek, Jakarta (BEJ). Namun dalam tiga kali Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk meminta persetujuan para pemegang saham, peserta RUPS tidak pernah mencapai quorum 75%. Artinya, para pemegang saham, khususnya pemegang saham independen yang minoritas, sama sekali tidak menyetujui rencana delisting dari BEJ.
Pertanyaan yang paling penting,kenapa ada setuju dan tidak setuju pada go publi dan go private? Jawabannya, keduan-duanya menginginkan keuntungan yang maksimal. Pemegang saham independen menyadari bahwa bisnis air minum terlebih dengan posisi kepemimpinan pasar Aqua, merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Jadi, tidak heran jika tawaran harga Rp 100.000 per lembar saham dari pemegang saham pengendali ditolak oleh pemegang saham independen. Padahal nilai riil saham PT. Aqua Golden Misissippi saat itu hanya ribuan rupiah per lembar. Bisnis air mineral merupakan mesin yang menggiurkan bagi banyak orang.
Bisnis Sepanjang Zaman
Bisa saja orang menganggap TSJ hanya proyek mimpi yang tak mungkin terwujud. Namun dari segi penyediaan dan pasokan air baku saja, proyek kalau sudha jalan, bisa menjadi mesin uang tidak terkira. Tanpa diuraikan secara rincipun TSJ dengan rencana pembangunan kanal sepanjang 240 KM, pasti mampu memasok air baku dalam jumlah sangat besar. Dari bisnis air baku saja, TSJ bisa meraup uang triliunan rupiah setiap tahun. Karena air merupakan sumber pokok kehidupan manusia, ternak dan industri. Bisnis air baku di manapun di dunia memiliki posisi yang amat prospektif, bisa disejajarkan dengan komoditi-komoditi unggulan lainnya.
Misalnya, dalam 100 tahun terakhir, komoditi air minum sering disejajarkan dengan minyak mentah atau gas (Migas) dala perspektif pembandingan apple to apple. Atau dalam sepuluh tahun terakhir diperbandingkan dengan bisnis teknologi informasi (IT).
Sejak awal abad ke-20, bisnis Migas di sebut-sebut sebagai bisnis paling bergengsi. Namun para pelaku bisnis belakangan ini lebih percaya menanamkan uangnya ke dalam bisnis air minum ketimbang Migas, kenapa?
Logika berpikirnya sangat sederhana. Walaupun penting, kenyataannya tidak semua orang membutuhkan Migas. Berbeda dengan air, dibutuhkan hampir setiap saat. Manusia mampu bertahan hidup dan sehat selama 3 x 24 jam tanpa makanan. Namun dalam 1 x 12 jam tubuh manusia akan langsung melemah jika tidak mengonsumsi air atau paling sedikit terancam dehidrasi.
Itulah sebabnya mengapa usaha-usaha air minum paling kecil sekalipun, seperti pedagang kaki lima dapat bertahan hidup dari sekedar menjajakan air mineral atau minuman lain seperti teh, kopi atau susu dalam kemasan. Itu semata-mata didorong tingginya intensitas masyarakat dalam mengonsumsi air. Inilah yang menempatkan air baku sebagai bisnis yang sangat prospektif. Jika dikelola dengan baik, bisnis air dapat berlangsung sepanjang masa.
Kemitraan Bisnis
Keberadaan TSJ yang melintasi atau berdekatan dengan seluruh kawasan Jabodetabek, memberikan kemudahan tersendiri dalam pendistribusian air baku. Posisi strategis ini memberi peluang besar bagi air baku TSJ untuk mengakses dan diakses PDAM-PDAM di daerah sekitarnya. Ada sekitar 8 PDAM yang berpotensi menjadi mitra bisnis TSJ, yakni PDAM Kabupaten Bekasi, PDAM Kabupaten Kerawang, PDAM Kabupaten Bogor, PDAM kabupaten Tanggerang, PDAM Kota Bekasi, PDAM Kota Bogor, PDAM Kota Tanggerang, dan PDAM DKI Jakarta.
Salah satu poin penting dari keberadaan TSJ sebagai pemasok air baku adalah kemungkinan kualitas airnya yang jauh lebih baik dari sumber air baku yang selama ini digunakan PDAM-PDAM tersebut.
Di satu sisi, kualitas air baku yang berkualitas memudahkan TSJ mengikat perjanjian kemitraan dengan PDAM-PDAM tersebut. Di sisi lain, kualitas air baku TSJ akan memberi banyak insentif kepada PDAM-PDAM tersebut.
Pertama, ongkos pengelolaan air baku bisa ditekan, karena PDAM tidak perlu melakukan proses pembersihan berulang-ulang untuk mendapatkan standar air bersih yang dibutuhkan. Selama ini, PDAM mengeluh rugi karena mutu air baku yang sangat buruk. Mereka harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk pengolahan air baku agar mendapatkan mutu air yang dibutuhkan konsumen.
Kedua, berkurangnya ongkos pengolahan air baku, akan dengan sendirinya mengurangi biaya distribusi air bersih ke para pelanggan. Dengan demikian, setiap PDAM berpeluang meningkatkan keuntungan.
Ketiga, efisiensi tersebut memberi peluang bagi PDAM utuk membuat lompatan besar, melebarkan wilayah usaha dengan mengembangkan jaringan distribusi guna menjangkau lebih banyak pelanggan, dan meningkatkan mutu air bersih supaya siap minum.
Penggunaan air baku yang bermutu melipat-gandakan keuntungan yang akan diraih masing-masing PDAM. Ini merupakan kunci utama bagi TSJ mengikat perjanjian kemitraan dengan PDAM.
Dalam estimasi minimal dengan asumsi menjaring 20 juta pelanggan air bersih di seluruh kawasan Jabodetabek dan sekitarnya, maka TSJ berpeluang memasok sekitar 50 juta meter kubik air baku per bulan atau 600 juta meter kubik per tahun. Katakan saja, air baku itu dijual ke PDAM Rp 2.000 per meter kubik, maka diperoleh omzet sebanyak Rp 1,2 triliun setahun. Saat ini jumlah pelanggan PDAM di wilayah Jabodetabek masih sekitar 2 juta KK. Dengan pasokan air baku TSJ, jumlah pelanggan PDAM bisa melompat 10 kali lipat atau 20 juta pelanggan.
Tentu, begitu proyek ini menjadi kenyataan, perhitungan yang lebih persis bisa dilakukan oleh tim profesional.
Bisnis Pariwisata
Kawasan TSJ juga berpeluang besar mendulang uang masyarakat Jakarta dari liburan akhir pekan. Lewat konsep multisensasi, kawasan wisata TSJ bisa meraup para pelancong jauh lebih besar dari kawasan-kawan wisata lainnya di wilayah Jabodetabek.
Ada kelakar di kalangan masyarakat profesional Jakarta. Mengantisipasi kemacetan setiap Jum’at sore, lebih baik terlambat tiba di rumah daripada terjebak kemacetan sangat parah di jalan. Atau memilih alternatif pulang lebih awal. Tetapi saat yang bersamaan, ribuan orang membuat janji dengan rekan atau sejawat bisnis. Maka ketika mereka tumpah di jalan pada waktu yang bersamaan, meninggalkan kantor lebih awal pun, bisa terjebak macet. Biasanya, pasangan atau keluarga memulai liburan akhir pekan mereka pada hari Jum’at. Bagi masyarakat Jakarta, dua tujuan penting untuk berlibur : ke arah Puncak atau Pantai Carita.
Namun kawasan wisata TSJ bisa menawarkan paket wisata dengan kapal pesiar atau menikmati dam Cibinong dengan segala fasilitas yang ditawarkan. Kalau memilih berlibur ke kawasan wisata, para pelancong tidak perlu mengambil jalan darat. Mereka bisa mengambil transportasi air dengan menitip kendaraan mereka di setiap dermaga transit. Di tempat-tempat tertentu, mereka bisa menikmati fasilitas hotel, restoran, olah raga dan rekresasi di alam terbuka. Mereka bisa mengambil paket wisata tiga dimensi : marina, alam dan air. Misalnya, mengambil paket penuh pelayaran dengan kapal pesiar 24 jam plus fasilitas penginapan dan restoran.
Jakarta butuh dari solusi banjir
Ide Tirta Sangga Jaya (TSJ) menurut Syaykh AS Panji Gumilang diilhami oleh pembangunan bendungan Aswan di Mesir. Sebelum dam dibangun, setiap kali musim hujan tiba, kota Kairo selain selalu dibanjiri air bah juga membawa Berta buaya-buaya Sungai Nil yang menerkam dan membunuh warga kota. TSJ juga terinspirasi oleh pengalaman praktis Al-Zaytun dalam menerapkan manajemen teknologi panen air yang menjamin takkan terjadi lagi banjir di musim hujan, sekaligus takkan ada kekurangan air di musim kemarau.
Filosofi panen air Al-Zaytun dikaji dan diterapkan dari sudut pandang dalam perspektif 50 tahun ke depan. Al-Zaytun bukan bicara persoalan hari ini saja, seperti sering dilakukan oleh para pemangku jabatan yang daerahnya sering dilanda banjir misalnya Jakarta. Syaykh menggambarkan, "Kalau saja para pemangku pimpinan Al-Zavtun cara berpikirnya seperti orang Jakarta, baik itu pemerintahnya, maupun sipilnya, maka akan tenggelam 50 tahun lagi."
Waduk Windu Kencana yang akan menjadi simbol persembahan kepada bangsa, menandai delapan tahun kehadiran Al-Zaytun di jagat nasional, merupakan bukti konkrit dan miniatur mimpi bahwa Tirta Sangga Jaya bisa diwujudkan. Sebab Windu Kencana hanyalah cikal bakal dari rencana besar pembangunan Tirtaraksa Candrakirana Bangsa, yang akan memastikan Al-Zaytun terbebas dari gangguan banjir hingga 50 tahun ke depan. Jakarta agaknya perlu belajar mengatasi banjir ke Al-Zaytun. Pengaturan-pengaturan air secara tepat guna perlu dipikirkan lebih seksama, begitu juga infrastruktur pendukung lainnya masih banyak yang perlu dibenahi. Di lingkungan Al-Zaytun, air dikelola dan dimanfaatkan sangat efisien dan terencana.
Wakil Bupati Purwakarta, Dedy Mulyadi SH, melihat apa yang dilaksanakan oleh Al-Zaytun merupakan hasil teknologi yang perlu ditiru atau diterapkan di daerah-daerah lain. Jika masalah rutin Jakarta adalah pengendalian banjir tahunan yang sering menjadi isu nasional, Dedy pun sangat mendukung gagasan holistik Syaykh Dr. AS Panji Gumilang tentang perlunya pembangunan kanal Tirta Sangga Jaya. "Konsep ini sangat realistik, brilian dan layak ditindaklanjuti dengan riset," kata Dedy.
Jika kanal TSJ dan kanal Jakarta Cirebon diaplikasikan secara terpadu, tambah Dedi, maka sebagian besar banjir di Pantura Jawa akan dapat diatasi. Konsep ini, kata Dedy, dapat mengangkat harkat penduduk Jawa yang kian tidak seimbang antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Solusi Komprehensif
Soal penanganan banjir Jakarta, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan DKI Jakarta, mengusulkan solusi dengan menghadirkan satu pemahaman penyelesaian berbentuk kebijakan yang harus komprehensif. Masalah banjir Jakarta menurutnya adalah masalah besar, sebab melibatkan wilayah Jakarta dan luar Jakarta.
Hal kedua, perlu dihadirkan komitmen yang kuat dari seluruh pihak untuk menjadi bagian dari solusi. Selain pemerintah sebagai pihak yang paling berkewajiban, perlu dilibatkan masyarakat secara lugs, seperti mereka yang tergabung dalam partai politik, Ormas, LSM, kelompok-kelompok warga clan pemuda. Ini, kata Hidayat, akan menghadirkan kesadaran bahwa sesungguhnya masing-masing anggota masyarakat bisa menjadi bagian dari solusi sangat penting.
Hidayat mencontohkan, semua orang sudah tahu bahwa sesungguhnya kawasan bantaran sungai tidak boleh dihuni, ya mestinya jangan ada yang tinggal di sang. Selain karena bukan haknya, itu menjadi bagian yang bisa memicu terjadinya banjir. Atau, semua orang tahu bahwa salah satu penyebab banjir adalah kalau terjadi pendangkalan sungai akibat pembuangan sampah, maka jangan ada lagi yang buang sampah. "Artinya, pemerintah juga harus menyediakan tempat-tempat sampah yang memadai," kata Hidayat kepada Berita Indonesia.
Hidayat berharap para calon gubernur DKI Jakarta yang akan bertarung dalam Pilkada, menghadirkan solusi total banjir Jakarta, bukan sekadar jualan politik menjelang pemilihan. Tetapi menjadi sesuatu yang diingat dan ditagih oleh rakyat, bahwa gubernur terpilih pernah punya janji membebaskan Jakarta dari banjir.
Marwan Batubara, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Provinsi DKI Jakarta, melihat persoalan banjir Jakarta dari sudut pandang yang lebih jauh. Menurutnya, selain menyelesaikan masalah banjir, Jakarta juga butuh solusi pengamanan pasokan air di musim kemarau. Dia mencermati bahwa isu masa depan dalam hubungan antar negara adalah isu air. Marwan menunjuk Singapura. Negeri kecil ini sangat tergantung pada pasokan air dari Malaysia.
Sebagai wakil Jakarta, Marwan sangat peduli memberikan kontribusi bagi penyelesaian berbagai persoalan Ibukota Negara. Soal banjir, misalnya, pada 8 Mei lalu dia menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum mengenai "Telaah Kritis Atas Penyebab dan Solusi Banjir Jakarta".
Slamet Effendi Yusuf mengungkapkan harapannya terhadap TSJ sebagai perwujudan dari prinsip air sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai sumber bencana. Menyangkut pembiayaan proyek TSJ, Slamet Effendi Yusuf setuju dengan konsep Syaykh yang bersumber dari obligasi, namun tidak menutup pembiayaan dari sumber lain.
Peserta rapat sepakat untuk menanggulangi banjir di Jakarta, diperlukan lebih dari sekadar pembangunan Banjir Kanal Timur atau Deep Tunnel. Tetapi yang sangat diperlukan adalah langkah penanganan yang komprehensif, termasuk meluruskan kembali tata kota yang se-lama ini menyimpang. Langkah ini perlu segera dilaksanakan sebab banjir, menurut mereka, masih akan menghantui Jakarta di waktu-waktu mendatang, seiring dengan perubahan iklim dunia akibat pemanasan global.
Solusi yang disampaikan para pakar itu memang masih jauh dari ide besar TSJ yang digagas Syaykh. Nurfakih selaku wakil Pemda misalnya, mengatakan, banjir yang melanda Jakarta Februari 2007, akibat dari kondisi sungai yang sudah tidak memadai untuk menampung debit air yang masuk. Air kemudian meluap dari sungai dan menggenangi sebagian besar wilayah Jakarta.
Solusinya, kata Nurfakih, dengan pembangunan Banjir Kanal Timur dan revitalisasi Banjir Kanal Barat. Dia yakin optimalisasi kedua kanal tersebut dapat menjinakkan limpahan air dari 13 sungai yang mengaliri Jakarta, yang selama ini menjadi penyebab terjadinya banjir. Deep Tunnel menurutnya juga akan sangat membantu upaya penanggulangan banji- Jakarta.
Marco Kusumawijaya mengingatkan ancaman banjir akan terus meningkat seiring dengan fenomena global warming yang melanda dunia saat ini. Fakta adanya global warming berdampak pada naiknya permukaan air laut sekitar 0,5 cm setiap tahun, diikuti menurunnya permukaan tanah Jakarta sekitar 0,83 cm, dan curah hujan yang naik rata-rata dua persen setiap tahun. Semua fakta turut meningkatkan potensi terjadinya banjir di Jakarta.
Apabila Marco menyebutkan banjir Jakarta lebih merupakan akibat dari keterbatasan lahan terbuka, sehingga air hujan tidak dapat diserap ke dalam tanah. Pendapat senada juga dipaparkan oleh Yayat Supriatna. Menurut Yayat, baik di hilir maupun di hulu, ruang terbuka hijau (RTH) terns saja mengalami penyusutan. Bahkan di Bogor, target penyediaan RTH sudah direvisi dari sebelumnya 40 persen menjadi hanya 10 persen. Ruang terbuka hijau dialihkan menjadi kawasan komersil, seperti pembangunan vila-vila di kawasan Puncak, dengan tujuan sempit mendatangkan pendapatan asli daerah.
Irfan Maksum termasuk sependapat dengan Syaykh Panji Gumilang tentang perlunya dibentuk semacam badan otorita di tingkat nasional dengan kewenangan penuh untuk mengelola kawasan TSJ. Alasannya, persoalan banjir melintasi berbagai wilayah administrasi pemerintahan, sehingga diperlukan badan khusus yang mengelolanya secara menyeluruh tanpa harus disekat oleh batas teritori pemerintahan.
Paulus Wirutomo menyatakan penting perubahan paradigma penyelesaian persoalan banjir Jakarta, dengan mengajukan visi educating city, yang bermakna kota mencerdaskan warganya. Kata Paulus, diperlukan komitmen pemerintah untuk memberikan informasi dan pendidikan kepada publik tentang permasalahan sesungguhnya dari banjir yang terjadi hampir setiap tahun. Tujuannya, masyarakat dapat melakukan penilaian secara tepat dan proporsional, sehingga dapat mengambil peran aktif dalam upanya penanggulangannya.
Menyalahkan Alam
Melatari idenya, Tirta Sangga Jaya, Syaykh menjelaskan, 73 tahun yang lalu pemerintah Hindia Belanda sudah berusaha menertibkan Jakarta. Kata Syaykh, yang namanya Banjir Kanal Barat, dikenal dengan Kalideres, tadinya sungai tersebut mengalir lambat, lalu setelah ditertibkan menjadi degas. Pads jaman itu, Belanda membaca Jakarta dengan mengadakan sodetan sungai sebelah barat.
Bahkan sebelumnya, tahun 1887, Belanda sudah memikirkan harus ads penampungan air kiriman dari daerah sekitar Jakarta. Maka di ujung Bogor dibangun bendungan Katulampa. Asal mula nama Katulampa adalah nama sebuah kampung, identik dengan nama seekor binatang yang berjalan tanpa benti, bernyanyi Siang malam, dan terns mencari terobosan. Bendungan Katulampa dibuat tahun 1887, diresmikan tahun 1911, lalu disambung pembangunan BKB.
Setelah merdeka, bangsa Indonesia lengah menata air. Akhirnya semua daerah mengalami banjir bandang. Tetapi semua orang di Jakarta malah menyalahkan alam. Banyak orang mengatakan banjir sebagai fenomena alam, siklus tahunan atau lima tahunan. Padahal, kata Syaykh, sebetulnya dari dulu alam tidak pernah butuh Jakarta, tidak pernah butuh Al-Zaytun, tidak pernah butuh Mekkah, sebab itulah alam.
"Kalau roda alam semesta bergerak tidak kenal yang namanya Mekkah, Madinah, Roma apalagi Jakarta. Semua bisa digilas oleh alam," kata Syaykh. Dia menyebut banjir yang melanda Jakarta Februari 2007, bukan fenomena alam, tetapi fenomena kebodohan bangsa. "Dengarkan orang Jakarta, ini kebodohan bangsa. Kok menyalahkan alam, sebab alam tidak salah, dan tidak pernah butuh manusia, tetapi manusialah yang butuh alam, maka Anda harus dijaga," kata Syaykh, penggagas Tirta Sangga Jaya sebagai solusi holistik mengatasi banjir Jakarta.
Terpulang Pada Pemerintah Daerah
Banjir bandang yang secara serentak melanda seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) awal Februari 2007, sebenarnya membuktikan bahwa tatakelola air di seluruh kawasan tersebut merupakan satu kesatuan. Satu daerah di kawasan tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland) daerah lain, demikian juga sebaliknya.
Saling mempengaruhi menjadi kata kunci pengelolaan berbagai dimensi kehidupan di seluruh wilayah Jabodetabek, terutama menyangkut kependudukan, transportasi, dan lebih khusus menyangkut pengelolaan air. Namun dalam kenyataannya, pengelolaan tersebut dilakukan secara parsial oleh masing-masing daerah.
"Setiap daerah tidak akan mampu mengantisipasi sendiri ancaman banjir di daerahnya, melainkan harus bekerja sama dengan seluruh wilayah," kata Drs. Budi Muntoro (43), pengajar Geografi SMU Negeri 103, Jakarta Timur, saat menanggapi konsep pengendalian banjir Kanal Tirta Sangga Jaya (TSJ), yang digagas oleh Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang.
Budi memberi contoh penanggulangan banjir di Jakarta. Langkah tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan membangun resapan air Banjir Kanal Barat (BKB), ternyata tetap tidak berhasil. Bahkan, kalaupun proyek Banjir Kanal Timur (BKT) diselesaikan, tetap tidak bisa jadi jaminan bagi Jakarta, terbebas dari ancaman banjir bandang.
"Dari segi keilmuan, ide ini (TSJ-red) sangat bagus," katanya. Kerusakan lingkungan yang memicu bencana banjir di wilayah DKI Jakarta, menurut Budi Muntoro, justru terjadi di wilayah Selatan Jakarta, terutama wilayah Bogor dan Puncak.
"Jika gagasan Syaykh AS Panji Gumilang ini terwujud, maka limpahan air dari arah Selatan Jakarta, seperti Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur) akan dapat dikontrol di regulating dam (dam pengatur) kanal TSJ," katanya. Muntoro menyatakan apresiasinya pada desain Tirta Sangga Jaya yang menyediakan dam pengatur.
Sebab menurut Muntoro, tidak hanya aliran air yang penting menghilangkan banjir, tetapi pendistribusiannya juga tidak kalah penting. "Kalau ada sentral pendistribusian air seperti di sini (menunjuk peta red), maka keluar masuknya air dapat diatur, baik ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Dengan demikian, pembagian air dapat merata, baik ke arah Barat (Sungai Cisadane), Timur (Kali Bekasi) dan di tengah (Kali Ciliwung)," tuturnya.
Muntoro, meskipun mengapresiasi gagasan pembangunan kanal TSJ, merasa khawatir dengan realisasinya. "Yang menjadi masalah, mungkinkah gagasan ini dilaksanakan? Apakah masyarakat dan pemerintah Provinsi Banten dan Jawa Barat dengan mudah merelakan tanah-tanah mereka untuk kepentingan proyek TSJ,?" katanya dalam nada bertanya.
Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Muntoro dengan memberikan asumsi-asumsi. Kalau dilihat dari sisi komersialnya, berapa puluh ribu hektare tanah yang dikorbankan untuk itu? Apalagi sampai menggusur ka wasan industri, akan sangat merugikan para pengusaha. Dia mencontohkan kawasan industri di Bekasi, kalau sampai tercakup kawasan proyek TSJ akan berbenturan dengan para pengusaha dan hilangnya, pendapatan sejumlah industri.
Dalam asumsi lain, kata Muntoro, bisa jadi masyarakat merasa diuntungkan karena kanal TSJ akan merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya. Yang jelas. tambah Muntoro, akses lalu lintas di sekitar wilayah TSJ akan jadi sangat mudah. Masyarakat maupun pelaku usaha akan sangat mudah mengangkut bahan produksi serta mendistribusikannya, baik dari sisi biaya maupun waktu tempuh Selain itu, keberadaan kanal TSJ dapat merangsang percepatan industrialisasi di wilayah sekitarnya.
Juga dengan kehadiran kanal TSJ, bukan tidak mungkin menghidupkan kembali pelabuhan laut Banten yang sangat berperan di era Hindia Belanda Soalnya, kata Muntoro: "Terpulang pada masing-masing Pemda yang terlibat, mau bekerja sama atau tidak."
Pendanaan Tirta Sangga Jaya
Mewujudkan mimpi “Tirta Sangga Jaya“ memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan panjang 240 kilometer melintasi Bodetabek, lebar sungai 100 meter dan masing-masing sisi kanan dan kiri bantaran kanal dibangun jalan raya selebar 50 meter membutuhkan luas lahan 48.000 kilometer persegi.
Pengerjaan TSJ diperkirakan membutuhkan 5.000 unit excavator baru dalam waktu bersamaan. Jika masing-masing unit seharga 100.000 dollar AS, maka untuk pengadaan excavator saja proyek Tirta Sangga Jaya membutuhkan dana 500 juta dollar AS yang bila dirupiahkan dengan kurs Rp 9.200, sama dengan Rp 4,6 triliun. Syaykh AS Panji Gumilang sendiri memperkirakan akan dibutuhkan total biaya sedikitnya 100 miliar dollar AS, setara dengan Rp 920 triliun.
Para insinyur, arsitek dan semua yang terlibat pembangunan proyek, tentu bisa segera memilah-milah alokasi penggunaan dananya. Misalnya, berapa persen untuk biaya konsultasi, biaya tenaga kerja (manhours) untuk ratusan ribu pekerja selama tiga tahun, biaya peralatan, biaya material dan bahan-bahan, dan biaya-biaya lainnya. Para praktisi ekonomi makro maupun mikro juga bisa menghitung proyek ini dari sudut pandangnya masing-masing.
Bila besarnya biaya pembangunan Tirta Sangga Jaya digambarkan dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, yang saat ini mencapai 1.300 triliun. Maka, apabila biaya pembangunan proyek mencapai Rp 920 triuliun, itu sama dengan 71 persen dari PDB. Artinya, Indonesia akan bisa mewujudkan Tirta Sangga Jaya dengan tidak makan-minum selama 258,30 hari dalam setahun.
Atau, apabila selama tahun 2007 ini pemerintah menganggarkan angaran Belanja Negara sebesar Ro 350 triliun, maka pemerintah bisa membangun Tirta Sangga Jaya selama 2, 6 tahun dengan syarat tidak melakukan investasi apapun sebab seluruh investasi pembangunan dialokasikan ke proyek Tirta Sangga Jaya. Tetapi apakah pendanaan model seperti ini yang diimpikan Syaykh? Ternyata tidak.
Syaykh mengatakan, jika Indonesia dalam sekali utang bisa meminjam ke luar negeri 40 miliar dollar AS, maka proyek mandiri nasional Tirta Sangga Jaya tidak perlu meminjam ke luar negeri, melainkan dengan menerbitkan obligasi yang hanya diperjual-belikan di dalam negeri.
Syaykh mempunyai hitungan tersendiri dengan merujuk jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa. Syaykh percaya jika terdapat 10% dari jumlah penduduk yang memiliki uang diam dan mampu membeli obligasi senilai minimal 4.200 dollar AS (setara dengan Rp 38,64 juta), maka dengan mengajak mereka saja sudah terkumpul dana sebesar 100,8 milyar dollar AS setara dengan Rp 927,360 triliun. Mimpi Tirta Sangga Jaya pun pasti terwujud.
TSJ dan Raja Purnawarman
Tirta Sangga Jaya, dilihat dari perspektif sejarah, ternyata bukan sebuah berita besar. Nenek moyang bangsa Indonesia justru telah mengerjakan proyek-proyek yang Iebih besar dengan dukungan peralatan yang sangat sederhana.Apakah bisa diwujudkan? Ini mungkin pertanyaan yang dilontarkan setiap orang begitu melihat desain Tirta Sangga Jaya (TSJ) yang memang cukup mahal. Pertanyaan seperti ini tentunya sangat wajar mengingat besarnya dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan gagasan Tirta Sangga Jaya. Bahkan, jika dilihat dari besarnya sumber daya yang digunakan, bisa dikategorikan sebagai proyek mercu suar. Akan tetapi, dari sisi manfaatnya, TSJ tidak pantas dikategorikan mercu suar dengan citra proyek gagah-gagahan, karena manfaatnya jauh lebih besar dari sumber daya yang digunakan untuk mewujudkan TSJ. Karma itu, Drs. Mushoddiq (46), Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Cipta Karya Informatika (CKI) Jakarta dan Dosen Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi (STIE) IPWIJA, mengatakan tantangan apa pun yang dihadapi, tidak seharusnya menjadi penghambat untuk mewujudkan TSJ.
"Soalnya, perwujudan TSJ ditunggu banyak orang dan dibutuhkan seluruh warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi," katanya ketika ditemui Berita Indonesia di sela-sela aktivitas mengajarnya, Jumat (18/5).
Mushoddiq yang juga pengajar bidang studi sejarah di SMU Negeri 103 ini, mengatakan proyek pengendalian banjir TSJ sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu besar dari perspektif sejarah. "Nenek moyang kita sudah mengerjakan hal-hal yang setara dengan TSJ di awal tarik Masehi," katanya.
Ia merujuk Raja Purnawarman yang memimpin Kerajaan Tarumanegara (400-500M), membangun proyek saluran air pengendalian banjir dan irigasi, bernama Sungai Candrabhaga, sepanjang 6.122 busur atau 11 kilometer. Yang sangat memukau dari pembuatan Sungai Candrabhaga (Bekasi) dan Gomanti (Kali Mati, Tangerang). Penggalian sungai itu diselesaikan hanya dalam waktu 21 hari melibatkan puluhan ribu orang. Raja Purnawarman memotong 1.000 ekor sapi untuk selamatan selesainya pembuatan sungai tersebut.
Menurut prasasti Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, peninggalan abad kelima dari raja yang beragama Hindu ini sudah memperhatikan pengendalian banjir di musim hujan dan melindungi petani dari kekeringan pada musim kemarau. Sejarahwan Belanda, DR J Ph Vogel yang pernah menstrakripsi dan menelaah Prasasti Tugu, kini berada di Museum Nasional, sang raja sangat memperhatikan pengairan sawah-sawah para petani. Artinya, kerajaan ini sudah mencapai taraf yang tinggi di bidang pertanian.
Berdasarkan Prasasti Tugu dan prasasti-prasasti lainnya, kekuasaan Kerajaan Tarumanegara meliputi wilayah Banten, DKI Jakarta, Bogor, Bekasi dan Citarum. Kata Chandra dalam Chandrabhaga, berarti sari atau bulan. Chandrabhaga artinya sama dengan Kali Bagasasi, kemudian berubah jadi Bhagasi atau Bekasi sekarang.
Prasasti Tugu dan Chandrabhaga terletak di antara lokasi yang sama jauhnya. Ini mencerminkan pelestarian keseimbangan ekosistem. Sang raja menempuh kebijakan pemukiman yang juga didasarkan pada azas keseimbangan ekologis. Karenanya, raja memperbolehkan rawa-rawa di pedalaman diuruk untuk pemukiman. Maka muncul nama-nama, seperti Rawa Bangke, Rawa Puter atau Rawa Puter. Tetapi rawa-rawa di pesisir pantai tidak boleh diurug untuk pemukiman, karena merupakan kawasan hutan (bakau) lindung dan resapan air.
Atas kerja kerasnya, para sejarahwan memberi apresiasi yang sangat luar biasa terhadap karya monumental Raja Purnawarman tersebut. Sampai saat ini, karya besar Raja Purnawarman masih dapat dinikmati oleh masyarakat Jakarta. Menurut para arkeolog, Sungai Bagasasi di abad ke-5, sudah berganti nama menjadi Kali Bekasi.
0 Komentar