INDONESIA memiliki luas 5,8 juta km2
dengan panjang garis pantai 95.181 km. Jika dipetakan di belahan bumi
lain, luas wilayah nusantara setara jarak antara Irak hingga Inggris
(Timur-Barat) atau Jerman hingga Aljazair (Utara-Selatan). Adapun 2/3
wilayah Indonesia adalah laut. Letaknya yang seksi, ditopang potensi
sumber daya alam yang berlimpah, membuat negara lain tergoda untuk bisa
memanfaatkan kekayaan alam yang besar ini.
Ironisnya, sebagai tuan rumah Indonesia
tidak bisa memanfaatkan kekayaan laut untuk kesejahteraan rakyat. Tidak
hanya itu, Indonesia juga tidak bisa menjaga wilayahnya, sehingga mudah
disusupi negara lain. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan strategi Maritime Policy,
kebijakan yang mengatur ekonomi berbasis kelautan, pelayaran dan
pertahanan. Namun, pemimpin bangsa ini seakan tidak peduli dengan
kebijakan tersebut. Tak heran, jika di kancah pembangunan laut Indonesia
tertinggal dari negara luar.
Kondisi ini membuat Sri Sultan Hamangkubuwono X prihatin. Kepada Indonesian Maritime Megazine, Sultan menjelaskan betapa pentingnya Maritime Policy bagi pembangunan negara, khususnya di sektor kelautan. Tokoh nasional ini mencontohkan keberhasilan Singapura dalam menerapkan Maritime Policy.
Meskipun luas negaranya hanya 16 mil, mereka bisa menguasai pelayaran
Indonesia bahkan dunia. Sebaliknya, sebagai negara kepulauan terbesar,
Indonesia justru tergantung terhadap negara tetangga kecil itu.
“Selama ini kita banyak menggunakan
kapal-kapal Singapura untuk transportasi dan mendistribusikan barang ke
provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan
Singapura dengan memperkuat kapal-kapal niaganya. Tidak hanya itu,
mereka juga membangun hub port terbesar dan tercanggih di dunia,” kata
Sultan.
Karena itu, Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) ini mengharapkan pemerintah mengubah
kebijakan-kebijakannya. “Malaysia sebagai negara kontinental strategi
yang digunakannya maritim. Tak heran jika Indonesia selalu dibohongi
Malaysia. Pulau-pulau kita dicaplok terus. Ini terjadi karena orientasi
kita kontinental. Bukan laut yang mempersatukan pulau-pulau,” tegas
pemilik nama lengkap Bendara Raden Mas Herjuno Darpito ini.
Kapan Indonesia bisa dibilang sebagai
negara bervisi maritim? Sultan menjawab, tidak perlu mendeklarasikan,
yang paling penting bagaimana langkah-langkah kebijakan Maritime Policy diselesaikan. “Kalau belum bisa menyelesaikan, presiden harus memutuskan coast guard.
Siapa yang menjadi ujung tombak untuk keamanan negara. Karena apa? Saya
melihat Kementerian Kelautan dan Perikanan mengejar kapal. Pengawas
kementerian kan tidak boleh memakai senjata. Yang boleh adalah AL
(angkatan laut). Aturannya begitu,” jelas Raja Jawa ini.
Sementara itu, Connie Rahakundini Bakrie, analis bidang pertahanan mengatakan, bicara mengenai Maritime Policy tidak lepas dari konsistensi keamanan nasional. Ada tiga unsur penting di sektor ini, yaitu political freedom, stabilitas politik, dan kapastian hukum atau kebijakan.
“Political freedom sudah ada,
stabilitas politik juga ada, tapi yang tidak ada adalah kapastian hukum
atau kebijakan. Hari ini kebijakan presiden yang satu A, besok presiden
yang baru bilang B, kondisi tersebut tidak boleh terjadi. Karena yang
diperlukan negara dalam membangun keamanan laut adalah kebijakan jangka
panjang. Karena itu, dalam menjalankan Maritime Policy diperlukan kepastian hukum dan kebijakan yang didukung DPR. Itu landasannya,” jelas Connie.
Wakil Direktur Indonesia Maritime Institute (IMI),
Zulficar Mochtar pun meminta semua kementerian terkait bidang kelautan
membenahi dan berkoordinasi lebih aktif dalam memformulasikan
kebijakannya, sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat. Termasuk dalam
upaya memperkuat konsolidasi pengawasan laut dalam kerangka Coast Guard.
Dewan Kelautan Indonesia, lanjut Zulficar, harus dibangunkan dari tidur panjangnya agar serius mendorong Kebijakan Kelautan (Maritime Policy).
Fondasi kebijakan sangatlah penting bagi pembangunan nasional. “Mereka
harus mendorong dan memfasilitasi terbentuknya strategi pembangunan yang
strategis agar Indonesia dapat menjadi negara maritim yang mandiri dan
berdaulat,” tandasnya.
Dari sisi ekonomi, Juan Permata Adoe,
Wakil Ketua Divisi Maritim dari Kamar Dagang Indonesia dan Industri
(Kadin), di berbagai kesempatan mengemukakan, dalam menerapkan Maritime Policy
pemerintah tidak hanya harus fokus pada kebijakan laut, mereka juga
harus mendorong investor asing terlibat dalam usaha maritim di dalam
negeri.
“Kapal asing seharusnya tidak hanya
diizinkan untuk ikan di perairan Indonesia. Investor juga harus didorong
terlibat di sektor lain, seperti industri perkapalan dan lainnya. Saat
ini sudah terlalu banyak lembaga pemerintah yang bertugas melindungi
domain maritim. Hal ini yang mengakibatkan tumpang tindih kewenangan,”
kata Juan.
Pengamat Kelautan Profesor Sahala Hutabarat mengatakan, sebagai negara kepulauan, Maritime Policy
sangat penting bagi Indonesia. Tetapi pangkal sebenarnya adalah
Undang-Undang Kelautan. “Amandemen UUD 1945, pasal 25 A, kalau tidak
salah di situ dikatakan negara Indonesia adalah negara kepulauan. Jadi Maritime Policy
sudah sesuai dengan amanat UUD. Pada pasal 33 ayat 1,2,3 juga sudah
disinggung-singgung terus, tetapi tidak dijalankan sebagaimana
mestinya,” ungkap Sahala.
Menurut Sahala, konsep Indonesia
sebagai negara kepulauan sudah diakui dengan adanya UNCLOS. Jika sudah
menjadi negara kepulauan, mau tidak mau Indonesia harus berani bicara
maritim. “Yang kita tunggu adalah UU Kelautan yang hingga kini masih
menjadi draf. UU tersebut sudah lima tahun kita tunggu. Karena itu,
pembahasan UU Kelautan harus dipacu agar segera disahkan DPR. Dengan UU
ini kita akan menuju Maritime Policy. Selanjutnya, akan ada Perpres, Kepres, dan Permen. Jadi UU itu harus segera direalisasikan,” terangnya.
Sahala menjelaskan, bicara Ocean dan Maritime Policy ada yang membedakan. Menurutnya, Ocean Policy secara otomatis bicara laut. Sementara Maritime Policy cakupannya jauh lebih luas.
Soal keseriusan pemerintah sendiri,
Sahala mengakui pemerintah belum serius. Action-nya belum kelihatan.
“Misal, bicara soal batas laut dengan negara tetangga, belum selesai
semua, dengan Singapura masih belum jelas, pun dengan 12 negara tetangga
lain,” ujarnya.
Dia khawatirkan kejadian Sipadan dan
Ligitan kembali terjadi. Di ambalat contohnya, ada sekitar 12 pulau
terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pemerintah harus
serius menjaga pulau-pulau tersebut sebagai security belt, sabuk pengaman daerah terluar. “Penjagaan bisa dilakukan baik dari dalam maupun dari luar, melalui Maritime Policy.
Menanggapi Maritime Policy,
meskipun bukan kementerian yang secara langsung menangani kebijakan
sektor kelautan nasional, langkah nyata dilakukan Kementerian Luar
Negeri dengan memprakarsai kerjasama kelautan di wilayah ASEAN. Direktur
Jenderal Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI, Djauhari
Oratmangun mengatakan, dalam gagasan kerjasama ASEAN, pihaknya selalu
berkoordinasi dengan kementerian lain. Salah satunya adalah dalam
membentuk ASEAN Maritime Forum.
“Dalam konteks ini, kita harus jadi
leader. Untuk menjadi leader kita harus punya backup nasional yang kuat,
serta punya kebijakan nasional yang memadai. Itulah yang ingin kita
jual. Karena konsep berpikir maritim dalam konteks ini sudah diterima,”
ujarnya.
Apalagi, kata Djauhari, ASEAN terdiri
dari negara-negara yang memiliki pantai (Kecuali Laos), sehingga
memiliki potensi sengketa laut yang cukup besar. “Maka itu yang kita ke
depankan adalah kerjasama. Bagaimana membangun wilayah ASEAN yang
tenteram, damai dan maju. Jika ada gesekan jangan sampai terjadi konflik
terbuka. Kita sebagai negara kepulauan semestinya bisa leading dan kita
mulai dengan membentuk ASEAN Maritime Forum”, terangnya.
Sumber : http://indomaritimeinstitute.org/2011/08/maritime-policy-pondasi-indonesia-menuju-negara-maritim/
0 Komentar