Fenomena melejitnya popularitas dan elektabilitas Joko Widodo (Jokowi),
ke puncak teratas mayoritas hasil survey, poling, jajak pendapat dan
liputan media massa yang luar biasa terhadapnya menimbulkan pertanyaan
besar sebagian orang yang melihat banyak keganjilan (anomali) di sekitar
Jokowi.
Liputan media bagai tak pernah henti menyiarkan segala
aktifitas Jokowi. Berbagai event (kegiatan) terlihat begitu nyata
diskenariokan untuk kepentingan peliputan Jokowi dan mendorong
popularitasnya hingga ke titik tertinggi. Tidak cukup sampai di situ,
'pasukan khusus' di dunia maya (blog, socmed, artikel - artikel di media
online, dan seterusnya) seolah - olah beroperasi 24 jam untuk
mengkampanyekan sosok Jokowi. Tugas tambahan 'cyber army' ini adalah membantai/menyerang siapa saja yang memberikan penilaian miring atau mengkritik Jokowi.
Secara umum, popularitas dan eletabilitas Jokowi adalah
rangkaian kegiatan Jokowi yang didukung oleh peliputan media yang
masif, intensif dan sistematis. Diperkuat dengan komentar - komentar
dari akademisi /pengamat kelompok tertentu yang merupakan bagian dari
tim sukses Jokowi. Dalam setiap kegiatan Jokowi tidak lupa dikerahkan
tim khusus yang 'memeriahkan dan memberi kontribusi positip' terhadap
kegiatan tersebut.
Sebagai gubernur, Jokowi lebih banyak
diarahkan untuk membuat program - program yang bersifat populis dengan
menyelenggarakan acara - acara pesta, perlombaan, mengundang selebritis
kelas dunia, kunjungan - kunjungan langsung ke masyarakat kelas bawah
(blusukan), pemberian sumbangan dalam bentuk uang dan lainnya kepada
warga miskin, dan seterusnya.
Semua kegiatan Jokowi tersebut,
yang sebagian besar menggunakan uang negara (APBD DKI), lebih banyak
ditujukan untuk kepentingan pribadi Jokowi dari pada kepentingan negara,
rakyat atau pemerintah DKI Jakarta. Acara seperti Festival Keraton
Sedunia, perayaan ulang tahun Kota Jakarta, perayaan tahun baru, dan
berbagai festival atau pesta rakyat yang menggunakan anggaran APBD DKI
Jakarta tetapi tujuan utamanya adalah
memberikan ruang dan kesempatan bagi Jokowi dan timsesnya untuk
melambungkan nama Jokowi melalui liputan - liputan semua jenis media
yang sudah dipersiapkan timses Jokowi.
Penciptaan atau rekayasa popularitas Jokowi ini dilakukan oleh sebuah
tim konsultan politik yang luar biasa, berbiaya sangat mahal dan bekerja
untuk waktu yang cukup lama, terhitung sejak awal persiapan Pilkada DKI
Jakarta awal tahun 2012 sampai masa pemilihan presiden Juli 2014.
Pola
atau bentuk kampanye terselubung yang dilakukan timses Jokowi ini
merupakan karya Stanley Greenberg, Konsultan politik paling terkemuka di
dunia yang telah berhasil memenangkan 11 kepala pemerintahan (presiden /
perdana menteri), ratusan anggota kongres, senator dan gubernur di
Amerika Serikat, serta konsultan pencitraan dan politik untuk berbagai
perusahaan multinasional raksasa (British Petroleum, Mosanto dan lain -
lain).
Keterlibatan Stanley 'Stan' Greenberg dalam tim sukses dan
tim politik Jokowi tidak dapat dipisahkan dari sosok James Riady,
konglomerat pemilik Lippo Grup dan First Media Grup. James Riady dan
Stan Greenberg merupakan dua tokoh yang sama - sama sahabat baik mantan
presiden AS, Bill Clinton. James Riady dan Stan Greenberg adalah
dua tokoh yang sangat berjasa mengantarkan Bill Clinton terpilih
sebagai Presiden AS pada pemilihan presiden 1992 dan 1996. Keduanya juga
tercatat sebagai anggota organisasi elit, Arkansas Connection.
Arkansas Connection adalah
sebuah organisasi non formal yang merujuk pada sebuah kelompok
terbatas, umumnya terkait pada daerah asal dan masa lalu Bill Clinton
sebagai Jaksa Agung dan Gubernur Arkansas. Kelompok elit yang dijuluki
sebagai Arkansas Connection ini adalah
kelompok orang yang sangat berkuasa di Partai Demokrat AS dan memiliki
akses luar biasa terhadap pemerintahan AS sekarang ini di mana Barrack
Obama menjadi Presiden AS. Arkansas Connection merupakan mentor atau
pembimbing Obama sejak awal masa pemilihan presiden tahun 2008 sampai
terpilihnya kembali Obama pada pilpres 2012. Arkansas Connection
diketahui banyak memberikan saran dan nasihat dalam setiap keputusan dan
kebijakan Obama sebagai presiden AS.
Hubungan James Riady dan Obama selain ditautkan oleh Arkansas Connetion
dan Clinton, juga hubungan historis Obama dengan Indonesia. Ayah tiri
dan saudara - saudara tiri Obama adalah warga negara Indonesia. Obama sendiri masa kecil pernah di Indonesia, bahkan pernah bersekolah di SD Menteng, Jakarta Pusat.
James
Riady sebagai otak di balik kemenangan Jokowi Widodo atau kerap
dipanggil Jokowi ditenggarai memiliki kepentingan tertentu terhadap
Jokowi yang ia dorong agar terpilih menjadi Presiden RI dalam pemilihan 9
Juli 2014 mendatang.
Sebagai konglomerat Indonesia, pemilik Grup
Lippo dan Grup First Media, upaya James Riady menjadikan Jokowi sebagai
Presiden RI bukan hal yang mustahil, bahkan bukan hal yang sulit.
Kiprahnya dalam tim sukses Bill Clinton pada pemilihan Presiden AS tahun
1992 dan 1995 serta hubungan khususnya dengan para elite AS menjadi
modal besar sangat berguna bagi rencana besarnya menjadikan Jokowi
sebagai Presiden RI.
Rencana besar (grand scenario) James Riady
menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI mendapatkan bantuan sepenuhnya
dari mentornya, Antony Salim. Meski tidak secara langsung atau terbuka,
Antony Salim membantu James Riady melalui tangan Chairul Tanjung, proxy
(kuasa bisnis) Antony di Bank Mega dan Trans Corporation. Melalui
bantuan Antony Salim, ratusan organisasi relawan Jokowi di seluruh
Indonesia dibentuk dan dibiayai Chairul Tanjung dan/atau Trans Corp.
Antony Salim adalah
putra Liem Sioe Liong atau Sudono Salim (almarhum), taipan terkaya di
Indonesia yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Soeharto pada masa
Orde Baru. Tidak dapat dimungkiri, keberhasilan Grup Salim menjadi
konglomerasi terbesar di Indonesia karena kedekatannya dengan Presiden
Soeharto, yang memberikan begitu banyak kemudahan dan konsesi terhadap
Sudono Salim/Grup Salim.
Hubungan Presiden Soeharto dan Sudono
Salim merenggang ketika Sudono Salim sebagai pemimpin para konglomerat
Indonesia yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulia menolak permintaan
Soeharto untuk memberikan sumbangan sekitar 2,5% dari laba bersih
perusahaan milik para konglomerat yang rencananya akan digunakan sebagai
sumber pembiayaan dan pembinaan usaha mikro, usaha kecil, koperasi, dan
usaha menengah kaum pribumi Indonesia yang masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan kaum nonpribumi yang mendominasi sektor ekonomi
Indonesia selama puluhan tahun.
Antony Salim adalah mentor atau pembimbing James Riady. Dalam tradisi Cina, Antony Salim adalah
"toako" bagi James Riady, sebagaimana ayahnya, Muchtar Riady, mantan
Direktur Utama Bank BCA (milik Grup Salim), yang juga direkrut dan
dibina Sudono Salim (ayah Antony Salim).
Antony Salim dan James
Riady disinyalir sebagai inisiator yang mengumpulkan seluruh konglomerat
Cina Indonesia untuk bersatu-padu menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI
mendatang, dengan mengumpulkan dana bagi pemenangan Jokowi, menyiapkan
jaringan media, memanfaatkan jaringan Cina internasional, meminta
Stanley Greenberg menyusun strategi pencitraan untuk melambungkan
popularitas dan elektabilitas Jokowi, dan lain - lain.
Pertemanan
akrab James Riady, konglomerat Indonesia, putra Muchtar Riady (mantan
Direktur Utama Bank BCA dan pendiri Grup Lippo) dengan William Jefferson
Clinton alias Bill Clinton dimulai dari kunjungan Sudono Salim (ayah
Antory Salim) dan Muchtar Riady ke Little Rock City, ibu kota negara
bagian Arkansas, Amerika Serikat, pada tahun 1984.
Kunjungan
kedua taipan Indonesia ke Little Rock City pada tahun 1984 itu
disebut-sebut bertujuan mencari sebuah bank yang dapat dibeli sebagai
wujud rencana perluasan bisnis Grup Salim/Bank BCA di AS. Menurut
laporan penyelidikan gabungan Kongres dan Senat AS, alasan yang
dikemukakan kedua taipan Indonesia itu sangat absurd dan tidak dapat
diterima logika, karena Little Rock City bukan merupakan salah satu kota
keuangan atau kota bisnis di AS.
Laporan penyelidikan Kongres
dan Senat AS terkait skandal sumbangan haram Grup Lippo untuk tim sukses
Presiden Bill Clinton (Lippogate) lebih lanjut menjelaskan alasan
sebenarnya dari kedatangan Liem Sioe Liong dan Muchtar Riady ke Little
Rock City adalah
untuk menjalankan misi khusus, yakni mendekati Bill Clinton yang saat
itu sudah disebut-sebut sebagai calon pemimpin masa depan atau calon
Presiden AS di masa mendatang.
Sebagaimana James Riady, Muchtar Riady disebut terkait erat dengan badan
intelijen Cina, sesuai berbagai hasil penyelidikan pihak berwewenang AS
yang membongkar sumbangan haram dari Grup Lippo kepada tim sukses Bill
Clinton.
Pada tahun 1986, James Riady ditugaskan ayahnya untuk
mengelola Worthen Bank di Little Rock City, Arkansas, dengan tugas
khusus melakukan pendekatan pribadi kepada Keluarga Clinton.
Bill Clinton adalah
Presiden Ke-42 Amerika Serikat. Ia menjabat dua kali masa jabatan
periode 20 Januari 1993 hingga 20 Januari 2000. Sebelum terpilih menjadi
presiden, Clinton selama sekitar 12 tahun adalah Gubernur Arkansas, yang ke-40 dan ke-42. Istrinya, Hillary Rodham Clinton, adalah senator dari daerah pemilihan New York.
Pada
1976, Clinton terpilih sebagai Jaksa Agung Arkansas dan menjadi
gubernur pada negara bagian tersebut pada 1978. Setelah gagal dalam
usahanya mempertahankan posisi tersebut, ia berhasil mendapatkannya
kembali empat tahun kemudian, 1986, dan terpilih kembali menjadi
Gubernur Arkansas sampai tahun 1990. Ia kemudian berhasil mengalahkan
Presiden George Bush serta kandidat independen, Ross Perot, pada
pemilihan presiden 1992.
Selama 1986-1990 James Riady menjalin hubungan erat dengan Bill dan
Hillary Clinton sehingga berhasil menyusup ke jantung kekuasaan Amerika
Serikat di Gedung Putih ketika Clinton terpilih menjadi Presiden AS pada
tahun 1992 dan terpilih kembali menjadi presiden pada tahun 1996. James
Riady terkenal namanya ke seluruh dunia ketika skandal politik
sumbangan uang haram ke tim sukses Bill Clinton terbongkar, hanya
beberapa saat setelah Bill Clinton dilantik sebagai Presiden AS untuk
kedua kalinya (1996). Skandal itu kemudian dikenal dengan nama
"Lippogate".
Hasil temuan penyidik pada Lippogate sangat
mengejutkan rakyat Amerika Serikat karena terbukti uang haram jutaan
dolar AS yang disumbangkan James Riady dan teman-temannya, terutama oleh
John Huang (mantan Vice President Bank Lippo di Amerika Serikat),
ternyata sebagian besar berasal dari China Resources Corporation (CRC),
sebuah perusahaan berbadan hukum Hong Kong yang merupakan perusahaan
kedok milik China Military Intelligence (CMI).
Keterlibatan James
Riady, Antony Salim, dan para konglomerat Cina Indonesia sebagai otak
di balik kemenangan Jokowi Widodo (Jokowi) dalam Pilkada DKI Jakarta
tahun 2012 lalu dimulai saat Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP,
menyetujui Jokowi diusung PDIP sebagai calon Gubernur DKI Jakarta
menggantikan Mayor Jenderal TNI (Purn) Adang Ruchiatna, yang semula
diunggulkan.
Jokowi semula direncanakan maju sebagai calon
Gubernur Jawa Tengah bersaing dengan Bibit Waluyo yang kembali diusung
Partai Demokrat. Persiapan untuk pencalonan Jokowi sebagai calon
Gubernur Jawa Tengah sudah lama dilakukan, terutama melalui
pencitraan-pencitraan Jokowi yang dipublikasikan luas dan masif oleh
media-media dan akun-akun di sosial media. Pada tahap awal ini, ada
peran besar konglomerat Edward Suryajaya (anak pendiri Astra,
konglomerat Indonesia, William Suryajaya), Lukminto (pengusaha pemilik
PT Sritex Solo), Imelda Tio (pengusaha properti dan pemilik Paragon/Grup
Sun Motor).
Hubungan keluarga antara Edward Suryajaya dengan
James Riady mengantarkan nasib Jokowi ke tangan kelompok James Riady.
Setelah terjadi perubahan terhadap rencana Jokowi tadi, James Riady
mempersiapkan sebuah rencana besar: Jokowi akan diplot sebagai calon
presiden setelah memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Tim besar untuk
pemenangan Jokowi di Pilkada DKI Jakarta sekaligus di pemilihan Presiden
Indonesia pada Juli 2014 dibentuk.
Tidak tanggung-tanggung, James Riady mengonsolidasikan kekuatan untuk
memenangkan Jokowi di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pemilihan Presiden
2014. Stanley Benhard Greenberg, teman karibnya di Arkansas Connection,
diminta terlibat penuh mendukung Jokowi sebagai Presiden Indonesia.
Pembentukan
Jaringan Sosial Media Volunteer (Jasmev) dipimpin Kartika Djoemadi,
seorang paktisi "spin doctor" atau pemutar isu di dunia maya. Ribuan
tenaga honorer direkrut khusus untuk bertugas menjalankan puluhan ribu
akun di sosial media (Facebook, Twitter, dan lain - lain).
Di
luar Jasmev yang bekerja 24 jam, dengan tiga sif itu, James Riady dan
teman-temannya juga mengonsolidasikan kekuatan jaringan media yang
mereka miliki serta menyewa (kontrak) media-media lain untuk membantu
pembentukan citra dan elektabilitas Jokowi, mulai dari Pilkada DKI
Jakarta sampai Pemilihan Presiden 2014. Semua disusun secara rapi dan
canggih sehingga berhasil membentuk opini dan persepsi palsu seolah-olah
Jokowi adalah calon pemimpin terbaik yang dimiliki Indonesia.
James
Riady dan Antony Salim selaku "mastermind" di balik pencapresan Jokowi
ini belum diketahui maksud dan tujuannya. Diduga, mereka ingin
menciptakan presiden boneka yang berada di bawah kendali mereka.
Untuk jaringan militer (TNI) dan purnawairawan TNI, mantan Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (Purn) Abdul Mahmud Hendro Priyono,
Jenderal Luhut Panjaitan (mantan Menteri Perindustrian dan Dankodiklat
TNI AD), Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar (mantan Menteri Perhubungan
dan Ketum PSSI), dan sejumlah purnawirawan jenderal lain direkrut untuk
membantu kemenangan Jokowi.
Untuk pembiayaan rencana mereka
memenangkan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Indonesia,
semua sumber daya mayoritas konglomerat Cina Indonesia,
konglomerat-konglomerat buronan kasus korupsi Bantuan Likuidasi Bank
Indonesia (BLBI), bantuan dari China Connection dan Arkansas Connection
dipadukan untuk menyokong rencana besar itu. Termasuk bantuan dana dari
perusahaan besar (konglomerasi) yang sering dikumpulkan, di antaranya
melalui pertemuan rahasia sekitar 50 pengusaha besar Cina di Panini
Cafe, Setiabudi Building, Jakarta Selatan, pada pertengahan September
2012 lalu.
Sebagai konglomerat Indonesia, pemilik Grup Lippo dan
Grup First Media, upaya James Riady menjadikan Jokowi sebagai Presiden
RI bukan hal yang mustahil, bahkan bukan hal yang sulit. Kiprahnya dalam
tim sukses Bill Clinton pada pemilihan Presiden AS tahun 1992 dan 1995
serta hubungan khususnya dengan para elite AS menjadi modal besar sangat
berguna bagi rencana besarnya menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI.
Rencana
mayoritas konglomerat Tionghoa Indonesia yang dikoordinasi oleh James
Riady untuk mendudukan Jokowi sebagai Presiden Indonesia bukan tanpa
halangan. Perhimpunan Masyarakat Tionghoa Indonesia (INTI) menolak
bergabung dengan kelompok James Riady karena mempertimbangkan potensi
bahaya besar yang akan terjadi jika Jokowi dipaksakan menjadi presiden:
dikhawatirkan mayoritas rakyat Indonesia ketika menyadari konspirasi ini
akan marah besar dan berbalik memusuhi kelompok minoritas yang dituding
sebagai dalang dari penciptaan Jokowi sebagai presiden boneka. INTI
menyadari betapa besar bahaya dari konspirasi politik yang dimainkan
mayoritas konglomerat Tionghoa jika rakyat Indonesia pada akhirnya tidak
dapat menerima perbuatan kelompok James Riady yang dianggap telah
menginjak-injak kedaulatan bangsa Indonesia.
Mereka inilah yang dijuluki Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri
sebagai penumpang gelap di Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012 lalu.
Julukan itu dinilai sangat tepat karena mereka mendompleng figur Jokowi,
yang merupakan kader PDIP, untuk menggapai tujuan pribadi dan golongan
mereka di Indonesia.
Nama Lippo dan James Riady pertama sekali
mendunia disebabkan terbongkarnya kasus sumbangan haram untuk dana
kampanye Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton pada tahun 1996,
tidak lama setelah Clinton dilantik sebagai Presiden AS untuk periode
kedua.
Skandal Lippo atau Lippogate berawal pada tahun 1995,
ketika Clinton merasa sangat khawatir dengan pemilihan presiden
mendatang. Partai Demokrat telah hancur total sesuai hasil pemilihan DPR
dan Senat pada pertengahan tahun 1994. Partai Republik berhasil
menguasai DPR dan Senat untuk pertama kalinya sejak 1954. Tidak hanya
itu, Partai Demokrat tengah menghadapi masalah serius dalam
mengembangkan penggalangan dana publik untuk Partai Demokrat dan tim
sukses Bill Clinton.
Para pengamat politik bahkan mempertanyakan
secara terbuka, apakah Clinton relevan mengikuti debat capres pada musim
kampanye pilpres mendatang. Kekalahan di pilpres tahun 1996 tampaknya
tak terelakkan lagi bilamana merujuk pada bencana besar partainya yang
dialami pada pemilihan anggota DPR dan Senat tahun 1994
Kinerja
buruk pada tahun 1994 yang ditampilkan partai, telah menjadikan Tim
konsultan yang telah membawanya ke kemenangan pada tahun 1992 sebagai
sasaran kekecewaan dan kambing hitam.
Clinton memutuskan
mengambil strategi radikal dalam kampanye pilpres 1996. Untuk mendukung
strategi itu, Clinton membutuhkan banyak uang tunai dan ia akan
membutuhkan uang tunai dalam jumlah besar secepatnya.
Gedung
Putih sangat serius membahas tentang penggalangan dana untuk mendukung
strategi Clinton tersebut. Semua pihak akan dilibatkan dalam
penggalangan dana, termasuk presiden dan istrinya, Hilary Clinton;
wakil presiden, dan; seluruh staf mereka.
Namun, Demokrat menghadapi kebuntuan dari mana sumber untuk mendapatkan
uang dalam jumlah besar dalam waktu sangkat singkat. Partai Demokrat
tidak lagi menguasai mayoritas Kongres sehingga tidak akan mudah
mengumpulkan dana dari kelompok-kelompok kepentingan yang menginginkan
akses dan bantuan dalam proses legislasi.
Akhirnya rencana baru
dicanangkan. Partai Demokrat akan mengembangkan rencana kreatif untuk
memperluas target donatur. Jenis baru dari konstituen yang sebelumnya
tidak diperhatikan akan didekati dan dimaksimalkan. Kelompok-kelompok
seperti Asia-Amerika dan perusahaan asing yang punya cabang/perwakilan
di AS akan digarap. Sumber daya mereka akan mendanai upaya pemilihan
kembali Clinton.
Selama 10 bulan, Clinton menghadiri 237 acara
pengumpulan dana dan mengumpulkan total US$ 119.200.000! Jumlah ini
lebih dari dua kali jumlah pengumpulan dana Presiden Bush yang
diselenggarakan pada tahun 1992. Clinton akan berhasil dalam upaya
penggalangan dana dan menang pemilihan ulang atas rivalnya dari Partai
Republik Robert "Bob" Dole.
Namun ternyata, dalam proses
penggalangan dana yang sukses itu, kemudian terbongkar skandal sangat
memalukan, yakni Partai Demokrat dan Presiden Bill Clinton terbukti
telah menerima donasi/sumbangan yang berasal dari sumber ilegal. Skandal
ini kemudian terkenal ke seluruh dunia dengan nama Lippogate (skandal
Lippo).
Terbukti, untuk melaksanakan rencananya menggalang dana
kampanye, Clinton meminta bantuan ke sejumlah teman lama dari negara
bagian Arkansas, di antaranya adalah James Riady, pemilik Worthen Bank, sebuah bank kecil di Little Rock City, yang telah menjadi teman lama keluarga Clinton.
Perusahaan Riady adalah
bagian dari kerajaan dunia bisnis yang beroperasi di bawah nama Grup
Lippo. Bisnis Lippo mengkhususkan diri pada sektor perbankan, realestat,
energi, dan sejenisnya itu dikendalikan oleh ayahnya, Mochtar Riady,
seorang bankir dan konglomerat terkemuka Indonesia.
Salah satu
eksekutif yang bekerja pada James Riady bernama John Huang, 51 tahun.
John Huang lahir di Cina pada tahun 1945 dan keluarga Huang telah
bermigrasi ke Taiwan pada tahun 1949 ketika komunis mengambil alih Cina
Daratan. Ayah John Huang adalah
seorang jenderal Cina nasionalis. Huang lulus dari Tatung Institute of
Technology pada tahun 1967 dan menjabat sebagai letnan di Angkatan Udara
Taiwan. Ia pindah ke Amerika pada tahun 1969 dan memperoleh gelar
master dalam bisnis dari University of Connecticut. Huang menjadi warga
negara AS melalui naturalisasi tahun 1976.
Karir Huang dimulai
sebagai trainee di sebuah bank di Washington, DC. Lalu menjadi asisten
wakil presiden. Pada tahun 1985, Huang direkrut James Riady sebagai
Wakil Dirut Eksekutif Divisi Lippo di Hong Kong. Setahun kemudian, ia
pdiangkat menjadi Presiden dan Chief Operating Officer Bank Lippo di Los
Angeles, AS.
Dalam berbagai kesempatan, Huang selalu ingin meningkatkan pengaruh
politik dari warga Asia-Amerika. Huang melihat, Asia-Amerika dapat
meningkatkan pengaruh Asia-Amerika di tingkat politik lokal, tapi tidak
signifikan pengaruhnya dalam politik nasional.
Sebelumnya, dalam
kontes presiden tahun 1992, Huang menyelenggarakan sebuah acara
penggalangan dana yang sangat sukses untuk Clinton di California, yang
meraih US$ 1,25 juta dari komunitas Asia-Amerika di Los Angeles. Ini adalah pertama kalinya Asia-Amerika sangat aktif dalam politik kontes Presiden AS.
Pada
tahun 1994, setelah menerima bonus US$ 879,000, Huang keluar dari Grup
Lippo untuk mengisi posisi strategis di Departemen Perdagangan AS. Ia adalah pejabat pemeritah Amerika-Asia yang menduduki posisi tertinggi.
Di
Departemen Perdagangan AS, Huang menjabat sebagai deputi menteri untuk
kebijakan ekonomi internasional. Dari pekerjaan itu, Huang memiliki
akses ke sarana komunikasi kedutaan, laporan intelijen, dan informasi
yang digunakan untuk mengembangkan kebijakan perdagangan AS yang
bersifat rahasia, termasuk dalam hal mewakili pemerintah AS untuk
bernegosiasi, diskusi tentang sanksi perdagangan dan kegiatan dengan
pemerintah asing, dan seterusnya.
Pada beberapa kesempatan, Huang dan James Riady sering melakukan
pertemuan pribadi dengan Presiden Clinton di Gedung Putih. John Huang
diketahui telah mengunjungi Gedung Putih 52 kali.
Kampanye Presiden Tahun 1996
Pada
Desember 1995, Huang pindah mengisi posisi eksekutif penggalangan dana
pada Komite Nasional Partai Demokrat (DNC). Segera setelah bergabungnya
Huang, kontribusi/sumbangan ke DNC meningkat secara luar biasa.
Sebuah
perusahaan Korea Selatan yang disebut Cheong Am America, Inc
menyumbangkan US$ 250.000. Sebuah acara di sebuah kuil Buddha
mengumpulkan US$ 140,000. Sebuah pasangan Indonesia memberikan US$
425.000 kepada DNC. Pada Juli 1996, dalam acara pengumpulan dana untuk
Clinton di Los Angeles, Huang meraih setengah juta dolar AS.
Presiden
Clinton berterima kasih secara terbuka dan mengakui kesuksesan John
Huang di DNC. "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada teman lama
saya, John Huang, untuk menjadi sangat efektif. Terus terang, ia telah
menjadi begitu efektif. Saya apresiasi kepada Anda semua agar memberi
pujian untuk Huang malam ini," kata Clinton memuji Huang.
Dalam waktu singkat dan tanpa pengalaman substansial di daerah
penggalangan dana politik, Huang telah meraih beberapa juta dolar AS.
Demi
mendorong popularitas Gubernur DKI Jakarta sampai ke titik tertinggi,
segala cara dilakukan oleh Stanley Bernard 'Stan' Greenberg, konsultan
politik, pollster, ahli strategi pemenangan pemilu - pilpres nomor wahid
di dunia, yang ternyata terbukti selama ini bertindak sebagai
'sutradara atau otak' di balik rekayasa pencitraan dan melambungnya
popularitas Jokowi selama dua tahun terakhir.
Dengan berdalih
menampilkan hasil penelitiannya, Stan Greenberg, Ketua Korps Demokrat
Amerika Serikat (AS), sahabat karib konglomerat Indonesia James Riady
yang keduanya juga adalah
anggota elit Arkansas Connection, sebuah organisasi yang sangat
berpengaruh di AS, berusaha menipu menipu publik Indonesia dengan
mempromosikan Jokowi berkedok hasil penelitian lembaga penelitiannya.
Stan Greenberg mengatakan elektabilitas Jokowi medio September 2013 adalah
sebesar 68 %, sedangkan PDIP meraih elektabilitas 28 %. Greenberg
seolah - olah mendapatkan kesimpulan penelitian, bahwa alasan responden
memilih Jokowi adalah karena Jokowi tokoh yang jujur dan dapat dipercaya.
Menurut
lembaga survei dan konsultan politik yang dikendalikan Partai Demokrat
AS itu, posisi elektabilitas kedua tertinggi setelah Jokowi adalah Prabowo Subianto (PS) 15 % dan Aburizal Bakrie (ARB) 11 %.
Sedang elektablilitas parpol, setelah PDIP, disusul Golkar 18 %, Gerindra dan Demokrat yang sama - sama raih 10%.
Prof
Dr Iberamsyah, Guru Besar Universitas Indonesia (UI) yang mengikuti
presentasi tersebut beberapa bulan lalu, mengatakan hasil survei tidak
terlalu mengagetkan, karena sudah tercermin dari hasil sejumlah lembaga
survei selama ini. Ketika itu, posisi Stan Greenberg belum diketahui
publik sebagai konsultan politik dan otak rekayasa popularitas dan
elektabilitas palsu untuk Jokowi.
“Presentasi pekan lalu, tidak
dilaksanakan secara terbuka, karena survey ini merupakan pesanan sebuah
lembaga, bukan inisiatif Stan Greenberg,” ujar Iberamsyah pada akhir
September 2013 lalu.
Persoalan yang mencuat saat ini adalah
keraguan masyarakat luas terhadap seluruh hasil survey, polling atau
jajak pendapat bilamana terkait dengan Jokowi. Runtuhnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga survey yang menilai Jokowi disebabkan oleh
fakta bahwa Stan Greenberg sudah diketahui masyarakat luas sebagai
dalang dari seluruh rekayasa popularitas dan elektabilitas Jokowi.
Semua hasil survey, polling, jajak pendapat dan penilaian terhadap Jokowi adalah
palsu belaka (hasil rekayasa) dan diragukan keabsahannya. Masyarakat
menilai, pengumuman hasil survey, polling, jajak pendapat dan lain lain
terhadap Jokowi hanyalah merupakan hasil rekayasa (dibuat - buat) untuk
menggiring opini dan membentuk persepsi publik seputar kehebatan Jokowi.
Di
samping itu, fakta mengenai kinerja Jokowi yang buruk, tercermin dari
kegagalan Jokowi menyerap anggaran APBD secara maksimal (hanya 55%,
terendah dari seluruh propinsi di Indonesia), mandeknya program -
program pembangunan daerah, serta ketidakmampuan Jokowi memenuhi janji -
janji kampaye yang diucapkannya pada saat Pilkada tahun 2012 lalu.
Bencana
banjir besar di Jakarta dan kemacetan lalu lintas yang semakin parah,
menyebabkan penilaian rakyat Jakarta semakin negatip terhadap kinerja
Jokowi. Hasilnya, popularitas Jokowi di tengah - tengah masyarakat
semakin tenggelam.
Sementara itu Ketua Umum PDIP, melalui
tayangan 'Mata Najwa' di Metro TV Rabu (22/1), menegaskan PDIP tidak
akan mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden dan memintanya untuk
fokus menyelesaikan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta selama lima tahun
penuh.
Sebuah blog Intelijen yang ditulis oleh Senopati Wirang
mencoba memberikan bantahan terhadap keterlibatan tokoh Yahudi Kiri
Liberal Stanley Bernhad Greenberg dalam merekayasa pembentukan citra
palsu, peningkatan popularitas dan elektabilitas Jokowi. Berikut ini
tanggapan terhadap argumentasi Senopati Wirang.
Tanggapan pertama
mengenai konfirmasi keterlibatan Kantor Greenberg Quinlan Rosner
Research yang menurut Senopati Wirang tidak ada catatan atau konfirmasi
bahwa kantor konsultan Greenberg itu terlibat, digunakan atau disewa
oleh Jokowi atau pun tim Jokowi. Wirang bahkan sampai mencantumkan nomor
telpon kantor Greenberg jika ada pihak tertentu ingin menanyakan
perihal hal tersebut.
Bagi siapa pun yang membaca penjelasan
Wirang itu tentu ada rasa geli di dalam hati. Bagaimana mungkin
keterlibatan kantor Greenberg Quinlan Rosner Research dalam merekayasa
citra palsu Jokowi akan diumumkan secara terbuka. Sebaliknya,
keterlibatan Greenberg sedapat mungkin dirahasiakan. Kenapa ? Pertama,
karena Greenberg dikenal luas sebagai sosok Yahudi kiri liberal. Frase /
kata 'Yahudi' saja sudah menimbulkan alergi antipati mayoritas rakyat
Indonesia, apalagi paham kiri liberal yang dianut Greenberg, pasti
menimbulkan reaksi negatif yang luar biasa dari rakyat Indonesia dan
berdampak antipati rakyat terhadap Jokowi, figur yang dibantu Greenberg
pencitraan dan kemenangannya.
Sosok Greenberg sebagai konsultan politik yang berhasil mengubah
persepsi rakyat Amerika Serikat (AS) dan militer AS, dari yang semula
menentang Lesbian, Gay, Transgender dan Biseksual (LGBT) menjadi
berbalik mendukung LGBT merupakan tokoh yang dianggap sebagai perusak
nilai - nilai agama dan budaya luhur yang menjunjung tinggi kodrat
kemanusiaan. Greenberg adalah
pahlawan bagi kelompok lesbian, gay, transgender daj biseksual, yang
kini mendapat tempat seluas - luasnya di AS dan militer AS.
Bagi
sebagian masyarakat Indonesia yang mengetahui sepak terjang Greenberg
dalam mengubah persepsi dan perilaku manusia melalui pembentukan opini
publik, Greenberg tak ubahnya seperti bahaya laten komunis yang
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tokoh kiri liberal
yahudi ini merusak nilai - nilai agamis pancasilais yang menjadi dasar
hidup rakyat dan bangsa Indonesia.
Keterlibatan Stanley Greenberg dalam pencitraan palsu Jokowi adalah
bersifat sangat rahasia dan pasti tidak akan diakui secara resmi.
Namun, jejak Greenberg dalam setiap pencitraan Jokowi (termasuk Ahok)
dapat dibuktikan dengan ketelitian dan kecermatan kita menganalisa
metode dan strategi pencitraan yang ditampilkan Jokowi (dan ahok).
Jejak pertama keterlibatan Stanley Greenberg pada rekayasa citra Jokowi adalah
keikutsertaan / nominasi Jokowi di seleksi walikota terbaik dunia
melalui The Mayors Foundation. Lembaga ini dipilih sebagai salah satu
cara mengorbitkan nama Jokowi karena tidak memerlukan persyaratan atau
kriteria yang rumit. Siapa saja bisa diajukan sebagai nomine dan siapa
saja bisa memberikan suara dukungan (vote) secara online. Lebih mudah
Jokowi menang di The Mayors Foundation daripada peserta Indonesian Idol
atau acara idol - idolan lain. Cukup dengan mengerahkan ratusan sampai
ribuan orang yang dibayar murah untuk berikan suara dukungan / pilihan
untuk Jokowi melalui online.
Keikutsertaan Jokowi diseleksi di Mayors Faoundation itu kemudian
dieksploitasi habis - habisan oleh media - media nasional dan lokal yang
sudah merupakan bagian dari tim pencitraan Jokowi. Tidak ketinggalan
media luar negeri yang merupakan jaringan Stan Greenberg atau James
Riady cs untuk memberikan apreasiasi, liputan luas dan testimoni -
testimoni yang sangat kental kebohongannya.
Jejak kedua dapat
dilihat dari aktifitas Jokowi sehari - hari yang lebih banyak ditujukan
atau untuk kepentingan pencitraan diri Jokowi dengan liputan media
secara masif dan kontiniu. Semua gerak langkah, tingkah laku, perbuatan,
dan seterusnya dimuat tanpa henti oleh media. Kegiatan - kegiatan
Jokowi ini dikombinasi dengan program - program populis yang dibiayai
APBD tapi lebih merupakan program untuk kepentingan pencitraan Jokowi
daripada kepentingan umum / rakyat. Mulai dari acara pesta sambut tahun
baru, ulang tahun Jakarta, konser Metalica, festival keraton sedunia dan
seterusnya hingga kedatangan - kedatangan selebriti dunia yang khusus
diundang untuk memberikan bobot pencitraan Jokowi. Persis konsepnya
dengan konsep Stan Greenberg ketika mengorbitkan Clinton sebagai capres
AS pada tahun 1991 - 1992.
Jejak ketiga adalah
pola pembagian tugas antara Jokowi dan Ahok. Jokowi sibuk pencitraan
sesuai arahan Stan Greenberg, Ahok diarahkan untuk mengubah nilai -
nilai agamis dan Pancasilais menjadi kiri liberal sekuler sesuai dengan
tujuan mereka untuk memberikan ruang yang lebih besar di kalangan rakyat
Indonesia bagi kelompok non muslim dan sekuler menjadi pemimpin negara.
Pernyataan - pernyataan dan kebijakan - kebijakan Ahok yang memancing
konflik sosial dan polemik sosial itu dilakukan secara sistematis :
mempertentangkan agama dengan konstitusi, menghina Muhammadiyah,
melecehkan betawi dan FPI, menempatkan Susan yang murtad sebagai Lurah
di Lenteng Agung yang dikenal sebagai basis muslim tradisional dan
seterusnya. Tugas khusus Ahok sesuai arahan Greenberg adalah
agent of change utk nilai - nilai islam dan pancasila menjadi nilai
-nilai sekuler. Ahok tidak perlu pencitraan diri dan mengejar kekuasaan
karena jika Jokowi menjadi Presiden RI secara otomatis Ahok akan menjadi
Gubernur DKI. Kemenangan bagi kubu James Riady cs yang dibantu penuh
Greenberg. Dan kehancuran total untuk rakyat Indonesia.
Jejak keempat Stan Greenberg terlihat dari kunjungan - kunjungan para
tokoh menemui Jokowi yang masih merupakan jaringan Greenberg seperti
Evan Greenberg yang berkunjung ke Jakarta Juli 2013 lalu mengatasnamakan
Ketua Perdagangan AS - Indonesia, lembaga yang sebelumnya tak pernah
terdengar. Atau kedatangan Menlu Inggris ke Balaikota DKI temui Jokowi
sambil menyelundupkan Duta Besar Israel untuk Singapura dalam
rombongannya.
Jejak kelima Stan Greenberg adalah
keanggotaannya di Arkansas Connection yang terkait erat dengan James
Riady yang juga anggota Arkansas Connection. Paguyuban Arkansas
Connection dikenal di AS sebagai sebuah kelompok yang memiliki pengaruh
besar terhadap pemerintahaan Obama, dimana Bill dan Hilary Clinton
sebagai tokoh utama Arkansas Connection sekaligus penasihat bagi
presiden Obama.
Jejak keenam Stan Greenberg terlihat dari
keterlibatannya dalam mengkoordinasi dan sinkronisasi jaringan media
dalam dan luar negeri untuk pembentukan opini dan citra positif Jokowi
dengan menampilkan kehebatan - kehebatan palsu Jokowi dan menutupi semua
kelemahan - kelemahan dan kegagalan - kegagalan Jokowi. Penguasaan
lebih 80% media massa nasional dan pembentukan kanal - kanal berita
khusus Jokowi di Kompas, Detik dan seterusnya itu adalah bagian dari rencana besar Greenberg.
Jejak
ketujuh Greenberg dapat dilihat pada atensinya secara pribadi yang
besar terhadap sosok Jokowi. Greenberg konsultan politik dan ahli poling
nomor satu dunia ini tanpa sungkan mempromosikan Jokowi yang 'hanya'
seorang Gubernur Jakarta, ditengah - tengah kesibukannya yang luar biasa
menangani ratusan politisi kelas dunia yang menjadi kliennya.
Peran
Greenberg itu terlihat jelas ketika tanpa diketahui alasannya,
Greenberg tiba - tiba menampilkan 'hasil survey dan penelitiannya' yang
dimuat pertama sekali oleh media - media milik James Riady (First Media
Grup). Greenberg tercatat sedikitnya tiga kali turun langsung
mempromosikan Jokowi sebagai capres terkuat, capres terjujur, dan capres
yang paling dapat diterima. Semua publikasi survey dan pendapat
Greenberg itu bukanlah sesuatu kebetulan belaka melainkan erat
hubungannya dengan posisinya sebagai otak dari tim pencitraan dan
konsultan politik Jokowi bersama - sama rekannya sesama anggota kelompok
elit Arkansas Connection, James Riady.
James Riady sebagai otak di balik kemenangan Jokowi Widodo atau kerap
dipanggil Jokowi ditenggarai memiliki kepentingan tertentu terhadap
Jokowi yang didorongnya agar terpilih menjadi Presiden dalam pilpres 9
Juli 2014 mendatang.
Sebagai konglomerat Indonesia, pemilik Lippo Group dan First Media
Group, upaya James Riady menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI, bukan
hal yang mustahil bahkan bukan hal yang sulit. Kiprahnya dalam tim
sukses Bill Clinton pada Pilpres AS tahun 1992 dan 1995 dan hubungan
khususnya dengan para elit AS menjadi modal besar sangat berguna bagi
rencana besarnya menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI.
Rencana besar (Grand Scenario) James Riady menjadikan Jokowi sebagai
Presiden RI mendapatkan bantuan sepenuhnya dari mentornya, Antony Salim.
Meski tidak secara langsung atau terbuka, Antony Salim membantu James
Riady melalui tangan Chairul Tanjung, proxy (kuasa bisnis) Antony di
Bank Mega dan Trans Corporation. Melalui bantuan Antony Salim, ratusan
organisasi relawan Jokowi di seluruh Indonesia dibentuk dan dibiayai
Chairul Tanjung dan atau Trans Corp.
Antony Salim adalah putra almarhum Liem Sioe Liong atau Sudono Salim,
Taipan terkaya di Indonesia yang dikenal sangat dekat dengan Presiden
Suharto pada masa orde baru dulu. Tidak dapat dipungkiri, keberhasilan
Grup Salim menjadi konglomerasi terbesar di Indonesia dikarenakan
kedekatannya dengan Presiden Suharto, yang memberikan begitu banyak
kemudahan dan konsesi terhadap Sudono Salim / Salim Group.
Hubungan Presiden Suharto dan Sudono Salim merenggang ketika Sudono
Salim sebagai pemimpin para konglomerat Indonesia yang tergabung dalam
Yayasan Prasetya Mulia menolak permintaan Suharto untuk memberikan
sumbangan sekitar 2.5% dari laba bersih perusahaan milik para
konglomerat yang rencananya dana sumbangan itu akan digunakan sebagai
sumber pembiayaan dan pembinaan usaha mikro, usaha kecil, koperasi dan
usaha menengah kaum pribumi Indonesia yang masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan kaum non pribumi yang mendominasi sektor ekonomi
Indonesia selama puluhan tahun.
Antony Salim adalah mentor atau pembimbing James Riady. Dalam tradisi
Cina, Antony Salim adalah 'Toako' bagi James Riady, sebagaimana ayahnya
Muchtar Riady, mantan Direktur Utama Bank BCA (milik Salim Group) yang
juga direkrut dan dibina oleh Sudono Salim (ayah Antony Salim).
Antony Salim dan James Riady disinyalir sebagai inisiator mengumpulkan
seluruh konglomerat cina Indonesia untuk bersatu padu menjadikan Jokowi
sebagai Presiden RI mendatang, dengan segala mengumpulkan dana
pemenangan Jokowi, menyiapkan jaringan media, memanfaatkan jaringan
China Internasional, meminta Stanley Greenberg menyusup strategi
pencitraan untuk melambungkan popularitas dan elektabilitas Jokowi, dan
lain - lain.
6 Komentar
boleh tau anda dapat sumber dari mana ?
BalasHapusMemang berita ttg Jokowi terlalu over exposure... Teori konspirasinya sangat rumit
BalasHapusGa laku berita anda ini, mgkin krn kebenaran yg dimuat hanya sepenggal2, jd rancu dan gak menarik dibaca...
BalasHapusudah kehabisan amunisi issu, kokang terus boss, pelurunya apes, cuma mempan di kalangan keledai, saya bukan pendukung jokowow, tetapi artikel begini terlalu memaksakan
BalasHapusini cerita ngawur tanpa di dukung fakta, ini adalah cerita pesanan, rakyat yg menilai dan jokowi sudah bisa membuktikan kinerjanaya.......sory yan cerita pengaruhmu murahan.......
BalasHapusjteyuetr
BalasHapus