Jika mempeta (mapping)
Indonesia dari perspektif politik dan keamanan, niscaya akan muncul
tiga wilayah “merah” atau masuk kategori rawan, antara lain Aceh, Maluku
dan Papua. Kendati ada beberapa daerah lain juga sering bergolak,
tetapi bukan faktor ideologis, hanya sebatas anarkhisme massa ketika unjuk rasa, tawur antar kampung, dll sifatnya kasuistis, sporadis dan temporary.
Menyimak latar belakang ketiga daerah tadi ---meskipun tidak plek benar--- agaknya mapping tersebut hampir mirip kebijakan Cina menyikapi “merah”-nya Xinjiang, Tibet, Mongolia, dll.
Dalam konteks ini, kemiripan kerawanan daerah-daerah di kedua negara,
lebih diakibatkan gejolak politik masa lalu. Ada sisa api pergolakan
segolongan warga terhadap negara, maka jika diibaratkan bara dalam
tumpukan jerami, ia dapat menyala kembali bila “angin” bertiup
signifikan, dan sesekali akan meletus dalam ujud terorisme, konflik
komunal, serta lainnya.
Wilayah Merah, Naga dan Panda
Tak boleh dipungkiri, sekarang ini terlihat perbedaan cara (how to manage)
antara Indonesia dan Cina dalam mengelola konflik di internal negeri.
Apa boleh buat. Cina masih gunakan cara represif untuk menanggulangi
kaum ekstrimis, berbeda dengan Indonesia yang tak lagi memakai cara
tersebut, bahkan kini lebih mengkedepankan pola persuasif, prosperity approach,
diplomatif, dll meski penegakkan hukum dan tindakan polisional oleh
militer masih diterapkan, tetapi tidak semata-mata, artinya tindakan
agak keras dilakukan sesuai intensitas situasi yang berkembang.
Sekilas
membahas Cina. Tak bisa dielak, bahwa kebijakan (internal) di negeri
Tirai Bambu memakai pendekatan “naga” (tegas), lagi cenderung keras
tanpa kompromi. Contoh tindakan super represif di Tianamen dulu, atau
sanksi tembak mati bagi koruptor, dll bahkan peluru eksekutor pun
dibebankan pihak keluarga. Hal ini sangat berbeda jauh dengan pidana di
republik ini, manakala para koruptor bahkan seorang bandar narkoba pun
bisa menghirup remisi. Sungguh bertolak belakang.
Masih
tentang Cina, untuk kebijakan keluar (eksternal)-nya menggunakan
“panda” (simpati, tebar uang, investasi, dll) sehingga melalui cara
tersebut ia menuai banyak empati negara-negara. Tak dapat dipungkiri
memang, Cina lebih populer ---kemungkinan--- karena faktor “panda”
daripada kelompok negara Barat yang usil dengan pendekatan ideologis via
paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan).
Maka pantaslah bila jauh-jauh hari, Timor Leste bersikap welcome kepada Cina di wilayahnya. Tak kurang, Perdana
Menteri sekaligus Menteri Pertahanan Timor Leste, Xanana Gusmao
menyatakan, pihaknya terbuka bagi kehadiran armada Angkatan Laut Tentara
Pembebasan Rakyat Cina.
Saya
teringat sewaktu ke Timor Leste dekade 2009-an dulu, pasca berpisah
dengan NKRI, rakyat kalangan bawah bukannya bertambah baik tetapi dalam
banyak hal justru semakin terpuruk. Saya mengira, kondisi ini hanya
dirasakan oleh rakyat bawah, sedang elitnya berpesta pora. Ketika survey
non formal menginjak ke tataran elit, ternyata sama saja. Anekdotnya:
jika bergabung dengan Indonesia masih fifty-fifty, sepiring berdua; dengan Portugis diambil sak piringnya; dengan Aussie lebih parah lagi, diambil semua sak rak-rak piringnya!
Maka merujuk sikap welcome-nya Timor
Leste terhadap Cina, apakah pendekatan “panda” selama ini dianggap
lebih unggul serta dapat diterima segenap elit dan rakyat Xanana
daripada pendekatan tiga negara sebelumnya yang pernah dan sedang
“mengelola” Timor Leste kini? Ini cuma retorika. Bila pun ada jawaban,
simpan dahulu.
Kembali
ke Tanah Air. Meski riak-riak politik pada ketiga daerah tidak lagi
seheboh dulu, tetapi jenis kerawanan beralih kepada tuntutan yang lebih
atas praktek-praktek demokrasi, tegaknya hukum, rasa keadilan, hak asasi
manusia (HAM), ataupun menuntut perhatian lebih (khusus) dari
pemerintah pusat.
Aceh
misalnya, selain meminta penerapan syariah Islam, juga masih ada
golongan warga ingin eksistensi bendera gerakan (GAM) dikibarkan.
Demikian pula Papua, kendati telah menjadi Daerah Otonomi Khusus
(Otsus), terdapat segelintir warga berafiliasi dengan asing berteriak
soal Papua Merdeka, meski Nicolas Jouwe, sosok pendesain bendera Bintang Kejora telah menyadari kekeliruannya dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Sementara
untuk Maluku hampir-hampir tak menuntut apa-apa karena semakin
kondusif. Ia cuma meminta prioritas dari sisi kerukunan antar umat
beragama secara horizontal. Inilah mapping sekilas ketiga daerah “merah” di negeri tercinta ini.
Aussie = Polisi Asia Tenggara?
Entah
semenjak kapan, “perhatian” Aussie kepada tiga daerah begitu rutin
bahkan intens dilakukan. Mungkin sekedar asistensi, penelitian, capacity building, atau kegiatan lain. Maluku misalnya, setiap tahun dilaksanakan Darwin-Ambon Yacht Race, semacam lomba perahu layar yang bertolak dari Darwin ke Ambon. Kegiatan ini mendorong
pertumbuhan industri kerajinan dan pariwisata di Maluku, khususnya
Ambon dan sekitar. Ini terlihat semakin meningkatnya para peserta sail dari tahun ke tahun. Adalah keniscayaan jika ada linkage atau jalinan permanen antara Aussie dengan kelompok lokal atas nama Yacht Race. Sejauh mana pertalian mereka, rajutan masih belum terurai.
Di
Aceh lain lagi, digelarnya pertemuan antara pimpinan parlemen (DPR
Aceh) dengan jajaran Kedutaan Aussie di Jakarta. Hal ini menarik
dicermati, ketika pimpinan delegasi ialah Lauren Bain, Konselir bidang
Politik dan Keamanan. Merujuk kelaziman diplomatik (pakem) Barat selama
ini, bahwa konselir bidang politik biasanya agen intelijen yang ditanam
di Kedutaan.
Dalam
forum tersebut, Bain menanyakan masalah politik, ekonomi, perkembangan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lainnya. Poin yang menarik
tatkala ia berkomitmen soal penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.
Inilah “titik” yang mutlak diwaspadai bersama. Betapa komitmen
Aussie terkait HAM di Aceh, selain bisa diendus sebagai awal intervensi
ke internal Indonesia, bukankah ia sendiri tengah didera persoalan HAM
terkait tindakan diskriminasi terhadap Aborigin, suku asli Australia?
Dalam
buku berjudul “Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan
(2013)”, Jouwe menyatakan, masyarakat Papua saat ini sudah dihormati
Indonesia dibanding Aussie kepada Aborigin. Hingga saat ini, Aborigin
tidak memiliki satupun anggota di parlemen Australia, sementara banyak
orang Papua menjadi anggota parlemen baik pusat maupun daerah, Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wakapolda Papua dll. Jika
dibanding Aussie, justru ia lebih mundur penghormatannya kepada HAM
daripada Indonesia.
Juga
perihal keangkuhan Tony Abbott tidak mau meminta maaf secara resmi
kepada Indonesia terkait penyadapan telpon beberapa petinggi republik
ini, pertanyaannya menggelitik: apakah sikap Aussie hanya ingin
pengakuan publik global seolah-olah dia “Polisi Asia Tenggara”,
sebagaimana Pamam Sam mempersepsikan diri sebagai “Polisi Dunia”?
0 Komentar