Indonesia diprediksi para analis akan menjadi kekuatan ekonomi besar di kawasan Asia Pasifik. Selain didorong pertumbuhan perekonomian yang terus membaik, Negara Kepulauan ini juga memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Tercatat,
luas laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mencapai 5,8 juta
km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2
perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE), serta 17.504 pulau. Jika dikelola secara maksimal, potensi
ekonomi laut Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 triliun dolar AS per
tahun, atau setara dengan 10 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2012. Namun, yang dikembangkan kurang dari 10 persen.
Secara
spesifik, dari sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas
bumi diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang
potensial mengandung migas, 40 terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir,
serta hanya enam di daratan. Potensi cekungan-cekungan tersebut
diperkirakan menghasilkan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi.
Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik.
Di
lepas pantai barat Sumatera, Jawa Barat bagian selatan dan bagian utara
Selat Makassar telah ditemukan pula jenis energi baru pengganti BBM,
berupa gas hidrat dan gas biogenik dengan potensi melebihi seluruh
potensi migas.
Tidak
hanya itu, Indonesia juga memiliki potensi budi daya rumput laut yang
besar. Walau hanya mengusahakan 32.000 ha (kurang lebih 30 persen total
potensi), ditaksir dapat memproduksi sekitar 160 juta kg rumput laut
kering per tahun, dengan nilai sebesar Rp 1,1 triliun per tahun (harga
Rp 7.000/kg). Seandainya diproses menjadi beragam semi-refined products (karaginan, alginat, agar, makanan, minuman) atau refined products
(bahan pencampur shampo, coklat, es krim, milk shake, permen, pasta
gigi, salep, pelembab, lotion, industri cat, tekstil), nilainya akan
berlipat ganda sehingga mencapai multiplier effects
bagi pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut
belum termasuk komoditas lain yang mempunyai harga tinggi dan dibutuhkan
pasar domestik, seperti udang, tuna, kerapu, ikan hias, kerang mutiara,
teripang.
Pemerintah
harus segera membangun dan memperbaiki infrastruktur perikanan yang
masih lemah. Tanpa upaya itu, sektor perikanan Indonesia akan tertinggal
dibanding negara lain. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur di
Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian
serius pemerintah.
Sementara
untuk sektor transportasi laut kendalanya adalah permodalan. Sektor
tersebut dinilai masih berisiko tinggi untuk dibiayai, sehingga
perbankan enggan mengucurkan kredit pembelian kapal kepada pelaku usaha
di bidang pelayaran.
Sebagai
tulang punggung sektor transportasi laut nasional, industri pelayaran
membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam meningkatkan jumlah armada.
Hanya dengan jumlah armada yang memadai, sektor transportasi laut bisa
berkembang. Sayang, perbankan enggan mengucurkan dana ke perusahaan
pelayaran. Padahal, sejumlah perusahaan pelayaran sudah berusaha
mengajukan kredit pembelian kapal, namun hasilnya nihil.
Kesulitan
permodalan sebenarnya sudah terakomodasi dalam UU No 17 tahun 2008
tentang Pelayaran. Pasal 56 dari UU itu menyatakan, pemerintah wajib
menciptakan inovasi pendanaan bagi perusahaan pelayaran nasional. Namun
usaha ini masih high risk. Kementerian Keuangan selaku pemegang
kebijakan seharusnya bisa melihat masalah itu. Pemerintah harus bisa
meyakinkan pihak bank bahwa perusahaan pelayaran nasional mampu
mengembalikan kredit.
Pengembangan
ekonomi nasional juga membutuhkan dukungan pelabuhan. Sejauh ini,
kebanyakan kondisi pelabuhan di Tanah Air kurang kondusif. Selain biaya
yang tinggi, pungli marak, juga fasilitas sandar yang sangat minim. Hal
itu karena pelabuhan masih dimonopoli PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).
Monopoli seharusnya dihilangkan, sehingga pelabuhan-pelabuhan bisa
berbenah diri. Saat ini, pelabuhan masih menjadi profit center, tanpa dibarengi peningkatan layanan.
Situasi ini dimanfaatkan Singapura dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment)
kapal-kapal perdagangan internasional. Negara yang luasnya hanya 692.7
km2, dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu, kini telah menjadi pusat jasa
transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan, ekspor barang dan komoditas
Indonesia 70 persen melalui ‘Negeri Singa’. Saat ini Malaysia mencoba
menyamai Singapura dengan membangun pelabuhan Kelang dan Tanjung
Pelepas. Indonesia kembali hanya menjadi penonton.
Selain
itu, pembangunan ekonomi maritim nyaris tanpa keberpihakan terhadap
rakyat. Penguasaan sumber-sumber ekonomi dan praktik ekonomi yang
didominasi asing, investasi tanpa seleksi, dan akses yang tidak setara
telah mengakibatkan bangsa ini mengalami kemunduran dan tertinggal dari
negara lain. Monopoli transportasi laut oleh armada asing saat ini mencapai 90 persen.
Strategi
dan kebijakan pemerintah harus segera dibenahi guna mengoptimalkan
potensi yang dimiliki, baik menyangkut sumber daya laut, industri maupun
bisnis transportasi. Patut diingat, sektor maritim juga butuh
keberpihakan lewat kebijakan fiskal dan moneter. Di sini pemerintah menjadi ujung tombak untuk segera menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam
rangka pemanfaatan laut bagi kemakmuran bangsa, sekaligus mengembangkan
kembali budaya bahari bangsa, yang tujuan akhirnya penguasaan laut
nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.
Faktor terpuruknya perekonomian Indonesia adalah paradigma pembangunan yang lebih berorientasi ke daratan (land-based development).
Sementara laut hanya diperlakukan sebagai tempat eksploitasi sumber
daya alam (SDA), pembuangan limbah, dan kegiatan ilegal. Untuk itu,
diperlukan Maritime Policy untuk mengembalikan perekonomian Indonesia ke titahnya sebagai Negara Kepulauan.
Pemerintah
harus segera mengubah paradigma pembangunan, sebab ekonomi maritim
menyimpan potensi besar dalam menggerakkan perekonomian nasional. Mulai
dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari,
perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, sumber daya
non-konvensional, industri sampai dengan jasa maritim.
Apalagi
ke depan ekonomi maritim semakin strategis seiring dengan pergeseran
pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini sudah
terlihat, bahwa aktivitas 70 persen perdagangan dunia berlangsung di
kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang
diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300
triliun dolar AS per tahun.
Kekuatan ekonomi
Pada
era 1990-an, perekonomian Indonesia pernah disebut-sebut sebagai salah
satu “Macan” Asia. Pertumbuhan ekonomi saat itu rata-rata mencapai 7
persen per tahun. Namun, pada pertengahan 1997 badai krisis ekonomi
melanda Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia
Timur. Akibat krisis tersebut secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada 1997 merosot tajam menjadi 4,9 persen, bahkan minus 17,13 persen
pada triwulan III/1998.
Fundamental ekonomi yang kuat didukung semangat reformasi di segala
bidang membuat Indonesia mampu segera keluar dari badai krisis ekonomi
pada 1997/1998. Bahkan, negeri ini mampu bertahan dari krisis ekonomi
2008 dan krisis Eropa yang terjadi saat ini.
Sejumlah
lembaga bergengsi pun mulai memandang Indonesia sebagai calon kekuatan
ekonomi di masa mendatang. Morgan Stanley, perusahaan perbankan dan
investasi asal Amerika Serikat, mengusulkan agar Indonesia masuk BRIC.
Nama BRIC merujuk pada empat negara calon ekonomi dunia pada 2020, yang
merupakan akronim dari nama Brasil, Rusia, India, dan China. Menurut
Stanley, BRIC bisa menjadi BRICI (Brasil, Rusia, India, China,
Indonesia) karena PDB Indonesia diperkirakan mencapai 800 miliar dolar
AS dalam lima tahun mendatang.
Pada Juli 2010, The Economist juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC. Mereka
memiliki akronim baru dengan sebutan CIVETS, yaitu kepanjangan dari
Kolombia, Indonesia, Vietnam, Mesir, Turki, dan Afrika Selatan. Namun,
Mesir tumbang karena konflik politik di dalam negeri.
Di laman Bank Dunia, www.worldbank.org
menyatakan, bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup
kuat. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal pertama 2012,
sebesar 6,3 persen. Proyeksi dasar PDB mengalami pertumbuhan sebesar
6,0 persen pada 2012 dan 6,4 persen pada 2013.
Dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2012 lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengemukakan, di tengah ketidakpastian perkembangan
ekonomi global, kinerja ekonomi Indonesia masih dapat menunjuklan
kinerja yang cukup baik. Pada 2011, di saat beberapa negara lain
mengalami perlambatan atau bahkan pertumbuhan negatif, pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen.
Kinerja
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar itu ditopang permintaan domestik
yang cukup kuat. Tercatat, pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan
I/2012 mencapai 6,3 persen, pada triwulan II sedikit meningkat 6,4
persen, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 dapat dipertahankan
pada kisaran 6,3 persen.
Melihat
kinerja ekonomi Indonesia yang mampu keluar dari krisis ekonomi
1997/1998 dalam waktu singkat dan terus membaik dari tahun ke tahun,
bahkan terus menunjukan trend positif, para ekonomi menilai, prediksi
Indonesia akan kembali menjadi Macan Asia dalam beberapa tahun ke depan
bukan isapan jempol.
Pertama,
Indonesia memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015 yang memiliki visi “Mengangkat
Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 10 besar dunia pada
2030 dan 6 besar dunia pada 2050 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi
yang inclusif dan berkelanjutan”. MP3EI bertujuan mempercepat kemajuan
dalam spektrum yang luas dari sektor ekonomi, pembangunan infrastrktur,
ketahanan pangan, energi serta pengetahuan dan teknologi.
Kedua, Indonesia
memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah dan sumber daya manusia
yang cukup besar. Saat ini Indonesia sedang giat-giatnya membangun
sumber daya manusia yang andal, berkualitas, dan produktif (SDM berusia
di bawah 30 tahun, atau 50% penduduk Indonesia). Ketiga, kepercayaan
dunia internasional terus meningkat, salah satunya Indonesia akan
menjadi Ketua APEC pada 2013. Pemilihan sebagai Ketua APEC merupakan
salah satu bentuk pengakuan internasional kepada Indonesia sebagai
negara yang memiliki kekuatan ekonomi di dunia saat ini.
Keempat,
Indonesia terus menerus melakukan perbaikan dan membangun infratruktur
yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Saat ini Indonesia akan membangun
Infrastruktur senilai 500 miliar dolar AS dalam koridor MP3EI yang
tentunya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada
tahun-tahun mendatang. Kelima,
kondisi keamanan yang terjaga dengan baik telah mendorong terciptanya
iklim investasi yang kondusif. Di mana pada 2012 nilai investasi
mendekati 20 miliar dolar AS meningkat, naik sepertiga dibandingkan
tahun lalu.
Direktur
ESCAP, Katinka Weinberger mengatakan, pada 2011 Indonesia mengalami
pertumbuhan tertinggi sejak krisis 2007, yaitu 6,5 persen. Pertumbuhan
ini meningkat jika dibandingkan 2010 yang hanya 6,1 persen. “Konsumsi
meningkat sebesar 4,7 persen seiring dengan peningkatan pendapatan,
biaya pinjaman rendah, dan inflasi yang kian menurun,” katanya.
Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, mengemukakan, target
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 sebesar 6,8 persen. Bank
Indonesia (BI) pun optimis perekonomian tahun ini akan berkembang lebih
baik dibanding tahun sebelumnya. Jika pada 2012, pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencapai 6,3%, tahun ini rentang pertumbuhan ekonomi Indonesia
akan berada pada angka 6,3% – 6,8%.
“Pertumbuhan
tersebut ditopang konsumsi yang terus meningkat dan investasi yang
tetap kuat, sementara ekspor diperkirakan akan membaik,” kata Gubernur
Bank Indonesia, Darmin Nasution seperti dilansir dalam situs resmi BI.
Darmin
menjelaskan, daya tahan perekonomian selama ini didukung oleh
stabilitas makro dan sistem keuangan yang terjaga sehingga mampu
memperkuat basis permintaan domestik. Kinerja konsumsi rumah tangga dan
investasi yang meningkat mampu menahan dampak turunnya pertumbuhan
ekspor terutama mulai paruh kedua 2012.
Dari
sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama ditopang kinerja sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan, pengangkutan dan komunikasi.
Sementara dari sisi kawasan, kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar
daerah semakin berkurang, tercermin dari kontribusi pertumbuhan ekonomi
di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang semakin baik. “Pada tahun
2013-2014, perekonomian Indonesia diprakirakan dapat mencapai kisaran
masing-masing 6,3% – 6,8% dan 6,7% – 7,2%,” ungkap Darmin.
Dalam
kesempatan itu, Gubernur BI juga menjelaskan, meskipun mengalami
tekanan defisit transaksi berjalan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia
(NPI) pada 2012 masih mencatat surplus. Melemahnya permintaan dari
negara-negara mitra dagang dan merosotnya harga komoditas ekspor
berdampak pada menurunnya kinerja ekspor. Di sisi lain, impor masih
tumbuh cukup tinggi, terutama dalam bentuk barang modal dan bahan baku,
sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi.
”Tingginya
impor juga tercatat pada komoditas migas akibat melonjaknya konsumsi
BBM, sehingga berdampak pada defisit neraca migas yang terus meningkat
dan menambah tekanan pada defisit transaksi berjalan,” jelas Darmin.
Namun
demikian, transaksi modal dan finansial mencatat kenaikan surplus yang
cukup besar terutama didukung investasi langsung (PMA) dan arus masuk
modal portofolio, baik dalam pasar saham maupun pasar obligasi, yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Atas perkembangan
tersebut, cadangan devisa sampai dengan akhir Desember 2012 mencapai
112,78 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,1 bulan impor dan
pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
”Ke
depan, Bank Indonesia tetap mewaspadai perkembangan defisit transaksi
berjalan dan akan terus mempererat koordinasi kebijakan dengan
Pemerintah agar defisit tersebut menurun ke tingkat yang sustainable sehingga keseimbangan eksternal tetap terjaga,” kata Darmin.
Dewan
Gubernur BI telah memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar
5,75%. Tingkat suku bunga tersebut dinilai masih konsisten dengan
sasaran inflasi pada 2013 dan 2014, sebesar 4,5% ± 1%.
”Evaluasi
menyeluruh terhadap kinerja 2012 dan prospek tahun 2013-2014
menunjukkan perekonomian Indonesia tumbuh cukup tinggi dengan inflasi
tetap terkendali dan rendah. Kinerja tersebut tidak terlepas dari
berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah untuk
menjaga stabilitas makro dan momentum pertumbuhan ekonomi nasional di
tengah perlambatan ekonomi dunia,” kata Kepala Humas BI, Dody Budi
Waluyo dalam siaran persnya.
Menurut
Dody, rapat Dewan Gubernur BI juga menyampaikan bahwa inflasi sepanjang
2012 tetap terkendali pada level yang rendah, berada pada kisaran 4,5%.
“Terkendalinya inflasi tersebut sebagai hasil dari berbagai kebijakan
Bank Indonesia dan didukung semakin baiknya koordinasi kebijakan dengan
pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah,” ujarnya.
Inflasi 2012 mencapai 4,30% (yoy) terutama didorong oleh inflasi inti yang stabil, yaitu inflasi volatile food yang terkendali dan inflasi administered prices yang
rendah. Inflasi inti yang stabil didukung oleh penerapan strategi
bauran kebijakan moneter dan makroprudensial sehingga tekanan inflasi
dari sisi permintaan, harga komoditas impor, dan ekspektasi inflasi
tetap terkendali.
Indonesia di Asia Pasifik
Di
sisi lain, perekonomian di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik tetap
kokoh di tengah lemahnya perekonomian global. Laporan terbaru Bank Dunia
memproyeksi bahwa perekonomian Asia Timur dan Asia Pasifik tumbuh
sebesar 7,5 persen pada 2012. Mereka juga mencatat, pertumbuhan melambat
di Asia Timur dan Pasifik pada 2012. Namun, permintaan domestik akan
memainkan peran kunci dalam rebound pada 2013.
“Sedikit
melambat dibanding 2011 sebesar 8,3 persen akibat melambatnya
perekonomian China. Namun bisa tumbuh hingga 7,9 persen pada 2013
didorong oleh konsumsi domestik,” kata Ekonom Utama Bank Dunia untuk
Asia Timur dan Pasifik, Berf Hofman.
Pertumbuhan
China tahun ini mencapai 7,9 persen, turun sebesar 1,4 persen dibanding
pertumbuhan pada 2011 sebesar 9,3 persen. Melemahnya ekspor dan
terpuruknya sektor perumahan menjadi penyebab melambatnya perekonomian
China pada 2012. Meski demikian, perekonomian China bakal tumbuh hingga
8,4 persen pada tahun ini didorong oleh stimulus fiskal dan percepatan
implementasi proyek-proyek investasi besar.
Sementara
itu, Indonesia, Malaysia, dan Filipina diprediksi akan mendorong
perkembangan Asia Timur dengan pertumbuhan mencapai 5,7 persen dan 5,8
persen pada 2014. Untuk 2012, tanpa mengikutsertakan China, kawasan
berkembang Asia Tenggara ini tercatat bakal tumbuh 6,5 persen, atau
meningkat 4,4 persen dari 2011.
Pendorong cerahnya kawasan ini juga karena kembali bergabungnya
Myanmar ke komunitas Internasional. Namun, Myanmar masih menghadapi
tantangan besar terkait hambatan infrastruktur, sektor finansial,
telekomunikasi, dan manajemen sumber daya alam yang berkelanjutan.
Selain mencatat kemajuan, ada beberapa risiko yang diprediksi dapat
memperlambat momentum perkembangan di kawasan ini, yaitu reformasi
ekonomi di Zona Eropa, fiscal cliff di Amerika Serikat, dan kemungkinan tajamnya penurunan investasi di China.
Kekhawatiran berkembangnya ekspansi negara-negara G3, yaitu Amerika
Serikat, Jepang, dan negara-negara di Zona Eropa mengakibatkan terjadi
peningkatan arus modal di kawasan tersebut. Akibatnya, gelembung aset
dan pertumbuhan kredit yang berlebihan serta peningkatan risiko arus
keluar yang terlalu cepat di masa depan.
Solusinya, menurut Hofman, pengaturan nilai tukar dan pengembangan
pasar modal untuk menghambat dampak negatif arus modal masuk. Selain
itu, perlu kebijakan-kebijakan makro-prudensial untuk melindungi
pertumbuhan kredit yang berlebihan.
Presiden
Bank Dunia, Jim Yong Kim mengatakan, bagian wilayah Asia Timur dan
Pasifik dalam ekonomi global telah meningkat tiga kali lipat dalam dua
dekade terakhir, dari 6% menjadi hampir 18%. “Ini menegaskan pentingnya
pertumbuhan yang berkelanjutan di kawasan tersebut untuk seluruh dunia,”
ujarnya.
Sementara Pamela Cox, wakil presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan
Pasifik menilai, dalam keadaan ekonomi global yang sulit, kemiskinan di
kawasan ini justru terus turun, orang yang hidup dengan penghasilan 2
dolar AS per hari, diperkirakan akan berkurang 24,5% pada akhir 2013,
atau turun dari 28,8% pada 2010.
“Permintaan yang melemah untuk ekspor Asia Timur memperlambat
perekonomian regional, tapi masih tumbuh kuat dibandingkan bagian dunia
lain. Sementara berkembangnya permintaan domestik memungkinkan
perekonomian daerah bangkit kembali menjadi 7,6%,” kata Cox.
Sebelumnya, Sekretaris Eksekutif United Nations Economic and Social
Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), Noeleen Heyzer
mengemukakan, kawasan Asia Pasifik akan mengalami perlambatan
pertumbuhan ekonomi. Hal itu karena jatuhnya permintaan ekspor di
beberapa negara maju dan adanya kenaikan biaya modal.
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PBB itu
menyebutkan, berdasarkan hasil survei ESCAP, perlambatan ini karena
faktor volatilitas harga komoditas yang merupakan perhatian utama untuk
kawasan Asia Pasifik. “Tingkat pertumbuhan perekonomian di kawasan
berkembang diproyeksikan melambat menjadi 6,5 persen pada 2012, dari 7,8
persen tahun lalu,” kata Noeleen.
Meski demikian, pertumbuhan di Asia Pasifik akan tetap lebih baik
dibandingkan dengan kawasan lain, dan menjadi tolak ukur bagi
pertumbuhan baru perekonomian dunia. “Perdagangan Selatan dengan Asia
Pasifik pada 2012 akan membantu kawasan-kawasan berkembang, seperti
Afrika dan Amerika Latin, sehingga lebih mengurangi ketergantungan
mereka pada perekonomian negara-negara maju yang memiliki pertumbuhan
rendah,” ujar Noeleen.
Semua analisa dan data pertumbuhan ekonomi di atas, membuat semua
pihak optimis Indonesia mampu berbicara di Asia Pasifik dalam beberapa
tahun ke depan. Namun, semua itu kembali tergantung dari kemampuan
pemerintah dalam membaca arah pembangunan bangsa, selaras dengan
kondisi, potensi dan letak geografis sebagai Negara Maritim. Jika mampu
memanfaatkan dan mengelolanya secara maksimal, bukan tidak mungkin NKRI
akan kembali berjaya seperti era keemasan dulu (masa Kerajaan Majapahit
dan Sriwijaya). Indonesia akan menjadi kekuatan besar di segala bidang,
khususnya di kawasan Asia Pasifik. (***)
0 Komentar