Soeharto memendam prasangka buruk bahwa Prabowo bersama-sama Habibie
sedang menggalang persekongkolan untuk menumbangkannya. Sebagaimana
tradisi dalam riwayat raja-raja Mataram yang dikudeta oleh kalangan
istana sendiri, maka “putra mahkota” Prabowo agaknya tengah mengatur
siasat untuk mendongkel sang raja, Soeharto. Cerita-cerita semacam ini
sudah beredar luas sedari awal tahun 1998 dan menjadi bahan spekulasi
politik yang semakin panas di kalangan masyarakat. Menurut Sumitro,
dalam hal ini Soeharto rupanya telah termakan isu yang diembuskan
putra-putrinya—yang di hari-hari terakhir memiliki hubungan yang semakin
buruk dengan Prabowo.
Cerita-cerita miring boleh jadi meluas dengan cepat, sebab diketahui
bahwa di luar istana terdapat pula sebarisan perwira tinggi ABRI yang
memandang dengan penuh perasaan cemburu terhadap karier Letjen Prabowo
yang menanjak dengan pesat. “Kenaikan pangkat yang cepat dari anak saya
itu sudah jelas mengundang ketidaksenangan bagi beberapa orang. Kondisi
kecemburuan seperti ini sudah merupakan sifat umum dari manusia di
manapun.[1]
Salah satunya yang tidak lagi menyembunyikan rasa bencinya terhadap
Prabowo ialah Pangab Jenderal Wiranto. Bersama kelompoknya, niscaya
Wiranto dalam posisi terus mengintai, dan bahkan mungkin sebagai pihak
yang berusaha mengambil inisiatif. Ia tentu tak menyia-nyiakan
kesempatan begitu melihat ada peluang agar dapat menghempaskan Prabowo.
Wiranto di sekitar tanggal 21 Mei 1998 kabarnya mengeluh kepada mantan
Presiden/Pangti Soeharto mengenai pergerakan Prabowo. Mendengar keluhan
itu, Soeharto langsung “menginstruksikan” agar Prabowo segera dilepaskan
dari pasukan. “Copot saja Prabowo dari Kostrad!” Wiranto, masih menurut
sumber yang sangat dipercaya pula, konon sempat bertanya lagi apakah
Prabowo harus dilempar ke teritorial, ke Irian Jaya, atau entah ke mana?
“Ndak usah, kasih saja pendidikan. Bukankah keluarganya
intelektual,” sergah Soeharto, tampaknya ia hendak menyindir keluarga
Sumitro.
Malam hari sebelum pengumuman, Prabowo menelepon kepada ayahnya
memberitahu bahwa ia akan disingkirkan. “Saya dikhianati,” kata Prabowo.
Oleh siapa? “Papi nggak percaya kalau saya bilang, saya
dikhianati oleh mertua. Dia bilang kepada Wiranto, singkirkan saja
Prabowo dari pasukan,” tambah Prabowo.
Prabowo tentu saja sangat kecewa dengan perlakuan keluarga Cendana.
Untuk membela diri, Prabowo menulis surat kepada Soeharto. Tapi, justru
surat Prabowo itu dinilai tak pantas oleh keluarga Cendana.
Tanggal 25 Mei 1998: Letjen Prabowo Subianto resmi dicopot dari
Pangkostrad, dan dikirim ke Bandung untuk menjadi Komandan Sesko ABRI.
Tak berapa lama, setelah pemeriksaan Dewan Kehormatan Perwira (DKP),
bahkan karier militer Prabowo diakhiri oleh Wiranto. Akhirnya, Prabowo
memutuskan untuk memilih menjadi pengusaha di luar negeri, guna menyusun
hidup yang baru. Sebelum berangkat, ia sempat melapor kepada Pangab
Jenderal TNI Wiranto, dan kala itu Wiranto sempat berkomentar singkat,
“Ya, sudah pergi saja ke luar, tak apa-apa. Jauhkan pikiran kamu dari
Mahmil!”
Menyaksikan tragedi yang menimpa Prabowo, tentu saja sebagai orang
tua, Sumitro menganggap itu sebagai cobaan yang berat dalam kehidupan.
Tapi, itu tidak lantas membuat keluarga ini harus merasa terpukul
apalagi terpuruk. Dengan suara tetap lantang dan tenang Sumitro berkata,
“Prabowo mesti tetap tabah dan lebih kuat lagi. Masalahnya bukan ia
dipukul, tapi bagaimana ia bisa bertahan. Saya bangga Prabowo tabah.
Ujian buat saya dan isteri saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu,
habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha..ha..ha!”
Kepada Prabowo, Sumitro cuma berujar singkat, “Begini, sekarang kamu
dijadikan sasaran macam-macam. Jangan harapkan teman-teman kamu sendiri
akan membantu. Orang yang berhutang budi terhadap kamu pun bakal
meninggalkan kamu. Tapi, dalam keadaan segelap apa pun niscaya masih ada
orang-orang baru yang akan membantu. Jadi harus tabah. Kedua, jangan
merasa kasihan pada dirimu sendiri, jangan menjadi dendam, ini kehidupan
sendiri, hadapilah!” kata Sumitro seraya mengingatkan bahwa Sumitro
sudah beberapa kali mengalami hal serupa bahkan yang lebih buruk dari
itu.
Di depan DKP, Prabowo mengungkapkan mengenai daftar sembilan aktivis yang harus diculik yang ia dapat dari atasannya, seraya mengatakan bahwa kesembilan orang itu menjadi tanggung jawabnya dan telah ia lepaskan serta semuanya masih hidup.
… Berarti yang mesti ditelusuri lebih jauh ialah siapakah yang memberi perintah kepada Prabowo untuk menculik, KSAD-kah, Pangab atau Pangti-kah?
Tindakan pertama ABRI segera setelah Soeharto lengser ialah berusaha
mengungkap kasus penculikan para aktivis pro-demokrasi. Begitu Pangab
Jenderal TNI Wiranto mengumumkan tujuh oknum anggota Kopassus sebagai
tersangka kasus penculikan, banyak pihak memuji langkah tersebut,
menilai bahwa ABRI tengah menuju perkembangan yang menggembirakan,
karena sudah mulai transparan jika ada anggotanya terlibat dalam perkara
besar.[2]
Wiranto lantas seakan-akan hendak memuaskan tuntutan masyarakat
dengan membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang diketuai Kepala
Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. DKP kemudian memeriksa Letnan
Jenderal Prabowo Subianto, Mayor Jenderal Muchdi P.R. dan Kolonel
Chairawan. Hasilnya, Prabowo Subianto diakhiri masa dinasnya (istilah
lain dari diberhentikan dengan hormat) di ABRI. Sedangkan, Muchdi dan
Chairawan dibebaskan dari semua tugas dan jabatan struktural di ABRI.
Mereka terkena sanksi sehubungan dengan kasus penculikan yang dilakukan
oleh Tim Mawar Kopassus, antara bulan Februari 1998 hingga Maret 1998.
Tercatat belasan aktivis pro-demokrasi diculik, tiga di antaranya dapat
meloloskan diri, yaitu Desmond Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Nezar
Patria.
Namun belakangan terbukti bahwa langkah Wiranto tersebut lebih
bermakna politis—kalau tidak boleh dikatakan mengelabui publik—ketimbang
kesungguhan institusi ABRI sendiri untuk mengungkap satu per satu kasus
yang mengemuka di masyarakat, sebagai cermin kesungguhan ABRI untuk
memperbaiki citra buruk dirinya. Kasus orang hilang sampai sekarang
tidak terjawab tuntas. Padahal, Prabowo sudah mengakui perbuatannya. Di
depan DKP, Prabowo mengungkapkan mengenai daftar sembilan aktivis yang harus diculik yang ia dapat dari atasannya, seraya mengatakan bahwa kesembilan orang itu menjadi tanggung jawabnya dan telah ia lepaskan serta semuanya masih hidup.[3] Bahkan, Haryanto Taslam kabarnya mengakui bahwa ia masih hidup karena Prabowo yang melepaskan.
Mengapa setelah DKP memeriksa Prabowo dan kawan-kawannya, pengusutan
kasus penculikan lantas berhenti. Bukankah yang bersangkutan sudah
bersedia dan menyatakan lebih senang bila kasusnya diselesaikan di
mahkamah militer, sebagaimana keinginan masyarakat luas yang sangat
berharap agar kasus ini dapat dituntaskan di mahkamah militer.[4] Dalam kamus tentara tentu saja mustahil ada operasi tanpa perintah atasan. Atau
dengan kata lain, tidaklah mungkin seorang tentara berani mengambil
inisiatif untuk melakukan operasi militer tanpa diperintah atasannya,
apa pun pangkatnya. Berarti yang mesti ditelusuri lebih jauh ialah
siapakah yang memberi perintah kepada Prabowo untuk menculik, KSAD-kah,
Pangab atau Pangti-kah? Dengan mengikuti alur pertanyaan ini, maka tidak
dilanjutkannya kasus Prabowo ke mahkamah militer adalah karena bila
diungkap maka kemungkinan akan melibatkan banyak jenderal atau
membongkar rahasia di Angkatan Darat sendiri.
Di sini segera terlihat jelas muatan politis (baca: taktik dan tipu daya) dari langkah Wiranto. Pertama,
ia berusaha merebut simpati publik dengan cara mengajukan sejumlah
oknum Kopassus tadi dan bila perlu tidak segan-segan menjatuhi mereka
hukuman.[5]
Jadi, jatuhnya vonis hukuman buat anggota Tim Mawar seakan-akan hanya
bermaksud menyenangkan publik. Tak terhindarkan muncul kesan bahwa
ketujuh anggota Kopassus itu menjadi pihak yang dikorbankan. Penilaian
ini didasarkan pada logika dalam kemiliteran bahwa tidak mungkin seorang
berpangkat mayor dapat mengambil inisiatif sendiri atas suatu operasi.[6]
Kedua, dengan menangani lebih dahulu dan sesegera mungkin
kasus penculikan yang melibatkan Prabowo, berarti terbuka luas
kesempatan bagi Wiranto untuk menggeser Prabowo. Dan memang kelak,
melalui temuan-temuan yang diperoleh DKP (Dewan Kehormatan Perwira),
Wiranto punya alasan kuat untuk menamatkan karier Prabowo Subianto di
milker. Ketika kemudian penyelidikan atas kasus ini seakan- akan
terhenti, dengan tanpa melacak lebih lanjut ke tingkat yang lebih tinggi
guna mencari tabu siapa yang memberi perintah kepada Prabowo, publik
segera sadar bahwa pengungkapan kasus penculikan semata-mata mempunyai
sasaran tunggal: yakni menggeser Prabowo.
“Saya rasa, keadilan terhadap perihal Prabowo Subianto terlihat kabur dan ngawur, karena seakan-akan segala tenaga menghujat terpusat pada Kopassus dan Prabowo Subianto. Mengapa segala sesuatu berada di pundaknya? Padahal, kita semua tahu banyak kesatuan lain dan perwira tinggi lain yang terlibat di situ.”
Setelah berhasil menyingkirkan Prabowo, Jenderal TNI Wiranto kemudian
dengan leluasa melakukan konsolidasi (baca: pergeseran-pergeseran
personel) di dalam tubuh TNI. Langkah tersebut dinilai banyak kalangan
sebagai upaya membersihkan tubuh ABRI dari pengaruh Prabowo.[7]Puncak
upaya marginalisasi para perwira yang dekat dengan Prabowo ialah
dilakukannya mutasi besar-besaran 100 perwira ABRI pada 4 Januari 1999.
Dengan demikian, Jenderal Wiranto telah melakukan usaha-usaha serius dan
sistematis guna menyingkirkan Prabowo dan kelompoknya, di mana upaya
pengungkapan kasus penculikan aktivis sebagai entry point-nya.
“Saya rasa, keadilan terhadap perihal Prabowo Subianto terlihat kabur dan ngawur, karena
seakan-akan segala tenaga menghujat terpusat pada Kopassus dan Prabowo
Subianto. Mengapa segala sesuatu berada di pundaknya? Padahal, kita
semua tahu banyak kesatuan lain dan perwira tinggi lain yang terlibat di
situ.” kata Sumitro suatu waktu kepada wartawan.[8]
Sumitro mengeluarkan uneg-unegnya karena menyaksikan bahwa isi
pemberitaan dari kalangan media cetak dan elektronika sudah termakan black propaganda yang
diembuskan oleh pihak tertentu. Kalangan media massa banyak
mengembangkan opini dari sumber-sumber yang obyektivitasnya diragukan.
Dengan demikian, harapan akan keadilan dan sense of fair treatment masih kurang.
Sumitro mengatakan, dirinya menghargai dan menghormati Prabowo
Subianto sebagai ksatria, serta berani mengambil tanggung jawab jika
dalam melaksanakan tugasnya ada kesalahan. “Namun, tak boleh lupa, ada
atasannya. Bahwa kalau ada penyimpangan di dalam ABRI maka ada dua
tingkat atasannya yang harus tahu.”
Ayah Prabowo juga mengemukakan keheranannya mengapa pada tanggal 14 Mei 1998, Pangab Jenderal TNI Wiranto tetap ngotot untuk
memberangkatkan semua jenderal penting ke Malang guna menghadiri
upacara peralihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Divisi I ke
Divisi II, padahal sudah ada info bahwa bakal ada kerusuhan. Prabowo pun
telah mengingatkan bahwa akan terjadi sesuatu, sehingga berpendapat
agar Pangab dan jenderal-jenderal yang menjabat posisi-posisi
strategis—seperti Kasad, Danjen Kopassus, dan juga dirinya
(Pangkostrad)—agar tidak pergi ke Malang. Prabowo mengatakan apakah
tidak sebaiknya ia berada di Jakarta untuk berjaga-jaga membantu Pangdam
Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. Namun, Wiranto tetap bersikeras bahwa semua
harus berangkat meninggalkan Jakarta! Ini berarti mengorbankan keamanan
Jakarta, untuk sebuah acara tak begitu penting di Malang, sebab
penyerahan pasukan di Malang sebenarnya cukup dilakukan oleh Panglima
Divisi! Padahal pada tanggal 12 Mei 1998 di Jakarta Barat sudah terjadi
kerusuhan. Keadaan di Jakarta dengan cepat memburuk akibat jatuhnya
korban tertembaknya mahasiswa Trisakti.
Seorang sumber harian Berita Buana[9] menyebutkan bahwa Prabowo berani mengingatkan Wiranto—bahkan konon mengusulkan agar acara di Malang ditunda[10]— karena dirinya mendapat informasi dari Kedutaan AS bahwa akan terjadi gerakan sejuta massa di Jakarta.
Singkat cerita, dalam desain rekayasa itu (kalau memang benar itu
ada), Mabes ABRI tetap pada rencana semula: acara di Malang jalan terus!
Pangab akan tetap hadir, Pangkostrad hadir juga, KSAD juga turut ke
sana. Padahal, dalam keterangannya kepada TGPF, Kepala BIA menegaskan
bahwa karena peristiwa penembakan di Trisakti, semua pasukan harus siaga
satu![11]
Mengenai hal ini, Sumitro menilai sikap Wiranto sangatlah
janggal dan menduga keras tersembunyi maksud-maksud terselubung mengapa
ia “mengungsikan” para pimpinan pasukan ke luar Jakarta. Mengapa hanya
Sjafrie yang disisakan di Jakarta dengan jumlah pasukan sedikit? Apakah
ini sudah didesain? Bagi Sumitro hal inilah yang harus diusut
tuntas guna menyingkap misteri tebal di seputar kerusuhan 13-15 Mei
1998. [Sumitro menilai sungguh aneh rekomendasi yang dikemukakan Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) agar pemerintah mengusut pertemuan
berbagai tokoh tanggal 14 Mei 1998 di Makostrad].
Pertanyaan selanjutnya, kelompok manakah yang membuat rekayasa
sehingga dengan sengaja menyebabkan jatuhnya martir pada peristiwa
penembakan mahasiswa Trisakti, yang terbukti sangat berperanan dalam
memanaskan gerakan massa?
Pagi hari tanggal 14 Mei 1998, rombongan jenderal melenggang ke
Malang. Di saat yang sama kerusuhan sudah meletus di Jakarta! Dan, baru
pukul 12.30 rombongan tiba di Jakarta, saat situasi sudah sangat
terlambat, sudah banyak gedung yang dibakar massa, sebagian Jakarta
sudah hangus! Ketika Jakarta benar-benar porak-poranda, masyarakat
dibuat keheranan karena Ibu Kota seakan-akan lowong tanpa adanya
penjagaan pasukan sama-sekali, sehingga kerusuhan dengan cepat meluas.
Hasil rekayasa siapakah ini?
+++
“Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habibie atau Wiranto, pasti berdusta!” tegas Sumitro…
Presiden transisi B.J. Habibie di depan Forum Editor Asia-Jerman II
di Istana Merdeka, tanggal 15 Februari 1999 mengatakan, bahwa sehari
setelah Soeharto tumbang, Prabowo melakukan konsentrasi pasukan.
“Pasukan di bawah komando seseorang, yang namanya tidak usah
disembunyikan lagi, Jenderal Prabowo, sedang mengkonsentrasikan di
beberapa tempat termasuk di rumah saya,” ucap Habibie.
Anehnya, keterangan Habibie itu langsung dibantah oleh Pangab
Jenderal TNI Wiranto, dengan mengatakan bahwa keberadaan pasukan itu
sesuai dengan prosedur tetap: mengamankan presiden dan wapres di saat
genting. Padahal, dalam pernyataannya Habibie menyebutkan bahwa
informasi tersebut bersumber dari Wiranto. Mantan Pangdam Jaya Syafrie
Sjamsuddin, memastikan bahwa itu bukan pasukan Kostrad, melainkan
pasukan Kopassus. Dalam briefing Pangab di Markas Komando
Garnisun, 14 Mei 1998, Pangab memerintahkan kepada Pangkostrad Prabowo
untuk mengamankan instalasi-instalasi vital. Dankoman (Komandan Korps
Marinir) diperintahkan mengamankan konsulat dan kedubes, sedangkan
Danjen Kopassus disuruh mengamankan RI-1 dan RI-2. Semua tugas itu di
bawah kendali Pangkoops Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.[12]
“Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habibie atau
Wiranto, pasti berdusta!” tegas Sumitro, seraya menambahkan ia tidak
tahu apa maksud Habibie melontarkan isu semacam itu. Sumitro
menceritakan pula bahwa sewaktu Habibie terpilih untuk memangku jabatan
Wakil Presiden RI, Habibie secara khusus datang menemui Sumitro untuk
mohon doa restunya agar ia dapat menjalankan tugas yang dipercayakan
tersebut dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, Sumitro sangat kecewa
atas pernyataan-pernyataan Habibie yang selalu mendiskreditkan Prabowo.
Sumitro juga membantah isue bahwa Prabowo sempat memaksakan niat menjadi
Kepala Staf Angkatan Darat, bahkan Panglima ABRI.
“Itu cuma black propaganda yang dilancarkan oleh orang-orang
yang membenci Prabowo. Anda sekarang sudah bisa menduga-duga siapa-siapa
orang tersebut. Dan, terutama saya yakin dugaan Anda pasti tepat!”
tutur Sumitro.
SUMITRO: SOEHARTO LEMAH TERHADAP ANAK-ANAKNYA
*) Dimuat di Tabloid DETAK No. 09/I, 8-14 September 1998.
Perintahnya bukan hanya diculik, tapi mungkin lebih jauh lagi.
Ketika Letjen TNI Prabowo Subianto dipecat dari ABRI, banyak mata
menatap ke arah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo—ayah Prabowo yang juga
mantan Menteri Perdagangan dan Menristek pada pemerintahan Soeharto.
Menjelang turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, Sumitro sempat
melontarkan sejumlah kritik keras terhadap kepemimpinan presiden yang
juga besannya itu. Lalu apa yang dirasakannya ketika Prabowo dipecat?
Apa pula pandangannya tentang 32 tahun kekuasaan Soeharto? DeTAK beruntung berkesempatan mewawancarai guru besar ekonomi UI yang oleh sejumlah kalangan digelari sebagai “Ayatullah” ekonomi Indonesia itu. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di rumahnya hari Minggu (6/9/1998) sore lalu:
Menurut Anda, apa yang paling krusial dari keadaan sekarang ini?
Yang menamakan diri pemerintahan, agregate kenegaraan itu memerlukan legitimasi. Sekarang yang ada baru legalitas. Saya mengadakan pembedaan antara legality (keabsahan hukum) dan legitimacy (pengakuan mandat rakyat—Red.). Legality bisa saja dibikin dan sekarang ini memang dibikin. Tapi legitimacy atau mandat dari rakyat itu belum.
Indikasinya?
Sekarang itu masyarakat kita, dunia lembaga formal, DPR/MPR, semua
sedang resah terus. Begitu juga para politisi yang kurang puas, para
profesional, para akademisinya ribut terus. Semua menghendaki reformasi,
tapi apa reformasi yang dimaui, kurang jelas. Ini yang secepatnya harus
diatasi.
Dengan situasi seperti ini, bagaimana cara memenangkan kepercayaan rakyat dan dunia luar?
Salah satunya lewat pemilu. Tapi pemilu yang pelaksanaannya dengan
undang-undang pemilihan yang sudah direformasi, yang sudah dijanjikan.
Walau pasti tidak mungkin perfek, tapi itu kan legal formal sekaligus
legitimasi yang diperlukan.
Tapi bagaimana bila ternyata ABRI masih bersikeras mendukung hanya Golkar?
Mungkin ABRI tidak melihat alternatif lain selain Golkar.
Apa tidak mungkin sikap ini merupakan kelanjutan budaya politik selama tiga puluh tahun yang diwariskan Soeharto?
Memang budaya politik yang saya rasa tertanam selama 32 tahun,
merupakan hambatan dari demokrasi tulen. Tentang hak rakyat dan
kedaulatan rakyat, dalam benak, pikiran dan perasaan masyarakat sekarang
ini masih pada pengertian siapa yang punya legalitas itu dominan.
Pokoknya, seolah yang berkuasa selalu benar terus.
Kembali ke masalah Pak Harto. Dalam kaitan psiko-politik Pak Harto ditempatkan sebagai masih memainkan peran penting, menurut Anda?
Bahwasanya orang-orang masih melihat di belakang Habibie dan Wiranto
ada bayangan Soeharto, itu juga psikologis sifatnya. Tapi saya nggak
lihat itu. Saya rasa, saya kenal besan saya itu dengan baik, walaupun
nggak tahu seluruhnya, tapi saya pernah bekerja dekat dengan dia.
Pandangan Anda terhadap Pak Harto yang sekarang banyak menerima hujatan?
Saya rasa masalahnya lain dulu lain sekarang. Pada awal bekerja
dengan Pak Harto, waktu itu menurut saya dia baik dan hebat. Selama 10
tahun sebagai pembantu presiden, kita para teknokrat berhasil membangun,
dan gawatnya ekonomi bisa diatasi. Karena kita bisa percaya dan bisa
mengandalkan dia secara sepenuhnya. Masa itu dia benar-benar pegang
janji dan kata-katanya. Begitu banyak kritik di luar negeri, dan untuk
setiap kesalahan yang dilakukan oleh menteri-menterinya, Pak Harto
selalu bersikap, “Sudahlah saya tanggung jawab.” Hebatnya di situ.
Sekarang ini bagaimana?
Sesudah itu memang ada perubahan. Seingat saya, 10 tahun terakhir ini yang paling kentara buat saya.
Permasalahan intinya apa?
Dua hal, terlalu lemah terhadap anak-anaknya dan pengaruh yang sangat
merugikan masyarakat dan negara dari kelakuan anak-anaknya. Dan selain
itu Soeharto terlalu lama berkuasa, kombinasi dua itulah yang terbaca
oleh saya.
Di satu sisi betul bahwa anak-anaknya juga turut menciptakan
suasana yang tidak menguntungkan. Tapi apakah ada kemungkinan bahwa
sebetulnya the real Soeharto ya seperti itu. Seperti tuduhan rakus harta dan haus kekuasaan. Menurut Anda?
Haus kekuasaan mungkin. Tapi greedy material thing (rakus
harta benda), arahnya menurut saya, pribadinya loh, itu tidak. Jadi dia
ambil kekayaan supaya kekuasaan semakin kuat terkonsentrasi padanya.
Seperti kasus yayasan-yayasan, semua itu untuk kekuasaan. Dia jadikan
salah satu sumber dana menghimpun kekuatan untuk mempengaruhi orang
lain. He needs money to buy power, lebih mengarah ke sana. Tapi memang… pengaruh anak-anaknya besar sekali.
Perhatian pada anak yang berlebihan ini, sebagai mantan menteri dan besan, adakah penjelasan rasional yang Anda bisa sampaikan?
Mungkin begini… Saya pernah membicarakan masalah ini dengan orang tua
saya, ibu saya. Memang ada semacam beban kejiwaan masa lalu. Suatu
waktu dalam satu acara keluarga, waktu saya berusaha memperkenalkan
keluarga kami dan nanya perihal keluarga Pak Harto, tanpa saya duga dia
berbicara dengan sangat intens mengenai masa lalu dirinya.
Tepatnya kapan kejadian itu?
Oh, itu saat saya melamar Titiek (untuk jadi isteri Prabowo—Red.).
Yah, ini saya buka sekalian saja. Pak Harto bercerita bahwa sewaktu dia
masih dalam kandungan, ibunya sudah mengasingkan diri dari dunia
keduniaan. “Jadi sejak lahir saya sebenarnya enggak kenal ibu kandung saya. Jadi saya besar di desa. Saya jadi rebutan
saat saya umur 10 tahun, antara keluarga yang mengasuh saya dengan
bapak kandung saya. Kemudian saya dikompromikan ditaruh di Wonogiri, di
keluarga mantri, bapaknya Sudwikatmono. Makanya Sudwikatmono lebih dari
saudara kandung….” Begitu menurut ceritanya.
Makna dari peristiwa itu?
ltulah yang membuat dirinya berlebih terhadap anak-anaknya. Karena
tidak mau anak-anaknya bernasib seperti masa kecilnya yang gelap
keluarga dan kasih sayang orang tua aslinya. Makanya sekarang ia tebus
dengan memberikan segalanya pada anak-anaknya.
Artinya, dalam hal ini posisi anak di sini dengan posisi bangsa dan negara, menurut Anda, kira-kira kalau Pak Harto disuruh mengambil pilihan, dia akan memilih yang mana?
Nyatanya dia pilih anaknya. Kenapa? Saudara tadi bicara soal sindrom, saya rasa dia juga terbiasa merasakan ungkapan l‘Etat c’est moi, negara adalah saya. Itu ‘kan sindrom budaya keraton juga, tuh. Seperti Amangkurat VII, bukan Amangkurat I.
Anda sebagai besan pernah nggak menegur?
Mungkin saya satu-satunya. Dua kali tentang anaknya. Saya dengar
bahwa Benny Moerdani juga pernah singgung itu, tapi dimarahi. Saya
dengar dari Sudharmono.
Saya datang ke dia, nggak tahu persis kapan, mungkin kira-kira
6-7 tahun lalu, dua kali saya nanya di Cendana. Saya kan Ketua Umum
IKPN (Ikatan Koperasi Pegawai Negeri), saya sampaikan bahwa putra-putra
Bapak sudah menjadi isu politik. Saya sengaja nggak mengritik, hanya menyampaikan fakta saja. Dia diam, tidak ada perubahan. Saya nggak tahu apa dia marah atau dia terima. Waktu saya pamit, di pintu dia bilang, “Iya Pak Mitro, saya menyadari anak-anak saya terkena isu politik.” Nah, saya kan lega.
Mengapa hasilnya tetap sama, tak ada perubahan berarti?
Wah, itu yang saya sulit mengerti…
Bagaimana Anda memposisikan Pak Harto sebagai seorang besan?
Ini hubungan yang sifatnya pribadi, jadi saya akan bicara secara umum
saja. Saya kira tidak usahlah menilai hubungan pribadi dalam konteks
pembicaraan ini.
Saya tidak pernah membantah bahwa saya mempunyai utang budi politik
kepada Soeharto, sebab dialah yang memungkinkan saya kembali ke tanah
air dari pengasingan. Dia sengaja mengirim Ali Moertopo untuk menemui
saya dan meminta saya pulang. Akan tetapi utang budi saya yang paling
utama dan lebih luas lagi ialah kepada rakyat dan masyarakat bangsa
saya. Di kala kepentingan rakyat dilanggar, dan ini terjadi beberapa
kali dalam pengalaman saya, waktu itu juga saya harus berpihak pada
kepentingan rakyat banyak.
Kalau Anda sendiri terhadap anak-anak Anda bagaimana?
Waktu Hashim (adik Prabowo) selesai sekolah, saya masih dalam
kabinet. Ketika dia mengatakan mau bisnis di Indonesia, saya jawab,
“Selama saya masih jadi menteri, Please… Not in Indonesia!” Makanya dia kerja di luar waktu itu.
November 1977, saya datang kepada Pak Harto, lalu saya katakan,
“Nanti tahun 1978 saudara akan mempertimbangkan susunan kabinet, saya
jangan dimasukkan lagi, saya sudah mendekati 60 tahun…. Hashim itu mau
berkarir di bidang bisnis, selama saya masih dalam pemerintahan nggak saya perkenankan….”
Jawaban Pak Harto?
You know what he said, yang mengejutkan dia bilang soal Hashim… “Kalau begitu Pak Mitro enggak adil terhadap anak-anak.” Nah, coba itu kan pandangan
yang sangat berbeda. Sementara saya selalu anjurkan kepada anak-anak
saya untuk tidak bergantung pada bantuan dan kemampuan orang tua.
Maklum etos itu telah saya tanamkan sejak saya jadi buron politik di
zaman pemerintahan Bung Karno. Hidup di luar negeri itu harus mandiri.
Kalau soal anak, Pak Harto memang sangat lemah dan di situlah
kelemahannya yang mendasar.
Sebagai ayah, Anda sendiri bagaimana menghadapi kasus Prabowo ini?
Begini, saya mulai dengan dua hal dulu. Saya mengingatkan apa yang
pernah saya bilang selalu sebagai prinsip dasar yang tak dapat
ditawar-tawar lagi oleh setiap anggota keluarga: unequivocally, human
dignity, dan social justice merupakan hal yang harus selalu dijunjung
tinggi. Tanpa itu, mau jadi apa kita?!
Saya nggak bisa membayangkan menghadapi situasi sekarang. Itu
pertama. Kedua, dengan situasi sekarang saya sekeluarga mendukung
segenap langkah yang bertujuan menegakkan keadilan masyarakat, termasuk
dalam kasus Prabowo.
Mengadili perwira dalam tata cara yang tidak fair dan tidak kesatria
itu yang tidak saya setuju. Dalam kaitan human dignity dan human right,
jangan atasan harus selalu benar…. Saya masih ingat tahun pertama dia
di Akabri, taruna di situ diajar untuk “kejam” sekali. Taruna kedua,
ketiga, itu boleh apa saja terhadap juniornya. Di West Point nggak boleh
begitu. Jadi darnpak dari budaya pendidikan seperti itu, saya rasa
sekarang it is danger, apalagi seperti menghadapi Raja Jawa ini
(Soeharto—Red.), jenderal-jenderal nggak berani.
Kembali pada kasus Prabowo, bagaimana dia sebagai militer dalam pandangan Anda?
Dalam beberapa hal Bowo mungkin kompromi. Seperti saya kasih kasus di Timor Timur itu, nggak mungkin sama komando membangkang atasannya. Tapi ada kasus dia ternyata membangkang. Karena tidak mau nurut perintah
disuruh membunuh tawanan perang yang tak bersenjata. Saya mendukung
langkah-langkah dia yang seperti itu, walau terkena sanksi tak apalah.
Termasuk yang sekarang?
Kasus Bowo khusus kali ini kok seakan-akan asas keadilan ini
jadi kabur. Karena, pertama, Prabowo pada khususnya dan Kopassus pada
umumnya, seolah yang paling bersalah dan satu-satunya yang
dipersalahkan. Bahwa ada berbagai instansi dan kesatuan yang terlibat,
mengapa harus ditutup-tutupi? Toh semua yang terjadi merupakan satu
paket program, untuk menegakkan kekuasaan, status quo.
Jadi, dalam kasus Prabowo, Anda bukan tidak setuju untuk diusut tuntas?
Caranya itu, loh. Dan, ini kan juga diakui oleh bekas-bekas
korban penculikan. Mereka tidak ingin hanya Kopassus. Dengan dibawa ke
Kramat (wilayah komando Kodam V Jaya—Red.), jelas
yang terlibat bukan hanya Kopassus. Tapi mengapa semua seolah-olah
terpusat ke Bowo, semua kecaman ditujukan ke dia?! Apakah seorang
Prabowo begitu berkuasa hingga bisa perintah sana-sini ke berbagai
daerah dan institusi? Padahal, menurut seorang mantan Kasad, seperti
ditulis DeTAK, kalau dalam ABRI ada oknum yang salah itu dua
tingkat di atas kena, turut bertanggung jawab. Sebagai Danjen Kopassus
kan dia punya dua atasan, KSAD dan Pangab waktu itu, mereka nggak
mungkin nggak tahu, seharusnya mereka tahu!
Tapi ada juga kebiasaan yang mengatakan bahwa bisa saja mereka nggak tahu karena…
Maksud Saudara adanya Pangti? Yak, seperti yang dibenarkan oleh
Hasnan Habib, Pangti itu (Soeharto—Red.) punya
kebiasaan untuk langsung kasih perintah ke bawahan tanpa menghiraukan
tingkat-tingkat hierarki. Saya itu sebagai menteri kadang-kadang di-by pass (dipotong). Nah, itu kebiasaan Raja Jawa. Tapi bagi dia that’s right. Jadi
tidak pernah ada keberanian mengungkap secara kesatria tentang KSAD,
Pangab, dan Pangti. Kalau yang tiga ini dipertanyakan baru ada
pengertian justice, keadilan, that’s about it.
Hal lain yang Anda anggap sebagai penyimpangan keadilan?
Intinya seperti tadi itu, tapi cara pemberitaan dari sementara
kalangan media dari dalam maupun luar negeri juga patut disesalkan,
karena banyak berita cenderung mengandung hukuman. Seolah tidak ada
asas praduga tak bersalah yang dipegang. Sudah cenderung menghakimi.
Beberapa di antaranya tidak segan-segan membikin profil-profil personality yang sudah menodai tabiat pribadinya.
Seperti apa misalnya?
Salah satu media menulis, Prabowo kemarin pergi umroh dan sekarang
dia entah di mana… Padahal jelas dia ada di sini. Untung Gus Dur turut
membantah isu tersebut. Kemarin, tanggal 1 September, kita merayakan
ulang tahun istri saya. Bowo ada di sini dengan Titiek dan anaknya. Jadi
apa maksud melancarkan pemberitaan yang menyudutkan itu? Ini kan sudah
merusak citra pribadi dan nilai personality dia (Prabowo).
Mengapa tidak secara resmi dilakukan bantahan?
Saya enggak mau seakan-akan karena dia itu anak saya maka saya bela-bela, kita hanya ingin melihat ada justice, keadilan. Harapan
saya hanyalah adanya perlakuan dan tanggapan terhadap Prabowo secara
adil dan lancar. Tapi mengapa asas keadilan seakan-akan jadi kabur?
Tentu saya enggak mau bilang bahwa dia itu seluruhnya benar, tapi semua salah pun saya tidak berani katakan.
Tapi kenapa dari keluarga Bapak seringkali tidak menggunakan hak jawab?
Karena, pertama, dalam proses ini kan Bowo terus-menerus diproses
dalam DKP, kita tidak mau tambah mempersulit kedudukannya. Jangan sampai
ada distorsi atas tragedi yang ada.
Dengan dipecatnya Bowo, bagaimana perasaan sebagai seorang ayah?
Sedih tentunya. Karena saya tahu Bowo… Dia itu kan hanya menjalankan
perintah. Sebagai militer, sulit saya untuk sepenuhnya menyalahkan dia.
Kalau dia seorang sipil, jelas dia telah melanggar hak asasi manusia.
Tapi kalau memang mau mengusut sesuatu, hendaknya bersifat menyeluruh.
Maksud Anda?
Cari siapa dalang sesungguhnya di balik berbagai peristiwa. Mengapa
tidak usut tuntas kasus Tanjung Priok, Kasus Lampung, dan lainnya?
Kalau bicara keadilan, artinya posisi Pangti pun harus dipertanyakan?
Iya, dong. Asal-usulnya dari sana kok. Mengapa tidak
usut tuntas kasus Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya? Siapa yang paling
bertanggung jawab? Saya katakan ini bukan dengan dasar dendam atau
sentimen. Saya bukan pendendam. Dulu saya jadi buronnya Bung Karno, tapi
hubungan saya dengan Bu Fatmawati sangat baik. Jadi semata-mata hal ini
saya lakukan karena menegakkan keadilan sudah menjadi kebutuhan dan
tuntutan masyarakat luas.
Bicara soal keadilan, dalam hal DKP yang harus menggunakan
norma-norma militer dalam menegakkan kehormatan perwira, kesan Anda
bagaimana?
Saya sendiri kurang tahu persis apa yang terjadi. Bowo juga enggak mau
banyak omong selama proses ini. Tapi kadang-kadang kan ada kebocoran
juga. Bukan dari Bowo saja, tapi ada lah yang lapor. Saya ‘kan dulu mengajar di mana-mana, di Seskoad, Seskogab, Lemhanas, dan masih banyak lagi.
Kenyataannya, proses belum selesai tapi hukuman sudah dijatuhkan, bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Dari sudut legalitas kan segalanya sudah diserahkan pada Pangab. Apa
ada kemungkinan proses pengusutan berkembang sampai ke tingkat yang
lebih tinggi, jawabannya ya dan tidak. Saya merasa kemungkinan ada juga
keseganan untuk meneruskan. Kalau toh dianggap secara legalitas final, secara morality sebenarnya belum final.
Khusus dalam kasus putra Anda, Prabowo?
Yah, kalau saudara mau bersikap kritis, coba bertanya; mengapa
9 (sembilan) aktivis yang diculik selamat semuanya, tapi yang 14 (empat
belas) lainnya masih hilang sampai hari ini, apa ya mereka masih hidup?
Maksud Anda?
Karena yang sembilan orang itu, memang sepengetahuan Bowo dan dibebaskan dengan selamat atas kehendak Bowo pribadi.
Maksud kata “pribadi” dalam kaitan ini?
Karena perintahnya tidak begitu.
Bagaimana perintah itu sebenarnya?
Perintahnya bukan hanya diculik, tapi mungkin lebih jauh lagi.
Dihabiskan maksudnya?
(Menjawab hanya dengan anggukkan kepala sambil menyimpan suatu perasaan yang terkesan sangat dalam).
Setahu Anda siapa yang memerintahkan Prabowo melakukan hal itu?
Siapa lagi kalau bukan seseorang yang sangat berkuasa?
*) Dimuat di Tabloid DETAK No. 09/I, 8-14 September 1998.
*) Dicuplik dari buku Aristides Katoppo, dkk., Sumitro
Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Jakarta: Sinar
Harapan, 2000), Bab 46, dengan judul asli “Soal Prabowo”.
[1] Wawancara Sumitro Djojohadikusumo dengan wartawan The Business Times, Singapura, edisi 15-16 Februari 1997.
[2]
Simak misalnya komentar pengamat politik dan militer Indonesia Dr.
Harold Crouch. Ia menyebut langkah Wiranto itu sebagai suatu tindakan
yang luar biasa. Lihat, Merdeka, 16 Juli 1998. Pujian terlalu dini dilontarkan pula oleh Prof. Daniel S. Lev, lihat dalam Merdeka, 21 Juni 1998.
[3]
Prabowo berkesaksian bahwa ia tidak mengetahui hal-ihwal penculik 12
orang lainnya yang hingga sekarang masih belum kembali. Dengan demikian,
berarti ada pihak-pihak lain di luar Prabowo yang juga turut “bermain”
dan hingga sekarang belum terungkap
[4] Dalam jajak pendapat yang diadakan oleh majalah Gatra bersama
Laboratorium Ilmu Politik, FISIP UI, di tiga kota Jakarta, Dili, dan
Banda Aceh pada bulan September 1998 terungkap bahwa hampir semua
respoden yakni 97,6 persen menginginkan kasus tersebut dilanjutkan ke
mahkamah militer. Lihat Gatra, 10 Oktober 1998.
[5]
Tujuh anggota Tim Mawar akhirnya dijatuhi hukuman, mereka dipersalahkan
karena “mengambil inisiatif sendiri” untuk mengadakan serangkaian
tindak penculikan terhadap para aktivis mahasiswa. Demikian dakwaan yang
dibacakan oleh Oditur Militer. Tentu saja keterangan ini sungguh aneh
dan sama sekali tak boleh dipercaya, mana mungkin dalam tradisi militer
seorang berpangkat mayor dapat memimpin suatu operasi tanpa diketahui
oleh atasannya? Seorang perwira tinggi ABRI ketika dikonfirmasikan ihwal
ini, cuma berkomentar singkat, “Hukukam tersebut harus diterima. Itu
memang risiko menjadi tentara!”
[6]
Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Oditur Militer Kolonel H. Harom
Widjaja, ide penculikan datang dari Mayor Bambang Kristiono, 38 tahun.
Komandan Pleton 42 Kopassus itu menilai aksi-aksi unjuk rasa yang
dilakukan para aktivis radikal sudah mengganggu stabilitas nasional. Mei
1997, Bambang membentuk satuan tugas Tim Mawar. Tim ini, lanjut dakwaan
Oditur Militer, beroperasi sangat rahasia dan tertutup, menggunakan
metode hitam dengan pos komando yang berdiri sendiri. Bambang lalu
memerintahkan anak buahnya untuk “mengamankan” para aktivis yang
dicurigai. Penculikan pertama dilakukan terhadap Desmond pada 3 Februari
1998. Lihat, Majalah D&R No. 20/XXX/28 Desember 1998.
[7]
Para petinggi ABRI, termasuk Jenderal Wiranto, membantah adanya
pertikaian elit politik di tubuh tentara, termasuk mengenai
pengelompokan-pengelompokan yang membagi tentara, “ABRI Merah Putih” dan
“ABRI Hijau”. Namun, isu mengenai adanya persaingan antara kedua
kelompok ini bertium semakin santernya di luaran, dan isu itu banyak
bersumber dari kalangan dalam ABRI sendiri.
[8] Warta Berita Antara, 26 Nopember 1998.
[9] Berita Buana, edisi 24 Februari 1999
[10] Forum Keadilan, No.17. 30 November 1998.
[11] Forum Keadilan, No.17. 30 November 1998.
[12] Simak pula surat terbuka Letjen (Purn) Prabowo Subianto mengenai kejadian antara 12-22 Mei 1998 di Ibu Kota.
0 Komentar