Apa
langkah Singapura dalam rangka mempertahankan posisi sebagai epicentrum
(titik magnet)-nya di Asia Tenggara, lalu bagaimana antisipasi terhadap
malacca dilemma? Bukankah Selat Malaka adalah nafas, bahkan
jantung bagi dinamika kehidupannya? Itulah persoalan nyata Negeri Singa
kini dan ke depan. Sebagamana pernah dibahas sebelumnya, jika kelak
tertutup atau ditutup Selat Malaka, maka akan “mati” Singapura!
Sekilas Skema DCA
Upaya
di sektor gas misalnya, bahwa ketergantungan Negeri Singa atas pasokan
80% gas Natuna membuatnya atur strategi melalui (tawaran) Defence Cooperation Agreement
(DCA) kepada Indonesia. Inti DCA ialah pinjam lokasi bagi latihan
militer Singapura di Natuna. Seperti kita maklumi bersama, minimnya
ruang teritorial baik di perairan, daratan dan udara membuat “nganggur”
personel militer dan peralatan tempur miliknya. Tak ada ruang untuk
latihan. Mungkin tentara Paman Lee itu mirip anak kota yang takut
“jalanan becek”, oleh sebab tak pernah latihan di medan nyata, hanya
latihan kering dan simulasi.
Soal DCA, jangan sekali-kali lengah! Tawaran skema tersebut hanya open agenda, sedang hidden agenda
seandainya ia lolos, niscaya akan berdiri pangkalan militer asing
(Singapura dan sekutu) di Natuna. Jangan pernah terjadi. Sekali lagi,
perihal pangkalan militer pun kemungkinan juga sasaran antara, karena
terdapat hal lebih signifikan lagi yaitu penguasaan gas Natuna oleh
otoritas Singapura. Sekali kayuh dua pulau terlewati. Ada tempat latihan
dan pangkalan militer, sekaligus cengkraman atas aliran gas Natuna.
Syukurlah
tawaran DCA digantung, meski Paman Lee menjanjikan ekstradisi dan tukar
perkara yang selama ini ditabukannya. Agaknya segenap elit dan petinggi
republik ini menyadari, jika kelak bercokol pangkalan militer asing di
Natuna maka seperti membuka pintu bagi kolonialisme secara symmetric, kendati dari perspektif asymmetric strategy, sebenarnya kita telah dijajah oleh asing melalui “sistem”.
“Menutup” Selat Malaka
Tak
dapat dipungkiri, Selat Makala memang nafas dan jantung bagi Paman Lee.
Tersumbat jantungnya bakal tersengal-sengal nafasnya. Dengan kata lain,
tatkala berkembang rencana, fenomena, atau aktivitas pembangunan dll di
sekitar selat tersebut, terutama jika kegiatan dilakukan para negeri
tetangga yang berpotensi memunculkan “kompetitor” bagi Selat Malaka,
maka dipastikan ia akan berusaha “memadamkan”, menghambat, bahkan kalau
perlu menggagalkan rencana dengan segala cara. Itulah makna kata menutup
dari sub bab “Menutup” Selat Malaka di atas. Segala aktivitas yang memiliki dampak kompetitif pada selat dimaksud.
Adanya
latihan perang-perangan angkatan laut Cina di selatan Jawa, dekat pulau
Christmas milik Aussie, boleh diibaratkan “pukulan” bagi Singapura.
Betapa tidak, bahwa selama perjalanan kapal-kapal perang Paman Mao tanpa
sedikitpun melewati Selat Malaka, akan tetapi justru melalui alur-alur
laut (ALKI) di Indonesia. Saat berangkat melintas di ALKI I dengan rute
Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, SELAT SUNDA,
dan terakhir menuju Samudera Hindia. Sedangkan rute pulang melintasi
ALKI II, yakni SELAT LOMBOK, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Sawu,
Laut Cina Selatan, lalu kembali lagi ke pangkalannya di Hainan.
Tampaknya Cina ingin memberi pesan kepada Paman Lee, bahwa peran Selat
Malaka baginya sudah bisa digantikan oleh selat dan perairan lain
(Indonesia) jika hendak berlayar ke Lautan Hindia.
Peristiwa di selatan Jawa, sekurang-kurangnya telah mematahkan teori Zhao Yuncheng dari China‘s Institute of Contemporary International Relations: “whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.” Termasuk juga mengubur statement Presiden Hu Jiantao akan ketergantungan kepada Paman Lee karena 80% impor minyaknya melalui Selat Malaka. Bagi Cina kini, tampaknya Selat Malaka sudah dianggap masa lalu.
Zaman
Pak Habibie menjadi Presiden RI ke 3, Negeri Singa itu sempat cemas
karena mimpinya memiliki Sabang, Batam dan Bintan yang mampu mengalahkan
Singapura. Bahkan ketika Lee menghadap ke Jakarta guna membangun
komitmen pun ditolak oleh Habibie, sebab ia yakin Indonesia pasti
dirugikan. Dan kejatuhan Habibie melalui “kudeta” di MPR berupa
penolakan pertanggungjawabannya, diyakini oleh banyak pihak ada
kontribusi Singapura pada kudeta halus tersebut, karena terkait
mimpi-mimpi Habibie jika terwujud akan mampu “menutup” Selat Malaka. Era
Bung Karno (BK) lebih hebat lagi, mungkin Indonesia ibarat hantu yang
hadir di setiap mimpi Paman Lee karena visi BK terhadap neokolonialisme
membuatnya tak lelap tidur.
Sumber : https://www.facebook.com/notes/m-arief-pranoto/strategi-gelap-singapura-melindungi-selat-malaka-5/672203859509321
0 Komentar