Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Geostrategi NKRI di Era Ekonomi Pasific


Indonesia diprediksi para analis akan menjadi kekuatan ekonomi besar di kawasan Asia Pasifik. Selain didorong pertumbuhan perekonomian yang terus membaik, Negara Kepulauan ini juga memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
 
Tercatat, luas laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), serta 17.504 pulau. Jika dikelola secara maksimal, potensi ekonomi laut Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 triliun dolar AS per tahun, atau setara dengan 10 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Namun, yang dikembangkan kurang dari 10 persen.

Secara spesifik, dari sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas bumi diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, serta hanya enam di daratan. Potensi cekungan-cekungan tersebut diperkirakan menghasilkan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik.

Di lepas pantai barat Sumatera, Jawa Barat bagian selatan dan bagian utara Selat Makassar telah ditemukan pula jenis energi baru pengganti BBM, berupa gas hidrat dan gas biogenik  dengan potensi melebihi seluruh potensi migas.

Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki potensi budi daya rumput laut yang besar. Walau hanya mengusahakan 32.000 ha (kurang lebih 30 persen total potensi), ditaksir dapat memproduksi sekitar 160 juta kg rumput laut kering per tahun, dengan nilai sebesar Rp 1,1 triliun per tahun (harga Rp 7.000/kg). Seandainya diproses menjadi beragam semi-refined products (karaginan, alginat, agar, makanan, minuman) atau refined products (bahan pencampur shampo, coklat, es krim, milk shake, permen, pasta gigi, salep, pelembab, lotion, industri cat, tekstil), nilainya akan berlipat ganda sehingga mencapai multiplier effects bagi pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut belum termasuk komoditas lain yang mempunyai harga tinggi dan dibutuhkan pasar domestik, seperti udang, tuna, kerapu, ikan hias, kerang mutiara, teripang.

Pemerintah harus segera membangun dan memperbaiki infrastruktur perikanan yang masih lemah. Tanpa upaya itu, sektor perikanan Indonesia akan tertinggal dibanding negara lain. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur di Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian serius pemerintah.

Sementara untuk sektor transportasi laut kendalanya adalah permodalan. Sektor tersebut dinilai masih berisiko tinggi untuk dibiayai, sehingga perbankan enggan mengucurkan kredit pembelian kapal kepada pelaku usaha di bidang pelayaran.

Sebagai tulang punggung sektor transportasi laut nasional, industri pelayaran membutuhkan  dana yang tidak sedikit dalam meningkatkan jumlah armada. Hanya dengan jumlah armada yang memadai, sektor transportasi laut bisa berkembang. Sayang, perbankan enggan mengucurkan dana ke perusahaan pelayaran. Padahal, sejumlah perusahaan pelayaran sudah berusaha mengajukan kredit pembelian kapal, namun hasilnya nihil.

Kesulitan permodalan sebenarnya sudah terakomodasi dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 56 dari UU itu menyatakan, pemerintah wajib menciptakan inovasi pendanaan bagi perusahaan pelayaran nasional. Namun usaha ini masih high risk. Kementerian Keuangan selaku pemegang kebijakan seharusnya bisa melihat masalah itu. Pemerintah harus bisa meyakinkan pihak bank bahwa perusahaan pelayaran nasional mampu mengembalikan kredit.

Pengembangan ekonomi nasional juga membutuhkan dukungan pelabuhan. Sejauh ini, kebanyakan kondisi pelabuhan di Tanah Air kurang kondusif. Selain biaya yang tinggi, pungli marak, juga fasilitas sandar yang sangat minim. Hal itu karena pelabuhan masih dimonopoli PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Monopoli seharusnya dihilangkan, sehingga pelabuhan-pelabuhan bisa berbenah diri. Saat ini, pelabuhan masih menjadi profit center, tanpa dibarengi peningkatan layanan.

Situasi ini dimanfaatkan Singapura dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan internasional. Negara yang luasnya hanya 692.7 km2, dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu, kini telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan, ekspor barang dan komoditas Indonesia 70 persen melalui ‘Negeri Singa’. Saat ini Malaysia mencoba menyamai Singapura dengan membangun pelabuhan Kelang dan Tanjung Pelepas. Indonesia kembali hanya menjadi penonton.

Selain itu, pembangunan ekonomi maritim nyaris tanpa keberpihakan terhadap rakyat. Penguasaan sumber-sumber ekonomi dan praktik ekonomi yang didominasi asing, investasi tanpa seleksi, dan akses yang tidak setara telah mengakibatkan bangsa ini mengalami kemunduran dan tertinggal dari negara lain. Monopoli transportasi laut oleh armada asing saat ini mencapai 90 persen.

Strategi dan kebijakan pemerintah harus segera dibenahi guna mengoptimalkan potensi yang dimiliki, baik menyangkut sumber daya laut, industri maupun bisnis transportasi. Patut diingat, sektor maritim juga butuh keberpihakan lewat kebijakan fiskal dan moneter. Di sini pemerintah menjadi ujung tombak untuk segera menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi kemakmuran bangsa, sekaligus mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, yang tujuan akhirnya penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.

Faktor terpuruknya perekonomian Indonesia adalah paradigma pembangunan yang lebih berorientasi ke daratan (land-based development). Sementara laut hanya diperlakukan sebagai tempat eksploitasi sumber daya alam (SDA), pembuangan limbah, dan kegiatan ilegal. Untuk itu, diperlukan Maritime Policy untuk mengembalikan perekonomian Indonesia ke titahnya sebagai Negara Kepulauan.

Pemerintah harus segera mengubah paradigma pembangunan, sebab ekonomi maritim menyimpan potensi besar dalam menggerakkan perekonomian nasional. Mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, sumber daya non-konvensional, industri sampai dengan jasa maritim.
Apalagi ke depan ekonomi maritim semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini sudah terlihat, bahwa aktivitas 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.

Kekuatan ekonomi

Pada era 1990-an, perekonomian Indonesia pernah disebut-sebut sebagai salah satu “Macan” Asia. Pertumbuhan ekonomi saat itu rata-rata mencapai 7 persen per tahun. Namun, pada pertengahan 1997 badai krisis ekonomi melanda Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Akibat krisis tersebut secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1997 merosot tajam menjadi 4,9 persen, bahkan minus 17,13 persen pada triwulan III/1998.

Fundamental ekonomi yang kuat didukung semangat  reformasi di segala bidang membuat Indonesia mampu segera keluar dari badai krisis ekonomi pada 1997/1998. Bahkan, negeri ini mampu bertahan dari krisis ekonomi 2008 dan krisis Eropa yang terjadi saat ini.

Sejumlah lembaga bergengsi pun mulai memandang Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi di masa mendatang. Morgan Stanley, perusahaan perbankan dan investasi asal Amerika Serikat, mengusulkan agar Indonesia masuk BRIC. Nama BRIC merujuk pada empat negara calon ekonomi dunia pada 2020, yang merupakan akronim dari nama Brasil, Rusia, India, dan China. Menurut Stanley, BRIC bisa menjadi BRICI (Brasil, Rusia, India, China, Indonesia) karena PDB Indonesia diperkirakan mencapai 800 miliar dolar AS dalam lima tahun mendatang.

Pada Juli 2010, The Economist juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC.  Mereka memiliki akronim baru dengan sebutan CIVETS, yaitu kepanjangan dari Kolombia, Indonesia, Vietnam, Mesir, Turki, dan Afrika Selatan. Namun, Mesir tumbang karena konflik politik di dalam negeri.

Di laman Bank Dunia, www.worldbank.org menyatakan, bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal pertama 2012, sebesar 6,3 persen. Proyeksi dasar PDB mengalami pertumbuhan sebesar 6,0 persen pada 2012 dan 6,4 persen pada 2013.

Dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan, di tengah ketidakpastian perkembangan ekonomi global, kinerja ekonomi Indonesia masih dapat menunjuklan kinerja yang cukup baik. Pada 2011, di saat beberapa negara lain mengalami perlambatan atau bahkan pertumbuhan negatif,  pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen.

Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar itu ditopang permintaan domestik yang cukup kuat. Tercatat, pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan I/2012 mencapai 6,3 persen, pada triwulan II sedikit meningkat 6,4 persen, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 dapat dipertahankan pada kisaran 6,3 persen.

Melihat kinerja ekonomi Indonesia yang mampu keluar dari krisis ekonomi 1997/1998 dalam waktu singkat dan terus membaik dari tahun ke tahun, bahkan terus menunjukan trend positif, para ekonomi menilai, prediksi Indonesia akan kembali menjadi Macan Asia dalam beberapa tahun ke depan bukan isapan jempol.

Pertama, Indonesia memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015 yang memiliki visi “Mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 10 besar dunia pada 2030 dan 6 besar dunia pada 2050 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inclusif dan berkelanjutan”. MP3EI bertujuan mempercepat kemajuan dalam spektrum yang luas dari sektor ekonomi, pembangunan infrastrktur, ketahanan pangan, energi serta pengetahuan dan teknologi.

Kedua, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah dan sumber daya manusia yang cukup besar. Saat ini Indonesia sedang giat-giatnya membangun sumber daya manusia yang andal, berkualitas, dan produktif (SDM berusia di bawah 30 tahun, atau 50% penduduk Indonesia). Ketiga, kepercayaan dunia internasional terus meningkat, salah satunya Indonesia akan menjadi Ketua APEC pada 2013. Pemilihan sebagai Ketua APEC merupakan salah satu bentuk pengakuan internasional kepada Indonesia sebagai negara yang memiliki kekuatan ekonomi di dunia saat ini.

Keempat, Indonesia terus menerus melakukan perbaikan dan membangun infratruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Saat ini Indonesia akan membangun Infrastruktur senilai 500 miliar dolar AS dalam koridor MP3EI yang tentunya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada tahun-tahun mendatang. Kelima, kondisi keamanan  yang terjaga dengan baik telah mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif. Di mana pada 2012 nilai investasi mendekati 20 miliar dolar AS meningkat, naik sepertiga dibandingkan tahun lalu.

Direktur ESCAP, Katinka Weinberger mengatakan, pada 2011 Indonesia mengalami pertumbuhan tertinggi sejak krisis 2007, yaitu 6,5 persen. Pertumbuhan ini meningkat jika dibandingkan 2010 yang hanya 6,1 persen. “Konsumsi meningkat sebesar 4,7 persen seiring dengan peningkatan pendapatan, biaya pinjaman rendah, dan inflasi yang kian menurun,” katanya.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, mengemukakan, target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 sebesar 6,8 persen.  Bank Indonesia (BI) pun optimis perekonomian tahun ini akan berkembang lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Jika pada 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3%, tahun ini rentang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada angka 6,3% – 6,8%.

“Pertumbuhan tersebut ditopang konsumsi yang terus meningkat dan investasi yang tetap kuat, sementara ekspor diperkirakan akan membaik,” kata Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution seperti dilansir dalam situs resmi BI.
Darmin menjelaskan, daya tahan perekonomian selama ini didukung oleh stabilitas makro dan sistem keuangan yang terjaga sehingga mampu memperkuat basis permintaan domestik. Kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi yang meningkat mampu menahan dampak turunnya pertumbuhan ekspor terutama mulai paruh kedua 2012.

Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama ditopang kinerja sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, pengangkutan dan komunikasi. Sementara dari sisi kawasan, kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar daerah semakin berkurang, tercermin dari kontribusi pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang semakin baik. “Pada tahun 2013-2014, perekonomian Indonesia diprakirakan dapat mencapai kisaran masing-masing 6,3% – 6,8% dan 6,7% – 7,2%,” ungkap Darmin.

Dalam kesempatan itu, Gubernur BI juga menjelaskan, meskipun mengalami tekanan defisit transaksi berjalan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada 2012 masih mencatat surplus. Melemahnya permintaan dari negara-negara mitra dagang dan merosotnya harga komoditas ekspor berdampak pada menurunnya kinerja ekspor. Di sisi lain, impor masih tumbuh cukup tinggi, terutama dalam bentuk barang modal dan bahan baku, sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi.
”Tingginya impor juga tercatat pada komoditas migas akibat melonjaknya konsumsi BBM, sehingga berdampak pada defisit neraca migas yang terus meningkat dan menambah tekanan pada defisit transaksi berjalan,” jelas Darmin.

Namun demikian, transaksi modal dan finansial mencatat kenaikan surplus yang cukup besar terutama didukung investasi langsung (PMA) dan arus masuk modal portofolio, baik dalam pasar saham maupun pasar obligasi, yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Atas perkembangan tersebut, cadangan devisa sampai dengan akhir Desember 2012 mencapai 112,78 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
”Ke depan, Bank Indonesia tetap mewaspadai perkembangan defisit transaksi berjalan dan akan terus mempererat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah agar defisit tersebut menurun ke tingkat yang sustainable sehingga keseimbangan eksternal tetap terjaga,” kata Darmin.

Dewan Gubernur BI telah memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 5,75%.  Tingkat suku bunga tersebut dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi pada 2013 dan 2014, sebesar 4,5% ± 1%.

”Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja 2012 dan prospek tahun 2013-2014 menunjukkan perekonomian Indonesia tumbuh cukup tinggi dengan inflasi tetap terkendali dan rendah. Kinerja tersebut tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah untuk menjaga stabilitas makro dan momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah perlambatan ekonomi dunia,” kata Kepala Humas BI, Dody Budi Waluyo dalam siaran persnya.

Menurut Dody, rapat Dewan Gubernur BI juga menyampaikan bahwa inflasi sepanjang 2012 tetap terkendali pada level yang rendah, berada pada kisaran 4,5%. “Terkendalinya inflasi tersebut sebagai hasil dari berbagai kebijakan Bank Indonesia dan didukung semakin baiknya koordinasi kebijakan dengan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah,” ujarnya.

Inflasi 2012 mencapai 4,30% (yoy) terutama didorong oleh inflasi inti yang stabil, yaitu inflasi volatile food yang terkendali dan inflasi administered prices yang rendah. Inflasi inti yang stabil didukung oleh penerapan strategi bauran kebijakan moneter dan makroprudensial sehingga tekanan inflasi dari sisi permintaan, harga komoditas impor, dan ekspektasi inflasi tetap terkendali.

Indonesia di Asia Pasifik

Di sisi lain, perekonomian di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik tetap kokoh di tengah lemahnya perekonomian global. Laporan terbaru Bank Dunia memproyeksi bahwa perekonomian Asia Timur dan Asia Pasifik tumbuh sebesar 7,5 persen pada 2012. Mereka juga mencatat, pertumbuhan melambat di Asia Timur dan Pasifik pada 2012. Namun, permintaan domestik akan memainkan peran kunci dalam rebound pada 2013.

“Sedikit melambat dibanding 2011 sebesar 8,3 persen akibat melambatnya perekonomian China. Namun bisa tumbuh hingga 7,9 persen pada 2013 didorong oleh konsumsi domestik,” kata Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Berf Hofman.

Pertumbuhan China tahun ini mencapai 7,9 persen, turun sebesar 1,4 persen dibanding pertumbuhan pada 2011 sebesar 9,3 persen. Melemahnya ekspor dan terpuruknya sektor perumahan menjadi penyebab melambatnya perekonomian China pada 2012. Meski demikian, perekonomian China bakal tumbuh hingga 8,4 persen pada tahun ini didorong oleh stimulus fiskal dan percepatan implementasi proyek-proyek investasi besar.

Sementara itu, Indonesia, Malaysia, dan Filipina diprediksi akan mendorong perkembangan Asia Timur dengan pertumbuhan mencapai 5,7 persen dan 5,8 persen pada 2014. Untuk 2012, tanpa mengikutsertakan China, kawasan berkembang Asia Tenggara ini tercatat bakal tumbuh 6,5 persen, atau meningkat 4,4 persen dari 2011.

Pendorong cerahnya kawasan ini juga karena kembali bergabungnya Myanmar ke komunitas Internasional. Namun, Myanmar masih menghadapi tantangan besar terkait hambatan infrastruktur, sektor finansial, telekomunikasi, dan manajemen sumber daya alam yang berkelanjutan.

Selain mencatat kemajuan, ada beberapa risiko yang diprediksi dapat memperlambat momentum perkembangan di kawasan ini, yaitu reformasi ekonomi di Zona Eropa, fiscal cliff di Amerika Serikat, dan kemungkinan tajamnya penurunan investasi di China.

Kekhawatiran berkembangnya ekspansi negara-negara G3, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di Zona Eropa mengakibatkan terjadi peningkatan arus modal di kawasan tersebut. Akibatnya, gelembung aset dan pertumbuhan kredit yang berlebihan serta peningkatan risiko arus keluar yang terlalu cepat di masa depan.

Solusinya, menurut Hofman, pengaturan nilai tukar dan pengembangan pasar modal untuk menghambat dampak negatif arus modal masuk. Selain itu, perlu kebijakan-kebijakan makro-prudensial untuk melindungi pertumbuhan kredit yang berlebihan.

Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim mengatakan, bagian wilayah Asia Timur dan Pasifik dalam ekonomi global telah meningkat tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, dari 6% menjadi hampir 18%. “Ini menegaskan pentingnya pertumbuhan yang berkelanjutan di kawasan tersebut untuk seluruh dunia,” ujarnya.

Sementara Pamela Cox, wakil presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik menilai, dalam keadaan ekonomi global yang sulit, kemiskinan di kawasan ini justru terus turun, orang yang hidup dengan penghasilan 2 dolar AS per hari, diperkirakan akan berkurang 24,5% pada akhir 2013, atau turun dari 28,8% pada 2010.

“Permintaan yang melemah untuk ekspor Asia Timur memperlambat perekonomian regional, tapi masih tumbuh kuat dibandingkan bagian dunia lain. Sementara berkembangnya permintaan domestik memungkinkan perekonomian daerah bangkit kembali menjadi 7,6%,” kata Cox.

Sebelumnya, Sekretaris Eksekutif United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), Noeleen Heyzer mengemukakan, kawasan Asia Pasifik akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Hal itu karena jatuhnya permintaan ekspor di beberapa negara maju dan adanya kenaikan biaya modal.

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PBB itu menyebutkan, berdasarkan hasil survei ESCAP, perlambatan ini karena faktor volatilitas harga komoditas yang merupakan perhatian utama untuk kawasan Asia Pasifik. “Tingkat pertumbuhan perekonomian di kawasan berkembang diproyeksikan melambat menjadi 6,5 persen pada 2012, dari 7,8 persen tahun lalu,” kata Noeleen.

Meski demikian, pertumbuhan di Asia Pasifik akan tetap lebih baik dibandingkan dengan kawasan lain, dan menjadi tolak ukur bagi pertumbuhan baru perekonomian dunia. “Perdagangan Selatan dengan Asia Pasifik pada 2012 akan membantu kawasan-kawasan berkembang, seperti Afrika dan Amerika Latin, sehingga lebih mengurangi ketergantungan mereka pada perekonomian negara-negara maju yang memiliki pertumbuhan rendah,” ujar Noeleen.

Semua analisa dan data pertumbuhan ekonomi di atas, membuat semua pihak optimis Indonesia mampu berbicara di Asia Pasifik dalam beberapa tahun ke depan. Namun, semua itu kembali tergantung dari kemampuan pemerintah dalam membaca arah pembangunan bangsa, selaras dengan kondisi, potensi dan letak geografis sebagai Negara Maritim. Jika mampu memanfaatkan dan mengelolanya secara maksimal, bukan tidak mungkin NKRI akan kembali berjaya seperti era keemasan dulu (masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya). Indonesia akan menjadi kekuatan besar di segala bidang, khususnya di kawasan Asia Pasifik. (***)

Posting Komentar

0 Komentar