Sebagaimana
pengantar kemarin, tulisan ini juga kelanjutan 3 (tiga) artikel
sebelumnya, antara lain: ‘Benarkah Australia dan Singapura itu “Ujung
Tombak" Kolonialisme di Indonesia (1)’, ‘Menakar Kharakter Bebal Politik
Luar Negeri Australia (2)’ dan ‘Singapura: “Israel”-nya Asia Tenggara
(3)’. Prolog ini sekedar mengingatkan agar tak putus dalam merajut
topik. Selamat membaca dan tetaplah berpikir merdeka!
Urgensi Selat Malaka
Ketika
merebak anekdot global bahwa Israel itu “Amerika Kecil”, sedang Amerika
adalah “Israel Besar”, maka anekdot yang tepat untuk Singapura ialah
“Israel”-nya Asia Tenggara. Apa boleh buat. Peringatan kemerdekaan
Israel yang dirayakan secara besar-besaran di Singapura setidaknya telah
menguak kedok, kemana sejatinya ia berkiblat. Tak kurang, Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri, KH. Muhyidin Junaidi
mengatakan, peringatan besar-besaran kemerdekaan Israel di Singapura
menunjukkan posisi penting Israel di Asia Tenggara.
Namun
di sisi lain, sesuatu yang riskan sebenarnya melekat pada Singapura
terkait geopolitiknya, yakni ketergantungan terhadap Selat Malaka. Tak
bisa dielak, bahkan selat ini boleh dianggap “nafas” bagi dinamika
kehidupannya. Memang hampir semua ekspor impor di Asia Tenggara, bahkan
di dunia mutlak harus melalui dan transit di Negeri Singa. Entah
bagaimana awalnya “sistem makelar” ini dibuat, sehingga kini seperti
dijadikan pakem global. Termasuk transaksi perbankan, dan lain-lain.
Udang
Indonesia misalnya, sebelum diekspor ke berbagai negara harus
“ngantong” dulu di Singapura. Belum jenis komoditi lain. Minyak jangan
ditanya, justru judulnya sungguh ironis: “Indonesia impor minyak dari
Singapura” hanya karena ketiadaan refenery (kilang minyak) di
republik tercinta ini. Bahkan ketergantungan minyak dari luar sempat
dijadikan sarana “menakut-nakuti” bangsa ini oleh Wakil
Menteri (Wamen) ESDM ketika panas-panasnya hubungan Indonesia –Singapura
akibat penamaan Usman Harun pada kapal angkatan laut: "Kalau Singapura
dan Malaysia tidak ekspor BBM, dalam waktu lima hari kita bisa
meninggal. Sebab kita punya banyak pesawat tempur, nah itu mau diisi apa
kalau bukan BBM. Mau diisi air?," kata Susilo Siswoutomo, Wamen ESDM di
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Pakuwon,
Sukabumi, (9/2/2014). Luar biasa!
Kembali
ke Negeri Singa. Ketergantungan terhadap Selat Malaka, boleh dinilai
keunggulan tetapi juga dapat dianggap kelemahan. Sekali lagi, inilah
riskannya. Bahasa sederhananya, tutup saja Selat Malaka maka akan “mati”
Singapura!
Memang selat dimaksud jalur strategis lagi tersibuk di dunia setelah Selat Hormuz di Teluk Persia. Chokepoints of shipping in the world. Kenapa
dianggap selat strategis di Asia, selain peran vital bagi negara-negara
di sekeliling, juga tak sedikit negara lain pun bergantung atas
geoposisi di jalur perairan internasional. Tak bisa dipungkiri, Selat
Malaka merupakan salah satu pintu (utama) pelayaran dari Lautan Pasifik
(khususnya perairan Cina) menuju Lautan Hindia.
Data
Kementerian Pertahanan RI menyebut, sejak tahun 1999-2008 kapal-kapal
yang melewati Selat Malaka meningkat 74%. Dan tahun 2020 diprakiraan
mencapai 114.000 kapal. Alangkah sibuknya. Menurut Goldman Sachs,
kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak ialah
Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India
yang paling aktif melintasi Selat Malaka.
The Malacca Dilemma
Dampak
atas tingginya volume pelayaran, diyakini bakal menjadi kendala bagi
para pengguna jalur Selat Malaka. Kini pun mulai terlihat. Traffic congestions
misalnya, adalah kemacetan akibat semakin sempitnya jalur, atau
pendangkalan di beberapa bagian selat. Hal ini, selain menimbulkan
pelambatan waktu jelajah sebab sibuknya pelayaran, juga berpotensi
muncul masalah baru seperti kerawanan pembajakan, atau kejahatan lain.
Boleh jadi terdapat biaya tambahan akibat waktu tempuh lebih lama, atau
sistem pengamanan ekstra bagi kapal-kapal yang melintas, dan masih ada
dilema lain terkait hal-hal teknis, taktis operasional bahkan aspek
politis dalam lingkup perairan dan pelayaran internasional. Inilah
sekilas the malacca dilemma yang mengendala dan secara alamih bakal menemui titik puncak (kemacetan).
Khusus bagi Cina, the malacca dilemma menyimpan hazard tersendiri bagi kepentingan nasionalnya. Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relations mengatakan: “whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.” Bahkan Presiden Hu Jiantao pernah menegaskan, malacca dilemma
merupakan masalah kunci untuk jaminan pasokan energi mengingat 80%
impor minyak Cina melalui Selat Malaka, oleh sebab itu keamanan jalur di
“selat basah” ini menjadi urgen bagi kelanjutan ekonomi negeri Tirai Bambu.
Kembali
lagi ke Singapura. Belum lagi “cara gelap” terhadap para negeri
tetangga terutama Indonesia. Tak boleh dipungkiri, hingga kini ia
menolak perjanjian ekstradisi dengan Indonesia dalam hal kerjasama
antisipasi kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum, ia dianggap safe house, tempat yang nyaman untuk pelaku tindak pidana terutama kaum koruptor, atau pengemplang duit rakyat Indonesia.
Menurut sumber Global Future Institute
(GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, bahwa di Singapura kini tersimpan
Rp 400 triliun uang Indonesia yang “diparkir”. Entah uang apa serta dari
mana, informasi belum terkuak jelas. Konon jumlah tersebut kian
bertambah beberapa kali lipat sejak pemilu 2009 lalu. Adanya bocoran
bahwa uang tadi dalam kendali para konglomerat Cina yang berbasis di
Singapura, serta akan dikembalikan lagi ke Indonesia apabila presiden
mendatang selaras dengan keinginan mereka. Retorikanya adalah: siapa
calon presiden pada Pemilu 2014 ini yang pencitraannya didukung oleh
para konglomerat Cina secara gegap gempita? Sebuah retorika memang tak
perlu jawaban agar tulisan ini bisa dilanjutkan lagi.
Sumber : https://www.facebook.com/notes/m-arief-pranoto/singapura-negeri-makelar-sarangnya-koruptor-4/671281022934938
0 Komentar