Agaknya
ide (gila) geopolitik Raja Thai Narai (1677) tempo doeloe benar-benar
visioner lagi spektakuler. Betapa rencana menyatukan dua jalur
internasional antara Laut Cina Selatan dan Lautan Hindia melalui sebuah
kanal (terusan) yang membelah daratan, mampu menembus ruang dan waktu.
Artinya ide berabad lampau, kini menjadi “emas” dan hendak dikerjakan
oleh anak cucu, walaupun prakteknya timbul tenggelam di Thailand.
Apakah gagasan Raja Thai itu terinspirasi oleh Terusan Suez di Mesir? Tentu tidak, karena Terusan Suez sendiri baru dibuka 1870-an atas prakarsa insinyur Perancis bernama Ferdinand Vicomte. Sebaliknya,
apakah gagasan pembangunan kanal di Mesir oleh Ferdinand menjiplak ide
gila Raja Nara, juga tak dijumpai literatur secara pasti.
Meskipun pada 1897
pemerintah Negeri Gajah Putih dan Britania Raya sepakat untuk tidak
membangun terusan dimaksud guna melindungi dominasi pelabuhan Singapura, tetapi di
penghujung abad ke 20, bangsa Thai ingin mewujudkan mimpi Raja Nara
untuk membangun Terusan Thai, atau Terusan Kra, atau istilah lain Kra
Thailand, dll dimana memotong daratan tersempit Semenanjung Malaka, di
Thailand Selatan.
Jika merujuk laporan (2005) Sekretaris Pertahanan AS Donald Rumsfeld yang bocor ke Washington Times,
bahwa Cina telah menyiapkan sebesar USD 20 Miliar untuk membiayai
terusan melalui Tanah Genting Kra lengkap dengan fasilitas pelabuhan.
Kenapa hal ini dilangkahkan oleh Cina, karena urgensi kanal tersebut
terkait dengan atau bagian dari implementasi “String of Pearl”, strategi handal negeri Tirai Bambu di perairan dalam rangka mengamankan energy security-nya.
Berbasis
hitungan fisik, terusan ini bakal memangkas 612 mil antara Laut Cina
Selatan - Lautan Hindia daripada jalur sebelumnya via Selat Malaka.
Silahkan diprediksi, bagaimana nasib ekonomi Singapura apabila kanal
tersebut beroperasi? Ketika jantung Paman Lee ada di Selat Malaka, maka
(nafas) hidupnya pasti tersengal-sengal. Kemungkinan dinamika ekonomi
Negeri Singa menurun drastis bahkan cenderung bangkrut, sebab 50%
pelayaran internasional sedikit demi sedikit cenderung beralih ke
Terusan Kra daripada melalui Selat Malaka, karena alasan singkatnya
jalur pelayaran.
Secara moral, political will atau bahkan political action
Thailand membangun kanal pasti didukung penuh oleh Jepang, Brasil,
India, dll selain Cina yang sudah siap. Oleh karena keberadaan kanal
tersebut, jelas menguntungkan mereka dalam segala hal terutama waktu dan
jarak tempuh. Tak boleh dielak, beberapa negara tadi memang pengguna
(pelanggan) setia jalur Selat Malaka untuk berbagai kepentingan,
terutama rute suplai minyaknya.
Itulah geopolitical leverage Kra
Thailand. Tak bisa tidak. Sebuah implementasi atas geostrategi negara
bangsa dalam rangka pemanfaatan dan pemberdayaan ekonomi berbasis
keunggulan-keunggulan geografi. Ia merupakan daya lenting, selain untuk
kepentingan pertahanan (militer) juga utamanya mendorong pertumbuhan
ekonomi dan pengembangan sektor-sektor lainnya.
Geopolitical Leverage Sabang!
Aceh
pun sejatinya demikian. Masih ingat Peraturan Presiden (perpres) No
22/1964 serta Undang-Undang (UU) No 10/1965 yang menetapkan Sabang
sebagai free port (pelabuhan bebas) untuk kurun waktu 30 tahun
berikut? Inilah “mimpi buruk” Paman Lee di zaman BK dahulu, selain
visinya terhadap neokolonialisme.
Berdirinya free port
lain (Sabang misalnya) di sekitar Selat Malaka, minimal akan mengurangi
singgahan kapal-kapal ke pelabuhan Singapura. Sekali lagi, inilah mimpi
buruk Negeri Singa. Seandainya sejak dulu para elit politik di negeri
ini secara konsisten menjalankan amanat perpres dimaksud, kemungkinan
mimpi tadi akan menjadi momok sepanjang Lee tidur. Tetapi apa nyatanya.
Tatkala
meletus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), rezim Orde Baru membekukan status
tersebut. Apa boleh buat. Selama kepemimpinan Pak Harto tensi Aceh terus
membara. Proyek Sabang pun dilupakan. Zaman Gus Dur memang diterbitkan
UU No 37/2000 guna memberlakukan lagi Sabang menjadi kawasan perdagangan
dan pelabuhan bebas, tetapi prakteknya kembang-kempis. Selain akibat
konflik Aceh tak kunjung usai, tampaknya para elit gaduh sendiri dengan
“paket mainan” ala DHL (demokrasi, HAM, lingkungan) asyik berhura-hura
(politik), mereka lupa atau gagal mengingat atas proyek strategis bangsa
di Aceh. Padahal perpresnya sudah jelas, UU pun nyata. Bahkan hingga
era kini, proyek pelabuhan bebas Sabang pun nyaris tak terdengar.
Jika Kra Thailand dan free port
Sabang beroperasi kelak, maka dinamika Selat Malaka serta
pelabuhan-pelabuhan Singapura cenderung menurun bahkan sepi, terutama
lalu-lalang pelayaran antara Laut Cina – Lautan Hindia, dan sebaliknya.
Cina misalnya, rute suplai minyak dari Timur Tengah, Afrika, dll tidak
lagi melintasi Selat Malaka. Ia bisa langsung memotong melalui Terusan
Kra. Demikian juga India, Jepang, Timur Tengah, dan lainnya (lihat
gambar).
Kemungkinan besar sebutan chokepoints of shipping in the world
akan beralih ke Terusan Kra di Thailand Selatan, bukan julukan lagi
bagi Selat Malaka lagi. Itulah yang bakal terjadi nanti. Apakah kamu
kira Paman Lee akan diam berpangku tangan?
Sumber : https://www.facebook.com/notes/m-arief-pranoto/kepanikan-singapura-atas-geopolitical-leverage-aceh-dan-thai-6/672932849436422
0 Komentar